35.

3.4K 201 30
                                    

"Akhirnya gue bisa lari pagi lagi setelah banyaknya acara gak penting selama ini." Monolog seorang gadis dengan senyum tipisnya. Siapa lagi kalau bukan Jara?

"Gak boleh kecapean bukan berarti gak bisa lari pagi. Untung gue udah bujuk dokter Velly. Biasanya lari lama, istirahatnya bentar, sekarang harus gue ubah, larinya bentar, istirahatnya lama." Bukan sesuatu yang istimewa, namun rasanya Jara sangat bahagia.

Sudah cukup untuk berlari sedari tadi, Jara memutuskan untuk pergi ke taman komplek. Tempat kesukaannya setelah acara lari paginya selesai.

Melihat penjual bubur ayam yang duduk menatap kedepan menunggu pelanggan, Jara tersenyum mendekatinya.

"Mang, bubur ayamnya satu."

"Eh, neng Jara, silahkan duduk dulu. Udah lama gak ketemu." Ucap penjual bubur dengan semangatnya.

"Mang, tumben jual bubur ayam? Terus, kok, bisa jualan di komplek jam segini?" Tanya Jara bingung karena penjual komplek hanya boleh memasuki area komplek pukul sepuluh pagi hingga delapan malam.

"Sekarang sudah dibuka dua puluh empat jam untuk berjualan, neng. Minggu kemarin jam sebelas siang bubur saya habis. Nanti malam baru ganti nasi goreng." Perjelas penjual tersebut tersenyum senang.

Jara mengangguk paham. "Jara gak pakai kecap asin, gak pakai kacang, nanti sambalnya Jara ambil sendiri. Minumnya es teh satu."

Penjual bubur tersebut segera membuatkan pesanan Jara. Setelah menerimanya, Jara segera mengambil sambal yang benar-benar banyak.

Masih mengaduk-aduk buburnya, sebuah tangan dari belakang menarik mangkok tersebut membuat Jara mengumpat.

Jara memutar badannya. "Anj-"

"Apa?"

Mata Jara membulat sempurna. "Ngapain lo?"

Melihat dari atas hingga bawah, Jara tahu jika Rangga telah melakukan hal yang sama sepertinya, namun matanya berhenti tepat di wajah Rangga.

"Balikin."

Rangga berjalan menghampiri penjual bubur ayam. "Mang, satu mangkok lagi. Gak usah kecap manis sama kacang, gak usah di kasih sambal. Minumnya teh hangat satu."

Tak lama bubur pesanan Rangga datang. Rangga segera memberikannya pada Jara. Melihat raut wajah Jara yang enggan menatapnya, Rangga mengangkat sendok untuk menyuapinya.

"Gue bisa sendiri." Jara mengambil mangkok tersebut dan memakannya dengan lahap, begitu juga dengan Rangga yang memakan bubur ayam Jara sebelumnya.

"Lo ngapain lari?" Tanya Rangga lalu meminum es teh Jara sebelumnya.

"Terserah gue."

"Lo ngapain makan pakai pedes-pedes?"

"Suka-suka gue."

"Lo ngap-"

"Apapun itu, gak ada urusannya sama lo." Dengan cepat, Jara memotong ucapan Rangga.

"Ada. Gue udah janji sama dokter lo."

"Cuma kasihan? Basi banget." Rangga tahu bahwa Jara masih enggan berbicara dengannya, Jara hanya akan terlihat ramah dengan Rangga di hadapan Bella dan yang lainnya.

"Lo masih belum maafin gue?"

Jara memutar bola matanya. "Udah."

"Lo munafik, Ra. Lo cuma baikin gue di depan Bella, bahkan Bella bakal kecewa kalau tau semuanya."

"Lo sendiri yang bilang gue gak boleh deket sama orang di sekitar lo. Gue brengsek, gue bangsat, gue gak tau malu, gue juga murahan. Bukannya itu yang lo bilang?"

Au'jara (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang