November 2017Siang ini, aku dan Dewa sudah berada di Stasiun Tugu demi menjemput Dewi, adik kesayangan Dewa yang akan datang ke Jogja. Besok adalah hari bersejarah Dewa. Akhirnya dia wisuda sarjana. Orang tuanya akan hadir di hari H besok dari Kediri tanpa menginap. Karena itulah Dewi datang lebih dulu supaya sempat menikmati suasana Jogja lebih lama.
"Beneran gak papa, mbak, dek Dewi nginep di rumah mbak malam ini?" tanya Dewa di sebelahku.
"Gak papa banget lah, dek. Jadi ada temen di rumah. Biasanya kan cuma ada Tiya doang yang sesekali nginep."
"Ya udah, nanti aku bilangin dia jangan ngerepotin. Dan gak usah bilang-bilang mbak kalo dia liat yang 'aneh-aneh' di rumah mbak. Hehe."
"Nah, itu penting tuh. Kalo ada apa-apa pura-pura gak liat aja. Bisa berabe kalo pas aku sendirian di rumah jadi tambah parno."
"Dek!" pekik Dewa melihat adiknya yang sedang bingung mencari jalan keluar. Ini adalah kali pertamanya pergi keluar kota sendirian. Dan ini adalah kali pertama juga kami bertemu secara langsung.
"Mbak La!" teriaknya setengah berlari. Kami langsung berpelukan erat, bahkan menghiraukan Dewa di sebelah kami.
Dewa menggaruk-garuk kepalanya dengan heran. "Kakak kandungmu tuh yang ini lho, dek," katanya menunjuk dirinya sendiri.
"Akhirnya bisa ketemu sama Mbak La langsung!"
"Iya, akhirnya ya, dek. Setelah selama ini cuma lewat vcall doang," jawabku sambil melepas pelukan lama kami.
"Minta makan apa, dek? Jogja tuh isinya kulineran. Tinggal sebut mau apa," tawar Dewa.
"Mmm ... apa ya? Enaknya apa mbak siang-siang gini?"
Aku memikirkan makanan apa yang ingin aku makan sekarang. "Sate klathak? Ada tongseng juga!" usulku. Mereka mengiyakan dan kami pun langsung tancap gas ke Jalan Imogiri lalu dilanjut keliling Malioboro dan Alun-alun Kidul sampai malam.
"Capek banget ya, dek? Kasian kamu belum istirahat dari sampe tadi," kataku di rumah setelah Dewi selesai mandi.
Dewa langsung balik ke kosnya. Sedangkan aku masih duduk di sofa depan TV sambil mengemil cilok yang aku beli di Alkid tadi. Dewi ikut duduk di sebelahku dengan rambut basahnya yang ditutupi handuk.
"Nggak kok, mbak. Aku seneng banget akhirnya bisa ke Jogja dan ketemu Mbak La. Makasih lho mbak udah nemenin aku jalan-jalan sama Mas Dewa."
"Syukurlah kamu seneng. Santai aja, aku juga udah lama gak mampir Malioboro, haha."
"Mbak." Tiba-tiba Dewi menunjuk ke benda yang berada di sebelah TV. "Itu obat apa, mbak?"
"Oh, itu. Obat vertigo, hehe," jawabku enteng. "Gak sering kumat sih sebenernya. Paling setahun sekali dua aja. Tapi kalo lagi kumat, sakit banget kepala, jadi gak bisa ngapa-ngapain. Makanya better selalu siap sediain obatnya di deketku."
Aku melihat tatapan Dewi sedikit berubah. Seperti sedang mengawang (?)
"Vertigo ...? Hmm ..."
Aku alihkan pandanganku sepenuhnya ke Dewi, gak lagi menatap layar TV.
"Vertigo? Kenapa aku liatnya Merapi ya, mbak." Dewi membalas tatapanku yang pasti terlihat heran setengah mati. Dia mengatakannya seakan gak ada apa-apa. Membuat pikiranku terlempar jauh ke kejadian erupsi tujuh tahun yang lalu.
Demi apa pun aku gak pernah sedikit pun mengungkit-ungkit cerita traumatikku itu ke Dewa, apalagi Dewi. Bulu kudukku merinding seketika. Dewi dengan kemampuan sixth sense-nya tetap membuatku bertanya-tanya, bagaimana bisa dia tiba-tiba menyebut Merapi?
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARI ALULA [Completed]
RomansaDi setiap lembar buku harian Alula, ada nostalgia dari cerita cintanya selama tiga belas tahun. Bersama dengan lima lelaki berharga yang membentuk pribadinya menjadi perempuan kuat dan mandiri seperti sekarang. Ada Sigit, Brian, Dewa, Jayantaka, dan...