E M P A T

16.7K 1.1K 47
                                    

Setelah Jimin meninggalkan ku ke ruang makan, yang ku lakukan saat ini hanyalah menangis. Aku membenci kenyataan bahwa diriku adalah gadis pemuas nafsu. Tapi bukan kah aku harusnya lega, setidaknya setelah Jimin menikah dengan Naree aku akan terlepas darinya.

Setidaknya begitu.

Apa aku harus sedih dengan fakta barusan?

Perut ku mendadak sangat sakit mengingat aku sama sekali belum makan. Semua ini gara-gara Jimin dan alat sialan itu. Rasanya ini tidak adil, Jimin bahkan boleh berpacaran dengan Yoona sampai mau bertunangan. Sedangkan aku bahkan dilarang dekat dengan lawan jenis apalagi sampai menjalin hubungan kekasih. Aku bahkan ingat aku hanya memiliki tiga orang mantan selama ini.

"Kau menangis? " aku sedikit kaget memdengar itu, lalu melihat ke arah pintu yang sedang terbuka. Sejak kapan? Aku bahkan tidak mendengar bunyi pintu terbuka.

"Tidak, " aku memalingkan muka sebal, dan tidak mau terlihat begitu cengeng di depan Jimin. Apalagi menangis untuk hal yang tidak jelas.

Jimin menaikan alisnya, "Orangtua mu sudah pergi ke kantor, mau pergi bersama ku? "

Aku menyeritkan dahi bingung pada pria yang umurnya lebih dua belas tahun dari ku ini, "Oppa aku bahkan belum makan, " Adu ku benar-benar kelaparan, Jimin sangat tidak peka.

"Iya, sambil cari makan juga, "

"Makan diluar? " tanya ku memastikan.

"hm, "

"Makan di restoran yang mahal kan? "

Aku terkekeh saat melihat Jimin menarik nafas panjang, "Tentu, untuk mu aku akan selalu memberikan yang mahal, bukan? . "

"Hehehe aku sayang Oppa, " aku tersenyum mendengar itu, sedikit lucu juga.

"Kalau begitu bersiap-siap lah, jangan lupa rapikan rambut kusutmu yang sudah seperti gembel, " aku cemberut mendengar itu tega sekali, padahal rambut ku hanya sedikit berantakan. Tidak sampai acak-acakan seperti gembel.

"Aku mau digendong sampai ke mobil, " rengek ku, jangan bully aku oke. Aku memang sedikit manja terkadang jika bersama Jimin.

"Kau masih punya dua kaki jika perlu aku ingatkan, "

Aku mempoutkan bibirnya mendengarnya itu, aku ditolak, "tapi aku pengen digendong, "

"Kau bukan anak kecil, sudah besar juga, " balas Jimin berdecih.

"Aku masih kecil, " jawabku tidak mau kalah.

"Tidak ada anak kecil yang bagian dadanya besar, " kata Jimin dengan santai membuat aku melotot.

"Opppa! " teriak ku dengan pipi yang memerah, kenapa bahasan nya jadi kesana.

Jimin terkekeh lalu mengusap rambutku, "Sini Oppa gendong, " ucapnya membuat aku tersenyum lalu Jimin segera mengendong ku ala bridal style.

Selama di perjalanan aku selalu mengeluh, protes, dan masih banyak lagi. Bagaimana tidak aku sudah sangat lapar tapi Jimin belum kunjung juga memberhentikan mobilnya. Aku bahkan tidak tau dia ingin membawaku kemana sekarang.

Semakin lama perjalanan kami semakin jauh dengan kota, bahkan aku tidak tau ini dimana. Hingga kami memasuki jalan yang disebelah kiri dan kanan nya adalah hutan. Tidak mungkin kan Jimin ingin menculik ku?

"Oppa aku sangat lapar, " rengek ku padahal sebenarnya aku sedikit takut melihat hutan dari kaca mobil.

"Maafkan Oppa, tunggu dulu sebentar lagi kita akan sampai, " Jimin mengusap rambut ku, wajah nya sangat merasa bersalah dan sedikit khawatir.

𝐃𝐚𝐧𝐠𝐞𝐫𝐨𝐮𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang