33. Dua rasa ✔️

199 27 9
                                    

"Jika kata orang menangis adalah menyakitkan tidak dengan aku, menurutku menangis adalah sesuatu hal bahagia yang sering kulakukan."


Happy reading 🎶

Hal yang dilihat oleh Asa dan Venus yang baru saja sampai dikantin adalah kegaduhan, meja-meja sudah tidak lagi ditempat semula, bahkan kursi sudah ada yang patah, dan lagi siswi perempuan banyak yang menjerit ngeri melihat beberapa orang saling pukul ditengah dan sana sini, para pedagang dikantin juga sudah mulai memisahkan namun tak ada yang berhasil. Dan tatapan mata Asa tertuju pada siswa jangkung dengan baju seragam yang acak-acakan sedang membabi buta dua orang dihadapannya, siapa lagi jika bukan Athana.

Disana juga ada Mentari, Zeeanka, dan Viaul yang diam mematung menyaksikan perkelahian itu, Asa gereget dengan tiga sahabatnya itu yang hanya diam tak membantu. Asa paling tidak suka melihat perkelahian seperti ini, ingatannya kembali terngiang pada sosok Ayah yang selalu memukul Asa sampai mengeluarkan darah, dan ini tidak baik untuk Asa karena jiwa Gerhana pasti akan kembali menguasai tubuhnya.

"Nus, pisahin! Lo kan OSIS!" pinta Asa dengan nada lirih,

Jangan. Gerhana tidak boleh mengambil alih, ini disekolah dan Asa tidak ingin teman-temannya melihat itu semua.

"Tenang Sa, Nadi lagi panggil pak Endi sama pak Andi." jawab Venus,

Asa berlari mendekati ketiga sahabatnya, berusaha menghindari pukulan-pukulan itu. Bahkan Viaul sampai melotot, karena Asa seperti menyebrangi lautan yang penuh akan ular.

"Udah berani ya sekarang! gimana kalau lo kena pukulan mereka Sa?!" tanya Viaul dengan nada sangat khawatir ketika Asa sudah sampai dihadapan mereka dengan nafas tersengal-sengal.

"Nggak papa, paling juga lebam sedikit," kan udah biasa, lanjut Asa dalam hati. Bukannya luka sudah sering Asa dapatkan?

"Kayak yang pernah lebam, gue yang sering juga gak sombong." cetus Zeeanka, sebenarnya Asa ingin menjawab sering namun itu tidak masuk akal.

"Udah dong ngobrolnya, pisahin mereka!" sela Mentari, ah iya, Asa baru ingat ada Mentari disini,

"Pisahin aja sendiri!" titah Viaul dengan melotot.

"Kalau ini bukan sekolah, udah gue pisahin mereka pake tangan gue sendiri!!" jawab Mentari dengan tegas, yah, Asa mengerti.

Asa mengalihkan pandangannya lagi pada sederet orang yang adu jotos itu, kepalanya kembali pusing melihat pemandangan didepan mata. Apalagi melihat muka Athana yang sudah merah merah.

Pahlawan yang diharapkan akhirnya datang juga, pak Endi dan pak Andi datang dengan penggaris besar dan panjang yang terbuat dari kayu itu, masing-masing membawa satu. Siap menghentikan perkelahian itu dengan mikrofon kecil.

"Berhenti semuanya!!!" teriak pak Endi menggunakan mikrofon itu, lalu berjalan ketengah, sesekali memisahkan dua orang yang berkelahi dengan penggaris panjang yang  di tempatkan di tengah mereka.

Beda dengan pak Andi yang menggunakan tangan sendiri dan mendorong siswa yang berkelahi. Mantan TNI dan seorang guru memang beda cara memisahkannya.

Asa berlari menghampiri Athana yang mundur kebelakang akibat dorongan keras pak Andi, lalu Asa menangkap sebelah tangan Athana untuk menjaga keseimbangan tubuh Athana agar tidak oleng. Tatapan keduanya saling beradu pandang. Asa terhenyak mendapati muka Athana yang sangat kacau untuk kedua kalinya. Mata Asa sudah berkaca-kaca sedari tadi, dan air mata berhasil lolos.

Asa menangis melihat keadaan Athana sekacau ini.

Zeeanka sudah mengahampiri Putra dan Viaul juga sudah menghampiri Rizki yang nampak acuh, dan Mentari, orang itu ada disamping Athana dengan pandangan yang sama khawatir.

GERHANA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang