“Awal pertama tercetus perang di negeri ini karena menteri yang menyalahgunakan kekuatannya. Tak seharusnya kekuatan yang kita miliki digunakan secara sembarang. Dampaknya bisa membuat orang lain terluka atau bahkan menuju kematian.”
“Menteri tersebut tak dapat lagi mengendalikan dirinya, lantas Tuan Mike harus turun tangan untuk menghentikan menteri yang berbuat semena-mena itu. Pada akhirnya, mati adalah hal terakhir yang harus dilakukan oleh Tuan Mike agar menteri itu tak berulah lagi.”
Semua murid mendengarkan penjelasan tentang sejarah sihir dengan serius. Seorang guru menjelaskan sejarah tersebut sambil memperhatikan keseriusan seluruh muridnya. Namun, ketukan dari pintu masuk kelas membuat focus mereka terganggu.
“Permisi, Mr. Ruf.”
“Oh, Tirago.”
Tirago memasuki kelas tersebut disertai senyum manis. Murid perempuan menatap kagum pada pemilik senyum manis itu.
“Maaf mengganggu kelasmu, Mr.”
“Tenang saja. Jadi, ada apa kau ke mari?”
Sejenak Tirago menatap seluruh murid kelas tersebut lalu mengalihkan pandangannya pada Mr. Ruf.
“Kedatanganku ke sini ingin menyampaikan pengumuman bagi murid kelas pemula. Akan ada pemilihan anggota magiki organosi selepas sekolah. Jadi apa kuboleh meminta waktumu sebentar, Mr. Ruf?” tanya Tirago sopan.
“Tentu saja! Hm, selepas sekolah, ya? Pasti menyenangkan!” Mr. Ruf pun menatap seluruh murid.
“Kalian harus ikut dalam pemilihan, ya! Jangan ragu untuk menjadi anggota magiki organosi! Akan banyak pengalaman yang kalian dapat. Hm, waktunya hanya tinggal beberapa menit. Tirago, kuserahkan sisa waktuku padamu, oke!”
“Baik, Mr.”
“Selamat berjuang anak-anak!” seru Mr. Ruf lalu meninggalkan kelas.
Sekarang tersisa Tirago beserta murid kelas pemula. Mereka menatap Tirago bingung, laki-laki itu hanya diam di depan kelas tanpa melakukan apa pun.
“Ah, kalian pasti bingung mengapa aku terdiam, kan?” kekeh Tirago.
Mereka mengangguk serempak.
“Aku ingin melihat wajah serius kalian saja. Karena dipenyeleksian anggota, aku yakin kalian akan lebih serius dari ini,” jelas Tirago tak lupa dengan senyum manisnya.
“Maksud Senior?”
Banyak murid yang tak mengerti maksud dari Tirago sehingga mereka menggerutkan dahi. Kebingungan yang dirasakan semua murid pun terasa oleh Tirago. Meski begitu, Tirago tak akan menjelaskan secara detail apa yang menjadi inti dari ucapannya tadi.
“Hm, kalian akan mengerti jika sudah berada dipertandingan nanti. Sekarang akan kujelaskan apa yang harus kalian lakukan untuk mempersiapkan pertandingan nanti.”
Tiba-tiba lampu di kelas mereka padam. Serentak teriakan murid perempuan terdengar, sedangkan murid laki-laki berusaha tenang dalam kegelapan tersebut. Tapi suara Tirago terdengar. Suara itu berada di depan kelas seolah laki-laki itu tak beranjak dari tempatnya berdiri.
“Kalian tenang, oke. Aku tak akan berbuat macam-macam. Lampu kupadamkan hanya untuk membuat kalian lebih serius mendengarkanku.”
Mendengar alasan yang begitu ajaib membuat Zaverra mendengkus. Untuk pertama kalinya dia dibuat terkejut dengan keanehan dari seorang ketua dengan kharisma yang membelenggu itu.
Tak lama sebuah cahaya muncul. Dibalik cahaya itu terdapat Tirago yang tengah tersenyum. Ya, Tirago yang membuat cahaya tersebut. Meski ada cahaya sekalipun, kelas tersebut tetap gelap. Perlahan cahaya itu melayang mengikuti langkah Tirago.
Suasana terasa mencekam saat suara tegas milik Tirago terdengar. Laki-laki dengan rambut merah itu berbicara sambil mengelilingi semua murid. Tak ada yang berbicara selain Tirago. Laki-laki itu membuat seluruh kelas terdiam dan seakan patuh dengan perintak Tirago.
“Setelah bel berbunyi, kalian diperbolehkan menuju asrama untuk berganti pakaian. Kuharap jangan ada yang menyelaku berbicara, ya,” ujar Tirago.
Entah mengapa bulu roma Zaverra terasa berdiri ketika. Tirago mulai berbicara sambil memutari kelas. Suara laki-laki itu pun terdengar tegas dan tak dapat dibantah, mutlak. Zaverra pun mencoba untuk menarik napas lalu mengembuskannya perlahan.
“Waktu untuk berganti pakaian hanya 30 menit. Pakaian yang digunakan pun bebas. Setelah berganti pakaian, kalian menuju lapangan dan duduk sesuai kelas. Untuk nama yang akan bertanding, sudah ditentukan dan didata oleh anggota magiki organosi lainnya. Jadi ketika nama kalian dipanggil, jangan sungkan untuk maju menuju tengah lapangan, mengerti?”
“Mengerti, Senior.”
Tirago tepat berada di belakang kelas, cahaya itu pun mengikutinya. Meski tak melihat wajah serius juniornya, dia tahu mana yang benar-benar seirius atau tidak.
“Untuk pertandingan nanti, bukan menggunakan kekuatan masing-masing. Kalian hanya perlu mengingat apa saja materi yang telah disampaikan oleh guru-guru kalian ketika pembelajaran. Penyeleksian ini tak akan sulit atau membutuhkan waktu lama. Penyeleksian ini tak akan terasa bila kalian benar-benar memperhatikan berlangsungnnya penyeleksian.”
Tiba-tiba lampu kelas kembali menyala bersamaan dengan bel yang berbunyi nyaring. Di depan kelas, Tirago tengah berdiri dengan senyumnya yang begitu manis. Murid perempuan tak lagi menatap senyum Tirago sebagai hal yang indah.
Karena dibalik senyum itu mereka tahu jika ada banyak hal yang tersenbunyi. Terbukti dari penjelasan penyeleksian yang akan dilaksanakan hari ini.
“Baik, kurasa hanya itu yang ingin kusampaikan. Tolong gunakan waktu 30 menit ini dengan benar. Kuharap kalian bisa melakukan seluruh tahap penyeleksian dengan sabar. Terimakasih telah mendengarkanku tanpa ada yang menyela. Sampai jumpa di lapangan.”
Tirago pun keluar dari kelas tersebut dengan langkah ringan. Sedangkan murid kelas pemula menatap kepergian Tirago dengan sangat lega. Laki-laki tiu benar-benar membuat mereka kehilangan kata-kata untuk berbiacara. Tirago adalah laki-laki tampan dengan senyum menyeramkan, pikir mereka.
“Pantas saja laki-laki itu dipilih sebagai ketua. Sifatnya saja begitu, menyeramkan,” komentar Yuri.
“Benar, meski senyum Senior sangat manis tapi kita tak atahu dibalik senyum tersebut tersirat apa saja,” keluh Fey.
Alice dan Zaverra hanya terdiam ketika pertama kali melihat Senior mereka yang memilki cara tersendiri dalam menyampaikan sesuatu. Tirago berbuat seperti itu seolah menciptakan ruang atau di mensi yang terasa berbeda.
“Ayo kita kembali ke asrama. Waktu kita hanya 30 menit,” ajak Zaverra.
Mereka menggangguk. “Ayo,” ucap mereka serempak.
****
Pria misterius dengan senyum manis yang selalu ditampilkan hanya mengecoh lawan yang mendekat. Dibalik senyum tersebut kita tak akan tahu apa yang dipikirkannya. Hanya seulas senyum yang layaknya pembunuh berdarah dingin.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ice [TAMAT]
FantasiaSebuah tempat yang membuat dunia berubah, menjadi awal kedamaian diiringin kehancuran. Kejahatan pun bagai badai yang melanda dunia hingga hancur. Pengorbanan pun terjadi. Namun, semua pengorbanan ternyata sia-sia. Kejadian pada 1000 tahun yang lal...