Selama beberapa hari Alex menemukan pesan-pesan dari Joshua yang tidak henti menceritakan perjalanannya di Zürich dan München. Pria itu menjadi terbiasa mengirimkannya pesan, menurut Alex. Memang tidak masalah, lagipula Joshua hanya sekadar bercerita, mereka tidak mengobrol hal-hal yang nenjurus pada suatu yang lain. Hanya saja, terkadang Alex tidak bisa memungkiri kalau hatinya melambung karena bisa dipercaya sosok idolanya itu.
Seminggu ketidakhadiran Joshua di apartemen adalah seminggu yang menenangkan pula untuk Alex. Ia bekerja seminggu full, bisa mengerjakan tugas kampusnya tanpa gangguan dan yang paling penting merasa hatinya sedikit aman dari dentuman abnormal jantungnya setiap Joshua hadir.
Sayangnya, Alex sadar, seminggu adalah waktu yang cepat karena pria itu akan tiba di Lausanne sebentar sore. Ia sudah selesai melaksanakan liburannya di dua kota penuh sejarah itu dan akan bertemu kembali dengan dirinya di apartemen. Kalau dipikirkan lagi, Alex jadi takut merasa awkward meski mereka sering bertukar pesan. Masalahnya pria itu sudah menyatakan perasaan suka kepadanya dan Alex tidak tahu harus berbuat apa dengan pernyataan itu.
"Hari ini Joshua pulang, kan?" Mia menyikutnya. Saat ini keduanya sedang bekerja di sebuah cafè di dekat Danau Jenewa. Salah satu cafè yang buka di hari minggu meski tidak sampai malam.
"Ya."
"Asyik! Kau harus memanfaatkan dua minggu ini!" Pekik Mia lalu menutup mulutnya, takut ketahuan manajer floor yang mengawasi mereka hari ini.
"Memanfaatkan apanya." Bisik Alex. Ia mengedikkan bahu, "aku harap ia cepat-cepat kembali ke Korea."
"Kenapa?"
Alex mengedikkan bahu. Malas diberondongi banyak pertanyaan oleh Mia, ia segera menyusuri beberapa meja, mencari piring kotor atau mencari pelanggan yang butuh bantuannya. Tapi Mia malah mengekorinya dari belakang.
"Kenapa, Alex? Dia punya perangai yang buruk?"
"Tidak." Alex mendesis. Ia mengambil beberapa piring kotor dari sebuah meja yang baru ditinggalkan pelanggan lalu membawanya ke dapur cafè.
"Terus kenapa?"
Alex hampir memekik. Ia terkejut dengan kehadiran Mia yang menghalangi jalan keluarnya dari dapur. Gadis itu menatapnya tajam. "Ayo beritahu aku!"
"Aku hanya lebih suka sendiri, Mia. Kehadirannya bikin aku jadi was-was."
"Kenapa baru sekarang kau seperti itu? Seharusnya dari kemarin kau bilang begini." Kata Mia heran. Ia masih memberikan tatapan tajamnya kepada Alex, seakan ingin menguliti kepala Alex agar sahabatnya itu bisa memberikan jawaban yang jujur kepadanya. Ya, Mia tahu pasti ada sesuatu yang terjadi antara Alex dan Joshua.
"Mia," Alex menghela napas. "Aku bisa mati kalau dia terus ada di sampingku!"
~~~
Joshua duduk santai di atas sofa, ia menggonta-ganti channel TV yang menayangkan acara berbahasa Perancis. Tentu saja ia tidak paham, maka dari itu ia terus mencari channel yang bisa dipahaminya sembari menunggu Alex pulang. Tentu saja, Joshua sudah tidak sabar ingin bertemu Alex. Ada banyak buah tangan yang ia beli dari Zürich dan München untuk gadis itu. Ia juga ingin sekali bercerita secara langsung tentang tempat-tempat yang ia datangi di dua kota tersebut, ingin mendengar penjelasan Alex yang tahu lebih banyak sebagai seorang pemandu panggilan di Swiss.
Oh, jangan tanya, Joshua memang mengakui bahwa ia rindu dengan Alex. Ia menyadari perasaan sukanya kepada gadis itu tumbuh dengan sangat cepat. Ia suka sekali melihat gadis itu menjelaskan tentang banyak hal kepadanya, suka melihat Alex saat membuatkannya sarapan, saat gadis itu mengomel dan saat mereka bergandengan tangan di Rue Centrale dan Museum CERN--ia baru sadar kalau hal itu sangat manis.
Ya, ia menyukai Alex. Tapi hanya sebatas itu. Joshua belum berani untuk membuka kemungkinan lain. Yang jelas ia ingin menikmati waktunya sekarang bersama Alex meski ia tidak tahu apa yang akan terjadi di depan sana.
"Oh? Josh? Apa yang kau lakukan?"
Joshua segera berbalik menghadap Alex yang baru pulang, ia menaruh kunci sepeda di dekat pintu apartemen sembari memandangnya heran.
"Menunggumu."
Alex memutar kedua bola matanya. Joshua tahu, jawabannya terlalu menggelikan--bahkan ia sendiri agak geli setelah sadar apa yang baru ia katakan secara gamblang.
Sedangkan Alex buru-buru masuk ke kamar, mengunci pintunya rapat-rapat untuk berganti baju. Sekalian menormalkan detak jantungnya yang berdegup kencang seakan ia baru saja ikut lari estafet. Rasanya Alex tidak mau keluar kamar, ia ingin ada penyekat nyata antara ia dan Joshua untuk saat ini.
"Alex! Cepat keluar! Aku bawa oleh-oleh yang pasti kamu suka!" Seru Joshua menenggelamkan rencana Alex untuk tetap berada di kamar.
Dengan sedikit malas Alex keluar, ia melihat Joshua sibuk di meja makan dengan sebuah tas besar. Pria itu menyuruhnya mendekat, lalu menyodorkannya beberapa cokelat. "Zürich menyenangkan sekali. Aku menyesal tidak membawa Vernon ke sana."
"Apa ku bilang!"
"Ya, bagaimana? Jadwal dia kan tidak cukup lama untuk bisa ke Zürich." Kata Joshua sembari menghela napas.
"Ya, lagipula sudah berlalu." Alex membalasnya. Dengan kikuk Alex menggaruk kepalanya, "kenapa tidak kau bawa saja ini ke Korea? Aku tinggal di Swiss, cokelat begini ada banyak di Lausanne."
"Aku tidak bisa bawa semuanya, Alex. Lagipula ini ku belikan untukmu."
"Untukku?"
Joshua mengangguk. Senyumnya lebar, manisnya melebihi manis cokelat-cokelat yang pernah Alex rasakan sebelumnya dan lagi-lagi jantungnya mulai ber-'olahraga'.
"Padahal kau tidak perlu melakukannya, Josh."
Mendengar nada suara Alex yang sangat lirih dan tidak bersemangat membuat senyum di wajah Joshua sirna. Ia memandang Alex lama hingga gadis itu risih. "Kenapa?" Tanya Alex takut-takut.
"Kau yang kenapa? Lagi datang bulan? Atau kau lagi ga enak badan?" Cecar Joshua, bahkan ia sampai memeriksa suhu badan Alex dengan menaruh telapak tangannya pada dahi gadis itu. Normal. Tidak panas atau dingin.
"Aku baik-baik saja, Joshua."
"Kau marah padaku?"
Alex menggeleng. "Terima kasih, ya, cokelatnya." Ucapnya sembari tersenyum tipis.
Joshua menghela napas panjang. "Kalau ada yang ingin kau ceritakan, beritahu aku, ya."
Sembari membuka salah satu bungkus cokelat, Alex mengangguk. Sebenarnya ia ingin sekali bertanya kepada Joshua soal perasaan pria itu kepadanya. Ingin sekali Alex meminta Joshua untuk menjaga jarak dengannya. Tapi keinginan itu sulit direalisasikannya karena Alex sendiri diam-diam menyukai segala perhatian yang diberikan Joshua kepadanya.
Alex teringat kata-kata yang pernah ia ucapkan kepada Vernon. Memang benar, ternyata menyukai seseorang yang jauh itu lebih baik daripada saat orang itu berada di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Joshua Hong is My Roomate! [Complete]
FanfictionBagaimana rasanya tinggal satu apartemen dengan Hong Joshua?