***
Austin McDowell keluar dari kamar Maria. Dia kesal karena gadis itu berhasil mengetahui rahasianya. Dia sudah mengancam Maria agar tak membocorkan rahasia itu. Maria sudah bilang akan menutup rapat mulutnya. Akan tetapi Austin tak bisa memercayai gadis itu dengan mudah. Sampai akhir hayatnya, Maria akan meneror kehidupan Austin bila lelaki itu tak melakukan sesuatu, mencegahnya.
"Apa Maria mengatakan hal buruk? Kenapa wajahmu seperti itu? Kau kelihatan tak bersemangat, Aussie." Erica mengusap wajah pacarnya. Dia menuntut jawaban dan lagi-lagi Austin hanya mampu berbohong. "Dad memaksaku pulang." Hanya orang tua yang bisa dijadikan alasan oleh Austin. Dia tak akan mengakui kalau dia barusan beli ganja senilai 1400 dolar lalu seseorang mengambilnya dengan mudah.
"Apa kau mau mendengarkan nasihat orang tuamu? Kalau aku jadi kau maka aku tidak akan dengarkan mereka," kata Erica. Kalimat gadis itu mungkin menyakiti hati para orang tua di luar sana. Namun tampaknya bajingan tengik ini setuju. "Aku memang tak mau mendengarkan perkataan mereka. Aku hanya kesal mereka mengekangku terus-menerus."
"Kau butuh alkohol." Erica menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas Austin kemudian mereka mabuk-mabukan bersama. Sungguh dunia yang indah. Erica dan Austin teler hanya dalam hitungan jam. Mereka masuk ke dalam salah satu kamar di rumah Maria dan beristirahat di sana.
Saat Austin mabuk-mabukan--menghancurkan masa depannya, di tempat lain Yessie Monthgomory berusaha menata hidupnya, memulai kehidupan baru tanpa suaminya. Dia meluangkan waktu berkeliling Universitas Yale hanya untuk menjelaskan kampus itu kepada Nick. "Apa kau dan Aussie sering terlibat masalah serius? Maksudku seperti berurusan dengan polisi?" Nick menelengkan kepala saat mendengar pertanyaan Yessie seakan dia bertanya.
"Aku tidak bermaksud menuduh-mu. Aku hanya mau memastikan apa yang ada di pikiranku." Yessie memegang jemarinya, gugup. Dia merasa sesuatu kelam pernah terjadi dan dia tidak tahu apa. Dia mencoba memahami suaminya secara penuh. "Memangnya apa yang kaupikirkan?" Nick menatap serius ke arah Yessie.
"Entahlah. Aku tidak yakin. Tetapi melihat semua tindakan Aussie kepadaku. Semua perbuatannya itu membuatku berpikir kalau dia terlibat dalam suatu geng berbahaya. Dia selalu pulang larut malam saat kami bersama." Setidaknya kalau Yessie mengetahui semua keburukan suaminya, dia bisa menanamkan alasan kuat untuk membenci pria itu.
"Kami tidak pernah terlibat geng, Yessie," jelas Nick. Menyebalkan karena Yessie ingin mendengar jawaban lain--yang kontradiktif atas penjelasan Nick. Dia berharap Austin merupakan seorang anggota kriminal supaya Yessie semakin tidak menyukainya. "Mengadakan pesta, minum alkohol, mengencani cewek dalam semalam. Ya, kami lakukan itu semua. Tetapi kami tidak berani terlibat semacam mafia atau geng apa pun."
"Kautahu, terkadang kebenaran menyakitkan. Lebih baik kita tidak mengetahui sesuatu sama sekali," lanjut Nick. Yessie bertanya-tanya maksud Nick tetapi di saat bersamaan dia merasa itu cuma kata-kata bodoh yang sok bijak saja. Obrolan mereka selesai saat Yessie berujar, "Sebaiknya kita ke panti sekarang. Besok kita mesti kembali ke New York." Nick setuju sehingga mereka mengakhiri kegiatan berkeliling mereka.
***
Jam 09:00 pagi, Yessie sudah berada di New York. Nick tidak bisa mengantar Yessie sampai di depan pintu apartemennya sebab lelaki itu diminta ibunya pulang segera. Ada hal yang mau orang tua Nick bicarakan. Yessie memaklumi dan meminta maaf telah merepotkan lelaki itu.
Hari sedang cerah, energi positif merasuki Yessie. Setelah bertemu Rachel, Yessie semakin bersemangat untuk mengikuti tes wawancara di Harvard. Dia butuh dukungan dan Rachel memberikan semua yang diinginkan Yessie.
Sumringah, Yessie memasuki lift lalu menekan lantai empat tempat apartemennya berada. Waktu Yessie keluar dari lift itu, dia kehabisan kata-kata waktu melihat suaminya ada di hadapannya. "Apa yang kaulakukan di tempatku? Sampai kapan kau akan mengganggu hidupku, Aussie?" Yessie merasa suasana hatinya menjadi tidak stabil berkat kemunculan suaminya.
"Tenanglah, Yessie. Aku butuh perjuangan hanya untuk menemui-mu." Perjuangan seperti apa? Yessie memerhatikan Austin. Lelaki itu belum mandi, matanya menjelaskan semua itu, kering dan tampak kelelahan. "Aku merasa geli mendengarkan kata kau berjuang setelah kau menyebut aku wanita tua miskin dari panti asuhan?" Yessie tidak dendam, hanya ingat kejadian itu.
"Kau marah karena aku memanggilmu wanita miskin dari panti asuhan? Memangnya aku salah ucap. Maafkan aku kalau kau adalah anak politisi terkenal New York. Aku sama sekali tidak memahami jati dirimu." Hebat sekali, bajingan tengik ini sangat pandai bicara. Yessie sampai membuka mulutnya lebar-lebar. Dia mengalah. Orang waras selalu mengalah. "Aku lelah. Aku tidak bisa berdebat."
Yessie mengabaikan Austin. Dia membuka pintu apartemen dengan menekan kata sandi di layar pintu apartemennya. "Kau menjadikan tanggal pernikahan diam-diam kita sebagai password? Kau tidak bisa melupakan aku, Yessie," kata Austin yang sejak tadi memerhatikan tindakan Yessie. "Itu bukan tanggal pernikahan kita. Itu tanggal kematian-ku," balas Yessie ketus.
Pintu terbuka. Austin lebih dulu masuk ke apartemen Yessie, membuat Yessie hilang akal. Lelaki ini hanya akan membuat Yessie masuk rumah sakit jiwa. "Aku tidak sanggup meladeni dirimu, Aussie. Tolong, jangan buat aku marah. Pergi dari hadapanku. Aku sedang capek."
"Istirahatlah. Aku akan bicara denganmu saat kau sudah selesai istirahat. Aku akan tetap di sini karena aku mau membahas hal penting." Austin duduk di ruang tamu sempit apartemen tersebut sembari menyalakan TV. Yessie masuk ke dalam kamar. Dia mengunci pintu itu lalu berbaring di dalam sana. Dia sudah bertekad mau menjalani hidup tanpa Austin. Dia harus tetap di dalam kamar.
Yessie mengganti baju tepat waktu Austin mengetuk pintu. Pria itu berteriak, "Bisa kita bicara sekarang? Kenapa kau begitu lama?" Yessie sengaja melakukan itu. "Aku baru selesai mandi. Pergilah. Aku mau tidur sebentar. Aku tidak mau bicara dengan dirimu."
"Baiklah, Sayang. Aku akan tetap menunggu dirimu." Yessie memutar bola matanya. Apa Austin sudah gila? Sayang? Apa Austin pernah memanggilnya sayang? Sepertinya pernah tetapi panggilan sayang saat ini benar-benar membuatnya merinding. Yessie berpikir Austin tidak akan memegang kata-katanya. Austin hanyalah berengsek kecil.
Austin adalah lelaki sundal yang suka mempermainkan hatinya. Austin mudah berpaling, dia tidak akan menunggu Yessie hanya untuk membicarakan sesuatu. Yessie berniat mengurung diri di dalam kamar selama seharian agar Austin meninggalkan apartemen itu. Yessie sudah banyak merasakan seperti apa pahitnya menunggu dan mau Austin merasakan hal itu juga.
Kalau Austin tulus, dia akan menunggu sampai tiga hari di ruang tengah apartemen itu. Yessie mengambil bantal dan mulai berbaring. Ada kelegaan di dalam hatinya karena berhasil mengerjai si bajingan tengik itu. Yessie mengelus perutnya yang kini membuncit. "Hukuman apa yang akan kita berikan kepada dia, Nak?"
Yessie bergumam. Balasan apa yang layak diberikan kepada Austin. Yessie mengambil gambar cetakan bayi dalam kandungannya. Setiap kali melihat gambar itu, hati Yessie berdesir. Dia bangga bisa merasakan indahnya menjadi seorang ibu. Perasaan itu tak bisa dilupakan oleh Yessie.
See u next time! Instagram : Sastrabisu
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Husband (Young Daddy)
General Fiction"Kau mulai cerewet seperti ibuku, Yessie! Sejak kapan kau perhatian seperti ini padaku?" Austin tersenyum miring. Meletakkan kakinya di atas meja sambil menyemburkan asap rokok di udara. Kali ini tidak ada lagi kata "Bu" yang menyertai kalimatnya. Y...