***
Berengsek tetaplah bajingan. Yessie sudah tertidur selama sejam dan tiba-tiba tidurnya tak terusik. Suara musik rock menggema di apartemen tersebut. Saking kerasnya musik itu, Yessie merasa gendang telinganya hampir pecah. Yessie menggeleng keras. Dia menutup telinga. Keluar dari dalam kamar dan berteriak, "Apa yang kaulakukan, Aussie?"
"Aku sedang memasak," jawab Austin. Dia sumringah, dia tidak memakai baju hanya celana pendek. Yessie akan menyebutnya seksi seandainya sang suami tidak bikin keributan. "Apa kau harus menyalakan musik keras saat memasak?" tanya Yessie sambil mematikan musik. Dia melipat tangan di depan dada. Sandwich yang tidak memiliki bentuk rapi? Sandwich yang mengerikan.
"Maaf, Sayang." Kata-kata Austin sukses membuat Yessie memutar bola mata. Apa yang Austin lakukan? Mencari perhatian Yessie? Apakah Austin berusaha membuat hubungan rumah tangga mereka kembali seperti dulu? Yessie menyimpan banyak pertanyaan sebab Austin bertindak seakan tidak ada masalah apa pun di antara mereka. Seakan semua tindakan pria itu wajar saja dilakukan seorang suami.
"Apakah kau mesti buka pakaian saat memasak? Apa kau mau bercinta dengan kompor?" Yessie tidak bisa menyebut Austin waras karena pria ini bertingkah seperti orang gila. Dia tidak pernah melakukan sesuatu layaknya lelaki normal. "Bukan kompor tapi kau. Aku mau tidur denganmu. Sudah lama kita tidak begituan." Austin cengingiran, mendekati istrinya. Dia menyentuh wajah istrinya lembut.
Jarak antara keduanya terlalu dekat sampai Yessie memegang punggung suaminya. Mata mereka beradu, Austin memberikan tatapan lembut seakan dia begitu mencintai Yessie. Itu tidak benar, Yessie tak mau terperangkap lagi. Dia hendak menjauhkan tubuh Austin saat bel apartemen berbunyi.
"Aku akan memeriksanya," kata Yessie. Dia keluar dari jebakan Austin. Untung saja, seseorang menekan bel apartemen wanita itu. Yessie mengecek dan sangat terkejut dengan kemunculan seorang polisi berseragam di depan pintu. Petugas itu tidak sendirian, ada seorang nenek di sampingnya, tetangga Yessie.
"Aku sherif Erick, aku datang memberitahu bahwa tetangga Anda mengeluh karena Anda memutar musik sangat keras. Anda adalah Nyonya?" tanya petugas keamanan bernama Erick. "Yessie Monthgomory," sahut Yessie.
"Oh ya, Miss Monthgomory. Ada laporan tentang tata tertib lingkungan daerah yang telah Anda langgar. Menyalakan musik dengan keras, apa itu benar?" Petugas Erick itu sudah menyiapkan catatan untuk menuliskan jawaban Yessie. "Maafkan aku. Sebenarnya bukan aku tetapi suamiku. Aku sedang tidur dan dia menyalakan musik terlalu keras. Maafkan aku, Nenek." Yessie merasa sangat bersalah. Erick mulai menulis laporan.
"Aku bukan seorang Nenek. Usia kita tidak jauh berbeda. Namaku Merry," sela tetangga Yessie. Aneh, Yessie tidak percaya nenek gaul ini tak mau disebut nenek. "Maafkan aku, Merry." Yessie memegang kepalanya yang kini terasa pusing. Dia tidak pernah berpikir bisa terjebak dalam masalah. Apalagi mendapatkan panggilan dari kantor kepolisian.
"Bisa aku bicara dengan suami Anda?" Yessie dengan senang hati memanggil Austin. Dia memang tidak sabar menyeret lelaki itu keluar, menyaksikan apa yang sudah dia lakukan. Yessie masuk ke dalam dapur dengan perasaan jengkel. "Kau puas melibatkan aku dengan polisi? Sekarang keluar dan bicara dengan polisi di sana," perintah Yessie.
"Polisi?" tanya Austin santai. Dia hanya mengernyitkan alis sebentar. Dia kelihatan tak merasa bersalah sama sekali. "Kau benar-benar luar biasa. Polisi sudah ada di luar dan kau masih sesantai itu. Kau tidak mau memakai pakaianmu dan bicara di luar?" Yessie tak berhenti mencomel.
"Jangan takut, Sayang." Austin sumringah sambil memberikan kecupan di pipi Yessie. Dia mengambil bajunya lalu berjalan keluar dari dapur. "Sampai neraka membeku dia akan tetap baik-baik saja. Dasar pria tak punya hati," geram Yessie. Dia mengikuti langkah suaminya dari belakang. Yessie penasaran apa yang bakal dijelaskan oleh Austin.
Austin belum sempat biaca ketika tetangga Yessie berseru, "Oh, kau laki-laki yang kemarin menyebut aku nenek tua! Aku akan memberikanmu pelajaran!" Merry si nenek melepas sendal jepitnya hanya untuk menggeprak kepala Austin. Yessie muncul dan Austin bersembunyi di balik punggung istrinya. "Halangi dia, Yessie! Dia nenek gila!"
Sherif Erick menenangkan Merry, agar dia tidak melakukan tindakan kekerasan. "Kau tidak takut akan kemurkaan polisi tetapi takut pada amarah seorang nenek? Ini fakta luar biasa, Aussie," bisik Yessie sembari tersenyum kering. Suaminya memang aneh, setelah membuat kacau dia malah bersembunyi seperti bayi. "Aku tidak takut. Aku hanya tak mau berurusan dengan nenek gila."
"Kalian berdua harus ikut aku ke kantor polisi," jelas Erick. Dia mengamati Austin lalu berujar, "Tubuhmu sangat seksi, Nak. Segera pakai bajumu dan ikut denganku." Petugas keamanan Erick sebelum akhirnya turun dari apartemen lebih dulu.
"Apa polisi itu seorang gay?" tanya Austin. Yessie mengangkat bahu. Dia tidak peduli dengan polisi itu. Yessie membalas, "Cepat pakai bajumu. Kautahu, aku sangat tidak senang kau memberikan aku catatan kriminal pertama," tegas Yessie tak senang. Ini cukup buruk karena sebentar lagi dia harus ikut wawancara Universitas Harvard.
Di kantor polisi, Yessie menandatangani surat perjanjian tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Utusan orang tua Austin datang, memberikan jaminan agar Yessie dan suaminya bisa bebas dari hukuman. Orang itu tak lain Anthony Hall. "Aku tidak terkejut suamimu membuat keributan lagi," bisik Anthony saat Austin tak ada. Austin sedang buang air kecil di kamar mandi.
"Aku sudah bosan mengeluh karena dia." Yessie meringis. Anthony Hall menawarkan tumpangan pulang namun Austin datang lebih cepat. Karena tak mau ada lebih banyak kerusuhan, Yessie sepakat ikut bersama suaminya. Lebih baik mengalah. Yessie sudah muak dilibatkan dalam permasalahan.
Saat perjalanan pulang suasana tegang tak terhindarkan. Austin bergeming begitu pula dengan Yessie. "Kita tak bisa bersama lagi," tegas Yessie memecah keheningan. Dia sudah membulatkan tekad untuk melanjutkan kuliah.
"Aku tahu. Tolong jangan bahas dulu. Aku mau kita bicara di apartemen-mu." Yessie sependapat. Jadi mereka tidak saling bicara selama mereka dalam perjalanan pulang. Suasana cerah, tetapi kehidupan Yessie masih suram, gelap seolah cahaya tak mau mampir ke dalam sana.
Austin dan Yessie makan siang terlebih dahulu. Sandwich buatan Austin masih layak disantap kendati bentuknya sangat berantakan. Yessie menghabiskan dua potong. "Kita sepakat tak bisa bersama. Kemudian apa tujuanmu menemui aku? Bisakah aku tahu alasannya?" Sekarang sudah waktunya untuk bertanya.
Austin berhenti makan. Dia menaruh sisa sandwich di atas piring. Dia menghela napas panjang. "Aku dan Erica sudah tinggal satu atap." Austin memberitahu. Yessie melihat ke arah lain. Ya, Austin selalu membuatnya terluka. Dia masih berada di New York dan suaminya mengambil tindakan lebih cepat dari yang Yessie kira.
"Lalu?" Yessie bisa hidup tanpanya. Pasti bisa, rencana wanita itu tak akan berubah. Universitas Harvard menunggu-nya. Keputusan yang diambil sudah tepat. "Aku mau kau mengugurkan bayi itu. Setelah itu, aku tak akan mengganggu kehidupanmu lagi. Aku janji, aku tidak akan menemui-mu setelah itu." Selesai mengutarakan niatnya, Yessie menampar pipi Austin. Bukan hanya sekali melainkan dua kali.
"Pergi dari sini!" tegas Yessie. Austin tak berdaya. Dia memejamkan mata sembari mengambil napas untuk kesekian kali. "Ingat, Yessie. Aku akan datang sampai kau mengugurkan anak itu. Aku tidak mau punya anak perempuan." Austin meninggalkan Yessie. Bajingan sundal ini hanya menggores luka lagi dan lagi terhadap Yessie. Dia tak berperasaan.
See u next time! Instagram : sastrabisu
![](https://img.wattpad.com/cover/124473295-288-k130717.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bastard Husband (Young Daddy)
General Fiction"Kau mulai cerewet seperti ibuku, Yessie! Sejak kapan kau perhatian seperti ini padaku?" Austin tersenyum miring. Meletakkan kakinya di atas meja sambil menyemburkan asap rokok di udara. Kali ini tidak ada lagi kata "Bu" yang menyertai kalimatnya. Y...