48.

2.9K 244 135
                                    

Masih di hari yang sama. Hari di mana Jara harus mendengarkan dan menerima kenyataan pahitnya. Lengkap sudah penderitaannya.

Jara hanya diam merenung di kamar apartemennya. Sejak pulang dari rumah sakit, Jara tak menidurkan matanya, ia hanya melamun dan merenung diam di dalam apartemennya.

Sudah waktunya makan siang, namun sejak pagi gadis tersebut tak mengisi perutnya. Jara menghela nafas panjang dan beranjak pergi menuju dapur.

Jara hanya memakan sepotong roti, susu, dan salad. Ia kembali melamun setelah makanannya habis. Perlahan ia mencengkram perutnya yang sangat terasa sakit.

Jara tak menangis, bahkan untuk mengeluarkan air mata saja ia sudah lelah. Seolah tubuhnya lemah, air matanya habis, dan dirinya sudah enggan untuk melangkah.

Berdiri dari duduknya dan melangkah menuju kamarnya. Jara ingin menidurkan matanya. Bel berbunyi terus-menerus, Jara yang tak ingin diganggu hanya mengabaikannya.

Ponselnya berdering, Jara mengambilnya dan kembali meletakkannya. Puluhan kali Rifani mengirim pesan bahkan menghubunginya. Mungkin sejak tadi Rifani yang membunyikan bel apartemennya.

Jara tak perduli, ia menutup matanya dan mencoba untuk tidur. Mungkin dengan tidur ia dapat lupa sejenak dengan masalahnya.

Air matanya mengalir dalam tidurnya. Sesakit apa dirinya? Selemah apa dirinya? Bahkan saat tidur saja ia dapat menangis.

Perlahan Jara membuka matanya. Ia juga merenggangkan otot-ototnya. Jara membelak ketika ternyata jam sudah menunjukkan pukul lima sore.

Jara beranjak dan segera membersihkan tubuhnya. Setelah mandi, ia menuju dapur dan membuat makanan untuknya.

Matanya menatap langit yang gelap. Sesekali ia menatap jalanan dengan menghela nafas lelahnya. Setelah acara makannya, lagi-lagi Jara merenung di balkon apartemennya.

Jara menatap gitar yang sempat Rifani beli dan masih terlihat baru. Jara mengambilnya dan segera duduk di kursi yang berada di sana.

Jara ingin menyanyikan sebuah lagu yang sangat mewakili perasaannya. Namun tiba-tiba air matanya kembali keluar. Ia mulai memetik gitar tersebut dan bernyanyi.

Jara tak sanggup bernyanyi lagi, ia berhenti dan menghela nafas panjang. Berat menjadi dirinya, ia juga tak tahu harus melangkah atau berhenti.

Ponselnya berdering, nomor tak di kenal menghubunginya. Jara sempat mengerutkan keningnya, namun ia memilih untuk menerima panggilan itu.

"Selamat malam, nona cantik." Suara orang itu membuat Jara berfikir.

"Nona, bagaimana kabarmu?" Jara tak dapat mengenali suara lelaki itu karena Jara tahu jika ia memakai topeng.

"Bacot." Ucap Jara mencoba tenang.

"Baiklah, apa nona ingat hari ini hari apa? Hari peperangan antara nona dengan Black Skull Gangster bukan?" Jara membelak, ia melihat tanggal pada ponselnya, benar saja hari ini adalah hari perangnya.

"Sebentar, ada yang ingin berbicara dengan nona." Jara menunggu seseorang berbicara.

"Ra! Tolongin gue, Ra! Gue mohon, Ra!" Jara berdiri dari duduknya ketika mendengar suara Cika dengan tangisannya.

"Bagaimana, nona?"

"Jangan bawa-bawa sahabat gue, anjing!"

"Oh, tampaknya nona terli-" Jara mematikan sambungan tersebut dan melacak keberadaan Black Skull Gangster.

Ketika menemukannya, Jara segera mengambil alat-alatnya yang ia sembunyikan di bawah kasur. Jara menarik jaketnya dan menyembunyikan alat perangnya di dalam jaket tersebut.

Au'jara (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang