44th Chapter

1.6K 248 56
                                    

A broken person can do the most fearsome than any moonster we can imagine.

Mungkin itulah kata-kata yang bisa menggambarkan seorang Moon Sua.

Seorang bocah yang batinnya terluka.

Berakting tak peduli tentang pendapat orang lain.

Diam saat diremehkan.

Tetap tegar meski semua orang menghinanya.

Dan tersenyum manis saat ia selalu saja mendapat kritikan.

Namun tanpa orang-orang sadari, Sua memilih untuk diam dan tak melawan karena ia tengah berpikir. Ia tengah merencanakan sesuatu untuk membalaskan semua rasa sakit hatinya pada mereka suatu saat nanti.

Apapun akan ia lakukan.
Meskipun ia harus membunuh, ia rela asalkan semua dendam-nya terbalas.

Meski ia harus membusuk di penjara karena perbuatannya ia rela, asalkan orang-orang yang melukainya dulu hidup menderita.

...Terutama Kim Jennie.

Gadis yang menurut sudut pandangnya tak memiliki bakat apa-apa, tapi entah kenapa semua orang disana selalu saja memujinya.

Jennie itu, Jennie ini..

Bla.. Bla.. Bla..
Dan ia sangat tak suka.

Gara-gara Jennie, ia selalu diremehkan.
Gara-gara Jennie ia selalu di banding-bandingkan.

Tapi sekarang tidak lagi, karena gadis pembawa sial di hidupnya itu kini terbaring tak berdaya di bawah kakinya. Dengan kedua tangan dan kaki terikat, dan tak lupa ia membuat beberapa sayatan aesthetic dan juga lebam biru di sekujur tubuhnya.

Dan pada saat fajar terbit, ia akan melenyapkan gadis ini dengan cara yang paling menyakitkan.

“Ck..” Sua mendecakkan lidah seraya berlutut dan menarik lakban hitam yang membekap mulut Jennie dengan kasar, membuat si empu memekik sakit.

“Aw!!”

Sua mengernyit.
“Ugh, sakit ya? I'm not sorry.” Ujarnya sambil cemberut.

“Hiks.. Kumohon, biarkan aku pergi.. Aku ingin pulang.” Lirih Jennie

Senyuman lebar tersungging di bibir Sua. “Tentu, aku akan mengirimmu pulang—langsung menghadap Tuhan.” Jawabnya enteng.

Isakan Jennie semakin keras, lalu meringis ngilu saat kulitnya bergesekan dengan tali tambang yang mengikatnya dengan erat.

“Apa salahku padamu?”

Sua menyeringai.
“Banyak. Banyak sekali.”

Jennie mendongak, menatap Sua dengan raut bingung. Ia tak mengerti, ia rasa ia tak pernah mencari masalah dengan Sua atau siapapun juga. Baik di masa lalu, ataupun di masa sekarang.

“Apa maksudmu?”

Sua kembali menghembuskan nafas. Ia duduk bersila di hadapan Jennie sambil memainkan pisau cutter di tangannya.

“Kau tahu... Sudah hampir sepuluh tahun aku berlatih, selama itu aku terus bertahan dan terus berjuang tapi tetap saja aku tak didebutkan.” Sua berujar dengan nada lirih, membuat Jennie yang tadinya ketakutan kini malah merasa kasihan.

“Dulu mungkin aku akan terima saat mereka bilang kalau aku belum siap. Aku percaya saat dulu mereka bilang aku belum pantas untuk debut dan perjalananku masih panjang, tapi sampai kapan? Kesabaranku ada batasnya.”

Dahi Jennie kembali mengerut, tanda ia tengah dilanda kebingungan.

“Tapi.. Apa kesalahanku?”

Sua tersenyum.
“Kesalahanmu? Pertama—Karena aku selalu saja di banding-bandingkan denganmu. Kau tahu, aku tak suka di banding-bandingkan dengan siapapun juga apalagi denganmu. Kedua gara-gara kau, aku selalu saja dikritik. Mereka bilang, lihatlah Jennie.. Jennie ini.. Jennie begitu.. Semuanya selalu saja membicarakanmu dan aku tak suka. Dan gara-gara kau, aku tak jadi debut! Aku muak!”

Our RoséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang