***
"Hei, Yessie," panggil Erica, "apa yang kaulakukan di sini?" Erica berlari mendekati Austin dan Yessie yang tengah mengobrol. Erica cukup bingung karena Yessie tampak sedih. "Apa yang terjadi padamu, Yess? Kenapa kau menemui Aussie. Dan kau menangis?" Erica melipat tangan di depan dada. Dia melirik Austin dan Yessie bergiliran. Berharap ada yang mau menjawab rasa penasarannya.
"Tidak. Kau salah paham. Aku tidak menemui Aussie. Kami kebetulan berpapasan." Yessie menciptakan kekuatan dalam dirinya sendiri. Dia tidak boleh lemah dan bergantung kepada Austin terus-menerus. "Aku menangis karena perutku agak nyeri. Dan Aussie menghampiriku."
"Ya Tuhan. Apa kau mau kuantar ke rumah sakit?" Erica menawarkan bantuan. Bagaimana pun juga. Dia dan Yessie cukup saling kenal. Mereka pernah bertemu di studio milik Nick. "Tidak usah. Aku bisa pergi sendirian. Kalian bisa melanjutkan kencan kalian. Aku baik-baik saja." Yessie tidak mau melihat muka Austin sebab setiap kali dia menatapnya maka rasa sakit di hatinya seakan melebar dan itu tidak baik bagi kesehatan mental Yessie.
"Kau yakin? Kau menangis karena rasa sakit itu. Kau tidak bisa terus menahan sakitnya. Kau butuh obat." Yessie tidak butuh obat. Hanya saja hatinya tersakiti. Dia butuh waktu sendiri. "Aku yakin 100%, lagipula nyerinya sudah tidak terasa. Aku akan segera pulang," kata Yessie.
Dia sudah memanggil taksi ketika Erica berseru, "Tunggu, Yessie. Apa aku boleh bertanya?" Yessie berhenti melangkah. Dia menoleh menghadap gadis itu. Dia mengamati Erica intens. Setiap kali dipandang, wajah Erica semakin memesona. Itulah sebabnya Austin memilih gadis itu. Mereka berdua pasangan serasi. Yessie menyadari kalau dia mungkin penghalang antara hubungan suaminya dan gadis itu.
"Ya. Katakanlah." Yessie mengelus perutnya. Betapa menderita bayi yang ada di dalam sana. Austin menyebut bayi itu adalah masalah dalam hidupnya. Yessie berjanji akan merawat bayi itu tanpa harus melibatkan suaminya. "Apa tujuanmu menonton pertandingan sepak bola ini? Apa kau kebetulan mendukung tim Nick?"
Yessie benci melihat Austin namun dia memaksa dirinya sendiri untuk sekadar memandangi lelaki itu. Austin salah tingkah. Yessie merasakan ketegangan lelaki itu. "Tidak. Aku tidak datang menyemangati Nick. Aku mendukung tim sepak bola sekolah kalian. Suamiku merupakan salah satu atlit di tim sepak bola kalian." Yessie ingin membalas perbuatan Austin. Jadi dia bicara jujur.
Austin membelalakkan mata. Dia meremas tangannya sampai buku-buku tangannya terlihat sangat jelas. Dia marah karena sikap jujur Yessie. "Apa maksudmu, Yessie? Siapa atlit itu? Aku tidak pernah mendengar skandal siswa menikahi gurunya. Katakan padaku. Aku sungguh penasaran."
Austin kelihatan cemas karena kedoknya nyaris terbongkar. "Aku sudah katakan ke Aussie. Kau bisa tanya dia. Aku akan pergi. Taksi sudah menunggu aku." Yessie masuk ke dalam mobil. Kalau Austin bisa tega mengkhianatinya maka itu berarti Yessie pun bisa melakukan hal itu. Yessie pergi bersama mobil kuning mencolok.
Erica ingin tahu siapa suami Yessie. Teka-teki baru barusan dimulai. Dan Erica mau mengungkap fakta itu. "Yessie bilang kau tahu nama suami Yessie. Bisa kau katakan siapa orangnya? Ini skandal besar. Astaga aku tidak tahu ada kejadian semacam ini. Maksudku 7 tahun perbedaan usia?" Erica menunjukkan reaksi berlebihan sehingga Austin semakin kurang percaya diri mengakui Yessie sebagai istrinya.
"Aku sama sekali tidak tahu. Aku hanya berpikir orang itu adalah Nick. Maksudku--, aku mengira Yessie sedang mabuk saat dia bicara, dia meracau." Austin tidak tahu harus berkata apa lagi. Yessie benar-benar menjatuhkan dia dalam sebuah masalah. "Oh, Nick benar-benar sesuatu," komentar Erica. Dia mengetikkan sesuatu di dalam ponsel miliknya.
Austin tidak mau rahasianya terbongkar. Jadi dia mengajak Erica pergi dari stadion pertandingan sepak bola agar Erica melupakan masalah Yessie. "Aku tidak mau membahas masalah orang lain. Aku mau kita bersenang-senang." Erica menaruh kedua tangan miliknya di leher Austin. Mereka berdua adalah dua insan yang saling mencintai. Mereka tak terpisahkan. "Baiklah. Ayo kita pergi kencan."
Austin dan Erica mengganti pakaian dengan baju pasangan yang sempat mereka beli di supermarket. Mereka pergi bioskop berdua, hanya untuk menonton film romantis terbaru. Kebersamaan mereka membuat Austin berpikir kalau dia bisa menghapus kenangan dia bersama Yessie untuk sesaat. Nyatanya tidak. Waktu pertengahan film, Austin mengingat kembali momen ingin antara dia dan Yessie di ruang tengah. Saat mereka menonton di film Passengers lalu berciuman.
Austin tidak sadar kalau orang yang dia temani menonton film merupakan Erica. Saat dia menggenggam tangan Erica, rasanya seperti saat dia menyentuh tangan lembut istrinya, Yessie. "Apa kau sudah memikirkan nama bayi untuk anak kita?" Tiba-tiba Austin bertanya. Erica tersentak, dia tertawa pelan.
"Apa maksudmu, Aussie? Kau berniat menikah muda denganku? Kenapa kau tiba-tiba bahas masalah bayi? Seakan aku sedang hamil anakmu?" Dalam ruangan gelap mereka saling melihat dengan tatapan penuh cinta. "Kurasa aku tidak sabar bisa membangun kehidupan bersama dengan dirimu." Erica mematung. Dia membiarkan Austin meneruskan ucapannya.
"Aku rasa kita seharusnya tinggal bersama. Aku sudah punya apartemen pribadi. Aku tidak bisa tinggal di sana sendirian. Aku butuh teman hidup dan kupikir kaulah orangnya." Austin terbiasa hidup dengan kehadiran Yessie. Dia berusaha mengubur kenangan istrinya--menggantikannya dengan Erica. Austin percaya bahwa seluruh kebahagiaan yang dia miliki segalanya berasal dari Erica.
"Kau tidak sedang bercanda, Aussie?" Erica tampak berkaca-kaca. Jelas sekali kalau dia amat menginginkan kehidupan yang ditawarkan oleh Austin. Dengan senang hati Erica akan menerima ajakan tersebut. Dia selalu mengeluhkan waktu yang memisahkan antara dia dan Austin. Kini waktu bukan lagi sebuah alasan sebab Austin telah mengajak ya tinggal bersama.
"Aku serius. Kita akan hidup sebagai pasangan." Jawaban Austin meyakinkan. Erica memeluk Austin tanpa rasa malu. Layar lebar di hadapan kedua orang itu seolah menjadi saksi kisah cinta antara Austin dan Erica. "Baiklah. Malam ini aku akan mengemas barang-barang. Aku tidak sabar tinggal bersamamu."
"Aku pun begitu." Austin melepaskan diri dari rengkuhan mereka berdua. Lelaki itu merogoh saku celana miliknya. Dia ingin mengecek apakah Yessie menghubunginya atau tidak. Dia mau mendengar permintaan maaf Yessie karena sudah tidak datang menonton pertandingannya. Yessie bersalah, itu sebabnya Austin marah kepada dia. Saat Austin mengecek ponselnya, tidak ada satu pun pesan dari Yessie.
Austin merasa ada sesuatu yang hilang. Dia yakin kalau dia tidak mungkin merasa kehampaan tersebut karena Yessie. Dia paham betul bahwa dia dan Yessie tak saling menyukai. Austin terpaku membaca pesan grup yang dia terima. Di grup sekolah mereka sedang membahas rumor Nick yang diam-diam menikahi seorang guru di sekolah barunya.
"Apa kau yang menyebarkan skandal Nick ke dalam grup?" Austin bertanya ke Erica. Dan gadis itu mengangguk yakin. "Ya, tentu. Bagaimana pun semua orang harus tahu berita ini. Nick menelantarkan istrinya. Aku seorang perempuan dan aku tidak mendukung kejahatan Nick," tegas Erica. Nick terdiam. Dia bahkan tidak sanggup bilang kalau dialah suami Yessie sebenarnya.
See u next time!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Husband (Young Daddy)
General Fiction"Kau mulai cerewet seperti ibuku, Yessie! Sejak kapan kau perhatian seperti ini padaku?" Austin tersenyum miring. Meletakkan kakinya di atas meja sambil menyemburkan asap rokok di udara. Kali ini tidak ada lagi kata "Bu" yang menyertai kalimatnya. Y...