Bab 14

39 4 0
                                    

Malamnya anggota magiki organosi berkumpul setelah makan malam di stadium lapangan. Tirago juga menyuruh anggota baru datang, malam ini adalah tugas pertama bagi anggota baru magiki organosi.

“Kalian tahu mengapa aku menyuruh kalian ke sini?” tanya Tirago pada keempat  anggota baru.

“Tidak, Senior,” jawab mereka serempak.

“Jadi aku mengumpulkan kalian malam ini karena tugas pertama kalian ada pada malam ini.”

“Tugas berupa apa, Senior?” tanya laki-laki dengan iris berwarna abu-abu.

“Kalian akan patroli di Academy Element School. Aku tak akan membiarkan kalian berpatroli sendiri. Akan kuberi tahu di mana telak kalian berpatroli dan pasangan untuk berjaga.”

Tugas berpatroli dilakukan secara sendiri pada setiap tempat kecuali di gerbang utama dan gedung utama. Tapi karena adanya murid baru, mereka diizinkan oleh Tirago untuk berjaga berdua.

“Gerbang depan di jaga oleh Kigal dan Moi. Gedung utama; Frea, Guza, dan Kala. Asrama gadis; Unea dan Erana. Asrama laki-laki; Glifer dan Yuta. Dan terakhir gedung sekolah dijaga oleh Zaverr dan Zarge. Ada yang keberatana?”

“Hm, Senior. Kau berjaga di mana?” tanya Zaverra.

“Tak perlu ditanya lagi, Zaverra. Tirago akan berjaga di gerbang utama,” celetuk Kigal santai.

Tirago tersenyum lalu mengangguk.

“Bagaimana, ada yang keberatan atau ingin menukar tempat berjaga?” ulang Tirago.

“Tidak!”

“Bagus. Kalau begitu kalian bisa berjaga sekarang. Jika ada sesuatu yang mencurigai segera menuju Gedung utama, mengerti?”

“Mengerti!”

Mereka pun mulai berpencar memulai tugas berpatroli. Pakaian yang digunakan hanya pakaian biasa dengan masing-masing membawa jaket. Udara akan sangat dingin ketika malam tiba. Tugas ini dilakukan setiap hari dengan enam orang sekali patroli. Tapi kali ini sedikit berbeda.

Meskipun malam tiba, lampu pada seluruh bagian sekolah tak akan padam termasuk gedung sekolah. Jadi tak ada alasan untuk takut jika berjaga sendiri. Mereka akan berjaga sampai pukul tiga pagi, lalu kembali menuju asrama masing-masing.

“Hm, dingin sekali malam ini,” gumam Kala yang berjaga di gedung utama.

Guza tak memperdulikan uacapan Kala, dia beralih menatap Frea yang bersedekap. Lalu tanpa berkata apapun, Guza melepas jaket yang digunaakannya dan melemparnya ke wajah Frea. Karena terkejut, Frea pun menatap tajam ke arah Guza.

“Pakai.” Guza mengatakan itu pada Frea tanpa peduli tatapan tajam yang dilayangkan gadis itu.

Kala tertawa melihat keduanya yang nampak lucu. Lantas dia berkata, “Aku akan menjadi patung jika berlama-lama di sini.”

Di sisi lain, Zaverra dan Zarge tengah berkeliling gedung sekolah untuk memastikan tak ada yang mencurigakan. Keduanya tak saling berbicara dan memilih diam. Tiba-tiba Zaverra berhenti berjalan dan mendongak.

“Ada apa, Zaverra?”

Zarge pun menoleh ke belakang karena merasa Zaverra berhenti berjalan.

“Tidak. Aku hanya ingin menatap bintang di langit. Itu saja.”

“Bintang di langit memang sangat indah seperti dirimu.”

Zaverra pun menatap Zarge dengan alis bertaut. “Apa maksudmu?”

Zarge berjalan mendekati Zaverra lalu menepuk pelan puncak kepala gadis itu.

“Indahnya bintang sama seperti dirimu. Bintang memiliki keindahan tersendiri di malam hari, begitu juga dengan dirimu,” ujar Zarge lantas meninggalkan Zaverra yang terdiam.

“Aku tak mengerti apa maksud Zarge.”

Zaverra pun menyusul Zarge yang sudah berjalan lebih jauh. Setelah menyetarakan langkah Zarge, Zaverra pun melirik laki-laki yang sedang berjalan sambil memasukkan tangan ke saku celana.

“Aku tak mengerti maksudmu.”

Zarge tak berucap apapun melainkan terus berjalan. Setelah cukup lama berjalan, akhirnya mereka sampai di tengah gedung sekolah yang berbentuk kotak itu. Zarge menarik dua kursi dari kelas terdekat lalu menyuruh Zaverra duduk pada salah satu kursi.
Di bawah bintang yang bertaburan di langit, keduanya duduk bersama.

“Bintang memiliki cahaya yang cantik. Persis ketika Zaverra tersenyum.”

“Eh?”

Zarge melirik Zaverra yang sedang menoleh ke arah lain.

“Kau merasa kedinginan?”

“Hm, tidak juga.”

Tanpa berkata apa-apa, Zarge meraih tangan Zaverra lalu menggengamnnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Zaverra bingung.

Selang dua detik, Zaverra merasa tangannya menghangat. Senyumnya pun terukir, dia mengerti apa yang Zarge lakukan.

“Apakah terasa?” tanya Zarge memastikan.

“Iya, terima kasih.”

Keduanya pun duduk berhadapan dengan Zarge yang masih menggenggam tangan Zaverra. Zarge memfokuskan kekuatan apinya di bagian tangan. Sehingga tangannya akan terasa hangat ketika digenggam. Jadi tujuan Zarge menggengam tangan Zaverra untuk menghangatkan tangan gadis itu dalam genggamannya.

“Kenapa angin tak terlalu kencang berhembus, ya? Padahal tadi angina
berhembus begitu kencang,” ujar Zarge heran.

Dalam diam Zaverra tersenyum lalu kembali mendongak.

“Sama sepertmu yang tak ingin aku kedinginan. Dengan mencoba memfokuskan kekuatanku, maka angin yang berhembus sangat kencang kucoba kendalikan.”

“Pantas saja,” balas Zarge.

Keduanya kembali terdiam,  Zarge menoleh ke samping. Ternyata Zaverra duduk sambil memejamkan mata. Dengan perlahan, Zarge melepas genggaman tangannya, kemudian menarik kepala Zaverra agar bersandar di pundaknya.

“Selamat malam, Zaverra,” bisik Zarge dalam keheningan malam.

***

Tbc

The Ice [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang