Lembar Lima Puluh

129 26 20
                                    

Semenjak kemarin antusiasmeku akan chat dan telepon dari Jayantaka tiba-tiba menurun. Oh, I hate myself. Kenapa aku gampang sekali ilfeel-an sama orang yang bahkan gak salah apa-apa dan gak tahu apa-apa? 

Kemarin aku masih berlanjut bertengkar sama mama lagi karena mama masih membujukku,

"Mama papa juga sudah kenal sama Jayantaka, dek. Anggap saja dia tamunya mama papa."

Tapi tetap gak mengubah pikiranku kalau bagaimanapun juga aku dan Jayantaka saat ini sedang membangun hubungan. Mbak Brisa pun sampai menghubungiku secara pribadi,

"Alu, kalau lo ternyata gak cocok sama Jay, atau gak suka, tolong bilang baik-baik ya. Dia udah gue sama Mas Gama anggep kayak adek sendiri di sini. Udah mau 10 tahun gue kenal dia, jangan sampai karena kalian gak cocok jadi bikin awkward. Gue percaya 100 persen kok kalau dia anak baik-baik dan gak aneh-aneh. Dia juga pasti bilang baik-baik kalau memang gak cocok sama lo."

Padahal inti masalahku bukan karena gak cocok. Aku hanya gak merasa nyaman untuk membawa Jayantaka masuk ke dalam urusan keluargaku, untuk membawanya menghadiri pernikahan Kak Reisa. Aku belum siap. Mengingat yang dulu-dulu, dan membandingkan diriku dengan kisah cinta Mbak Brisa dan Kak Reisa yang terlihat mulus, aku gak bohong kalau aku bilang malu. Malu untuk membawa laki-laki 'lain', laki-laki 'baru' ke hadapan keluargaku.



Jayantaka
La, mind if I call?


Aku mengatur napasku baik-baik membaca satu pesan dari Jayantaka ini. Sepertinya dia merasa kalau aku tiba-tiba menghindar.



I'm sorry, Jay. I'm not in the mood.
Later, ya?


It's okay. Take your time, La



Kan, lagi-lagi gue pengecut. Selalu menghindar atau mengulur dengan kata-kata andalan 'aku gak apa-apa', 'I'm not in the mood', 'don't mind me'. Tanpa mau jujur menjelaskan apa kegundahan yang sebenarnya aku rasa, tanpa berusaha mencari solusi baiknya bagaimana. 

Aku membaca ulang pesan balasanku. Jayantaka terlalu baik untuk aku acuhkan. Aku sambil mengingat-ingat dan mengambil pelajaran yang bisa aku benahi dari hubungan-hubunganku dulu. Aku dan Brian terlalu sering membiarkan masalah berlarut-larut tanpa membicarakan jalan keluar atau jalan tengahnya. Aku dan Wisnu sedari awal gak pernah benar-benar bisa mengutarakan apa yang dirasa, terlalu fake dan serba memaksa, penuh dengan keobsesian. 

No. Aku gak mau kesalahan-kesalahanku dulu terjadi lagi di hubunganku yang baru. Di detik yang sama, pesan baru dari Jayantaka masuk lagi ke nomorku.



Kalau ada apa-apa yang ganggu pikiran lo,
Remember, you have me to talk with, La
Don't keep it by yourself



Hmm ... Jayantaka ini cenayang ya? Dia seperti membaca kekalutanku. Aku merenung sejenak dan gak berapa lama langsung menghubunginya. Jangan dibiasakan mengulur-ulur sesuatu yang janggal, La.

"Hai, Jay. Sori ya ..."

"Nah, don't say sorry. Kalau belum mau cerita gak papa—"

"Jay, lo jadi ke Indo kapan?"

DIARI ALULA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang