42th Chapter

1.3K 213 37
                                    

Miyeon menunduk seraya menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu.

Lagi.

Untuk kedua kalinya.. Ia dikhianati oleh orang yang sudah ia anggap sebagai teman. Oleh orang yang sudah sangat ia percayai.

Sua..

Ia tak menyangka jika gadis itu hanya mempermainkannya, ia tak menyangka gadis itu hanya memanfaatkannya agar tujuan gadis itu tercapai tanpa ada secuil hambatan. Padahal ia sudah sangat mempercayai Sua. Ia pikir gadis itu adalah satu-satunya orang yang memahaminya, ia pikir gadis itu adalah satu-satunya orang yang akan selalu ada untuknya. Ia pikir Sua adalah teman sejatinya.

Tapi ia salah. Jangankan menganggapnya teman, Sua bahkan tak sudi berbicara padanya jika saja gadis itu tak punya niat terselubung dibalik semua sikap baik dan bantuannya selama ini.

Semuanya palsu.
Sua yang semula mengulurkan tangannya untuk ia raih dan ia genggam, kini menghempaskannya begitu saja agar ia kembali jatuh ke dalam lubang keterpurukan yang sama.

Hatinya terasa sangat sakit. Sakit sekali, lebih sakit dari luka yang Sua buat di sekujur tubuhnya.

Ia merenung, kenapa ia tak pernah di kelilingi oleh orang yang benar-benar peduli padanya. Kenapa Tuhan selalu bersikap tak adil padanya, kenapa tak ada orang yang mau tulus berteman dengannya.

Ia hanya menginginkan seorang teman.

Kenapa itu terasa sangat sulit baginya?

Apakah ia memang tak pantas mendapatkan sebuah kebahagiaan? Tak pantaskah ia memiliki seorang teman?

“Miyeon..” Hyeyeon yang sedari tadi diam, kini buka suara melihat Miyeon yang masih belum menyerah melepaskan diri. Ia tahu itu tak akan berhasil, ikatannya terlalu kuat.

Miyeon terdiam. Ia tak berani menyahut, apalagi mendongak untuk menatap gadis di hadapannya itu. Hyeyeon pasti akan menertawakan kebodohannya karena mempercayai Sua. Hyeyeon pasti akan menghinanya. Meski ia memang bodoh, tapi ia tak tahan jika orang lain menertawakannya ataupun menghinanya.

“Hei, Miyeon.”

“Miyeon...”

“Miyeon, berhenti. Jangan lukai dirimu sendiri. Ikatannya tak akan terlepas, terlalu kuat.” Hyeyeon kembali berujar sambil menatap ngilu pada pergelangan tangan Miyeon yang sudah mengeluarkan bercak darah.

Miyeon menulikan telinganya. Ia tak mau mendengar apapun lagi dari siapapun juga. Mulai saat ini ia bersumpah jika ia tak akan lagi mempercayai siapa-siapa. Ia tak mau lagi merasakan pahitnya kekecewaan, sudah cukup dua kali ia mengulangi kesalahan yang sama dan jatuh di lubang yang sama, dan ia tak mau semua itu terjadi lagi padanya di masa depan.

“Miyeon! Ku bilang berhenti!” Pekik Hyeyeon

“Diam. Tutup mulutmu.” Desis Miyeon

Hyeyeon menggeram.
“Kau menyakiti dirimu sendiri—”

“—APA PEDULIMU?!!” Miyeon berteriak seraya menatap Hyeyeon tajam.

“Mau aku terluka, mau aku mati, itu semua bukan urusanmu!”

Hyeyeon menghela nafas.
“Aku tahu kau sedang sedih. Tapi daripada kau melukai dirimu sendiri, lebih baik baik kau menangis saja.”

Miyeon kembali menundukkan kepala, tanpa menghentikan kedua tangannya yang masih berusaha lepas dari tali yang mengikatnya dengan erat.

Our RoséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang