"kau bosan? " tanya Jimin yang masih terfokus pada laptop yang berada di depannya. Sekarang ini kami sedang berada di kantor Jimin dan dia sama sekali tidak mengajakku bicara.
"Oppa apa masih lama? " aku mendengus malas apalagi ruangan Jimin sangat membosankan yang hanya berisi tumpukan berkas yang tidak kupahami.
"sini, " panggilnya menyuruhku untuk menghampirinya.
Aku menghembuskan nafas malas tak mengerti mengapa dia memanggilku, sebelum akhirnya aku menurut saja untuk menghampirinya yang sedang duduk di meja kerja. "apa? "
Dia tidak langsung menjawab, malahan menarikku untuk duduk diatas pangkuannya. Hal itu sempat membuat aku terkejut sesaat terlebih ketika dia menaruh dagu runcingnya pada bahuku. "ingin melakukan sesuatu? " godanya membuat aku melebarkan mata.
"Yaaaak! Oppa mau apa? " aku mendelik risih namun Jimin hanya tertawa lepas atas protesku.
"Lea? " panggilnya serak tepat dikupingku hal itu membuat aku merasa geli dan merinding.
"kenapa? " balasku.
Jimin menghembuskan nafas "berjanjilah untuk tidak pernah meninggalkanku apapun yang terjadi, "
Mendengar itu aku sempat terdiam bingung tak mengerti, "iya aku berjanji, " jawabku tak serius dengan kekehan kecil.
"sayang aku serius, " sungut Jimin seperti anak kecil. Aku menghembuskan nafas lalu memiringkan kepalaku kesamping untuk menatap wajahnya.
"iya aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan Oppa, " kataku padanya, lagipula memang aku tidak mungkin meninggalkannya 'kan? Pertanyaan Jimin juga aneh sekali, barangkali mana mungkin aku meninggalkannya apalagi jika kami sudah menikah. Ngomong-ngomong soal menikah siang ini aku dam Jimin akan mencoba baju pengantin, tapi setelah menunggu Jimin menyelesaikan urusannya dulu.
Jimin memajukan kursi kerjanya hingga membawa tubuhku dan tubuhnya lebih dekat ke meja kerja dan berhenti saat bajuku bersentuhan dengan meja. Kedua tangannya ditaruh ke atas meja, membuat posisi tubuhku dikukung oleh kedua tangannya. Jimin mengambil pena, membuka salah satu berkas dan membulak baliknya hingga berhenti disebuah lembaran lalu menanda tangani berkas tersebut. "ayo pergi, " ajaknya lalu menutup map berkas yang tadi ditanda tanganinya.
"Eoh sudah selesai? " kataku tak percaya, karna awalnya kukira akan lebih lama lagi.
"sudah, atau kau ingin kita melanjutkan ke hal lain? " aku menelan ludah kasar terlebih ketika merasakan tangannya yang tadi berada di atas meja sekarang melingkar pada perutku. Ditambah kecupan-kecupan ringan yang dia berikan pada sekitaran leher dan telingaku.
Seketika otak dan tubuhku sulit untuk diajak kerja sama karna hal gila yang Jimin lakukan. Tidak hanya kecupan biasa dia juga menghisap kulit leherku yang sangat sensitif yang mungkin sampai memberikan bekas hickey disana. "Oppa berhenti, kita harus segera pergi nanti tempatnya tutup, " rengekku mencoba menghentikannya.
Sayangnya usahaku sia-sia karna yang terjadi dia justru malah tidak melepaskanku sama sekali, bahkan tangannya masih bertahan pada perutku, "bagaimana kalau sebentar lagi, " pintanya membuat aku menggeleng.
"ayolah, " katanya putus asa membuat aku semakin merinding. Aku mengerti apa yang Jimin maksud, tapi disatu sisi aku merasa tidak bisa melakukan hal itu dengannya. Tidak saat ini, bahkan dengan status kami yang masih belum menikah. Aku tidak tau sejauh mana hubungan kami dulu, atau sudah sampai titik mana karna memikirkannya saja sudah membuat aku sangat merasa berdosa.
"Ya sudah kita tidak usah menikah saja, " ucapku menentangnya.
Jimin menaikan alisnya tak menyangka dengan reaksiku barusan, "apa maksudmu? " tanyanya bingung.
"kita tidak usah menikah saja, lebih baik kita menjadi patner sex. Bukankah iti yang Oppa mau? " kataku malas lalu mencoba turun dari pangkuannya setelah melepaskan rangkulan tangannya dari perutku.
"Lea bukan begitu, " aku memutar mata malas mendengar itu. Entahlah tapi aku sama sekali tidak mau melakukan 'itu' sebelum menikah meskipun mungkin kami pernah melakukannya.
Lagipula apa bedanya menikah dengan tidak menikah jika kami melakukan 'itu', ditambah lagi jika kami hanya sebatas patner sex kurasa akan lebih bebas ketimbang menjalin hubungan pernikahan.
"Ah, " aku reflek memegang kepalaku karna tiba-tiba terasa pusing. Rasanya ada sensasi tak enak setiap kali aku memikirkan tentang patner sex, seolah-olah hal itu memang ada hubungannya antara aku dan Jimin.
Jimin dengan cepat meraih tubuhku, "Lea kau baik-baik saja? " tanyanya panik menyingkirkan tanganku yang meremas kuat kepala dan mengusap-usap kepalaku pelan.
"sebaiknya kau ku antar saja ke rumah, mungkin besok-besok saja kita mencoba baju pengantinnya, " putus Jimin lalu menuntutku dengan pelan keluar dari ruangan kerjanya.
"ani aku baik-baik saja, lebih baik kita tetap pergi, " tolakku tak setuju, lagipula aku yakin ini hanya pusing biasa. Mungkin aku banyak pikiran karna sebentar lagi aku akan menikah dan mempunyai suami. Ini bukan masalah besar, aku hanya berat hati saja karna tak siap untuk kedepannya. Lagipula aku juga malas jika berada dirumah, serius aku sangat-sangat bosan. Hari-hari sebelumnya aku juga jarang keluar rumah karna Jimin tidak bisa menemaniku akibat banyak urusan.
"Lea kau yakin? Kurasa lebih baik jika kau beristirahat saja, "
"Oppa tidak apa-apa, aku baik-baik saja, " kataku menyakinkannya.
"kalau kau seyakin itu baiklah kita akan pergi, tapi jika pusingmu kambuh lagi aku akan langsung mengantarmu pulang, " ucapnya membuat aku mengangguk setuju.
Setelah itu kami berjalan keluar dari gedung perusaha Jimin lalu memasuki mobil. Sampainya di mobil Jimin tidak langsung menghidupkan mobilnya, namun dia lebih dulu membuka jas dan dasi miliknya lalu di taruh ke bangku dibelakang. Barulah setelah itu dia menjalankan mobilnya dengan kecepatan normal, kondisi jalan saat ini tidak terlalu macet padahal sekarang sedang jam istirahat.
Saat aku sedang asik melihat ke luar jendela mobil aku merasa Jimin menggenggam tangan kananku, "maafkan aku untuk kejadian barusan. "
"kenapa Oppa begitu?" kataku masih kesal.
"maaf, aku hanya terlalu merindukanmu, " mendengar itu pipiku seketika memanas, sumpah demi apapun apa benar jika hubungan kami sudah sampai seintim itu? Memikirkannya saja kepalaku seperti terasa kembali pusing.
"Ya sudah jangan dibahas lagi! " protesku tidak mau membahas topik pembicaraan ini lagi.
Jimin tertawa melihat reaksiku yang merasa malu, dia lalu membawa tanganku ke atas lalu menciumnya. Terlihat manis sekali sampai tanpa sadar aku tersenyum karenanya. Tapi jika dipikir-pikir kasihan juga Jimin menahannya, apa dia tidak pernah melampiaskannya ke wanita lain?
"Oppa? "
"hmm, kenapa? " Jimin menoleh kearahku, mengunci tatapanku dengan tatapannya yang terkesan tajam.
"jika hanya sebatas foreplay mungkin aku masih bisa melakukannya, " ucapku dengan mata terpejam sambil mencoba menyakinkan diriku sendiri.
"kau serius? " tanya Jimin penuh semangat, mendengar itu seketika aku menjadi gugup tak yakin.
"tidak jadi, " kataku sangat memberikan harapan palsu sekali, Jimin sudah menatapku gemas dengan senyuman miringnya.
"Yaaaak kenapa Oppa menatapku begitu?! "
"Lea tidak baik sayang mempermainkan hati seorang pria, " jawab Jimin terdengar datar, sebetulnya aku ingin sekali tertawa mendengar itu.
"memangnya tidak boleh? Pria kan juga sering mempermainkan wanita? " balasku tidak mau kalah.
"aku bersumpah akan memghabisi mu ketika kita sudah menikah, " canda Jimin membuat aku mencubit perutnya kesal.
~
Awalnya pengen update subuh, tapi karna aku tidurnya juga subuh jadi aku baru bisa update sekarang.
Sabar ya habis ini aku bakal update King of Evil kok, tapi sabar.
Ini cerita aku jelek kali, jumlah yang baca jauh banget dari yang vote apalagi yg komen.
![](https://img.wattpad.com/cover/212942558-288-k833155.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐚𝐧𝐠𝐞𝐫𝐨𝐮𝐬
Fanfiction🖇·˚ ༘ ┊͙[ 𝐖𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠 𝐧𝐜 ] ! ˊˎ ❝Hard sex is a good sex.❞ Mau tak mau, Lea harus melayani nafsu Jimin hampir setiap harinya. Itu semua bermula semejak kejadian satu tahun yang lalu. Lea tidak bisa terlepas lagi dari Jimin, kecuali Jimin send...