Jimin berjalan dengan langkah sunyi, sedikit menyeret kakinya pelan. Sekarang sudah jam tiga sore ketika dia sampai di rumah mertuanya. Punggungnya pegal akibat terlalu lama duduk didalam mobil. Dia juga ingin segera merobohkan dirinya di atas kasur namun tidak jadi karna ingin terlebih dahulu bertemu dengan istrinya tercinta.
Sudah jelas langkah pertama yang harus Jimin lakukan adalah mencari keberadaan Lea di rumah ini. Perkiraan Jimin memang tidak pernah salah, jika tidak sedang tidur maka saat ini istrinya sedang berada di dapur. Manis pikirnya padahal terlihat wajah lesu Lea yang nampak begitu terpaksa memotong mangga.
"Aku pulang," Jimin memeluk tubuh Lea setelah meletakan tasnya di atas meja. Lea tidak menggubris Jimin dan malah menyiku pria itu dengan tangannya. Jimin terkekeh lalu melepaskan pelukannya. "Tadi siang kau pergi ke tempat Anha?"
"Iya hanya sebentar saja," Jimin mengangguk mendengar itu, seperti yang sudah-sudah . Sebetulnya ada banyak yang ingin Jimin tanyakan tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat, dengan segera Jimin menghapus rasa penasarannya karna yang terpenting saat ini Lea baik-baik saja. "Kau semakin gendut ya."
"Yaaaaak! aku tidak gendut!" Lea berdecak terlihat marah, menurutnya itu bukan sesuatu yang lucu. Entahlah tapi rasanya Lea sendiri merasa seperti dihina jika dibilang gendut.
"Ah maaf aku tidak bermaksud begitu," sebetulnya maksud Jimin itu gendut yang artinya gemas, tidak sama sekali berniat mengatai Lea.
"Yaaaa! jangan memeluk ku!" tolak Lea saat Jimin hendak mendekatkan tubuhnya lagi dengannya.
"Kenapa?" gema Jimin kebingungan, jika diterka-terka Lea memang seperti sedang marah.
"Tidak mau, kita kan sedang marahan."
"'Kan cuma marah-marahan, jadi kenapa sampai tidak boleh pelukan?"
"Jimin tidak ada orang yang sedang marahan saling berpelukan." Memang sosok bernama Park Jimin ini selalu menyebalkan, bahkan dari zaman mereka masih sebatas patner mana pernah Jimin ingin terlihat kalah. Bahkan hanya untuk perdebatan kecil sekalipun sampai perdebatan yang begitu serius. Lea menggeleng, pipinya perlahan memerah. Bagaimana bisa dia mengingat kenangan saat mereka berdebat tentang ingin melakukan hubungan intim di mobil atau di kamar.
"Tapi 'kan yang marah cuma kau,"
"Bagus, jawab saja terus!" Lea merasa muak karna Jimin terus menyangkal ucapannya. Kali ini Lea tidak ingin kalah dalam perdebatan mereka, dan jika kali ini dia kalah debat. Mungkin Lea akan mengisolasi diri dari seisi orang rumah dan Jimin.
Jimin menghembuskan nafas pasrah, tidak baik begini terus. Memang lebih baik dia mengalah meskipun masih terlampau gemas sekali untuk melihat istrinya marah-marah, "Kau kenapa marah sih?"
"Kau masih bertanya kenapa aku marah? pertama kau meninggalkan aku, kedua kau jarang menghubungiku dan yang ketiga kau bahkan mengataiku gendut!" tampak seperti indikasi kesakitan saat ini Lea sudah siap untuk mengamuk
pada Jimin."Koreksi, yang ketiga sebetulnya aku ingin bilang kau menggemaskan." Jimin menyengir lalu mengusap epidermis Lea dengan tangannya, memeluk istrinya itu seerat mungkin. "Maaf ya aku takut kau akan kelelahan jika ikut."
"Bagaimana dua hari ini kau baik-baik saja?" tanya Jimin penasaran tentang apa yang istrinya lalui selama dua hari ini. Mendengarkan Lea bercerita adalah hal yang menyenangkan, lagipula memang pendar kebahagiaan Jimin ada pada Lea 'kan?
Lea menggeleng lalu membisiki Jimin, "kau harus tau kalau aku disuruh-suruh terus oleh eomma," adunya dengan wajah yang cemberut membuat Jimin tertawa.
Sebetulnya sebelum menikahi Lea Jimin memang tau kalau gadis ini sama sekali tidak bisa memasak ataupun bersih-bersih rumah. Ya memang begitu, tidak menyalahkan Lea tapi Jimin memang sama sekali tidak keberatan akan hal itu.
"Aku capek pokoknya malam ini kau harus pijitin aku tidak mau tau," Mendengar itu Jimin sedikit merasa keberatan tapi dipakasakan untuk tersenyum mengiyakan begitu saja permintaan sang istri. Apalagi Lea bicara dengan nada kesal tertahan, mana berani Jimin mau membantah. "Aku memasak makanan kesukaan mu, tapi tidak tau apa enak atau tidak." Pun Lea mulai mengeluarkan seporsi Kimchi Jjigae untuk Jimin coba.
Jimin tersenyum kemudian mulai mencicipi masakan Lea, beberapa kali gigitan baru pria itu menelan makanan di mulutnya, "enak kok."
"Memang enak, appa bahkan sampai memuji masakanku," Lea menyahuti sombong berbangga diri. Sebetulnya ini bukan potensi yang mengagumkan, tapi bisa memasakan masakan dengan rasa yang enak dalam satu kali percobaan patut di acungi jempol. Jimin menggeleng terkekeh lalu mengacak-ngacak rambut Lea gemas.
✨💫✨
Gua pengen buat cerita yang Lea nya jadi antagonis, kaya pelakor tapi bukan di kaya di cerita precious.
Kalau gua buat cerita baru lagi jangan marah ya, soalnya gua memang suka mengutamain anak baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐚𝐧𝐠𝐞𝐫𝐨𝐮𝐬
Fiksi Penggemar🖇·˚ ༘ ┊͙[ 𝐖𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠 𝐧𝐜 ] ! ˊˎ ❝Hard sex is a good sex.❞ Mau tak mau, Lea harus melayani nafsu Jimin hampir setiap harinya. Itu semua bermula semejak kejadian satu tahun yang lalu. Lea tidak bisa terlepas lagi dari Jimin, kecuali Jimin send...