Gadis itu meringkuk dengan ketakutan. Hatinya sedang kalut, perasaannya berkecamuk. Matanya sembab karena—tangis, hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang ini.
"Pelakor!"
"Ngapain lo hidup?!"
"Ludahin aja, lah!"
"Najis! Sok suci!"
"Nggak nyangka! Diam, tapi menikam!"
Semua kata-kata itu masih terngiang jelas di pikirannya. Memutar bagai alunan musik yang diputar terus-menerus. Gadis itu tersenyum getir mengingat perkataan temannya yang begitu menohok.
"Pantes aja deketin gue, ternyata lo caper sama pacar gue?"
Hari demi hari Melan lalui dengan cemoohan teman-temannya yang menuduhnya merebut pacar---sahabatnya. Melan tidak menyangka, orang yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya sendiri ternyata adalah orang yang sudah menghasut teman-temannya untuk ikut menjauhi dirinya.
Kesalahpahaman itu kemudian berujung pada perundungan yang membuat Melan di jauhi, dicaci, dimaki, dihina, dan selalu menjadi bahan gunjingan.
Niatnya padahal sungguh baik, ingin mempersatukan sahabatnya yang sedang bermasalah dengan pacarnya. Namun, sepertinya dia salah langkah. Seharusnya Melan diam saja tanpa perlu mengurusi kehidupan orang lain.
Temannya-Dinda-adalah wanita munafik. Ketika bersama dengannya dia menjelekkan nama Naura sedangkan ketika bersama dengan Naura dia melakukan yang sebaliknya.
"Apa aku nggak pantes buat bahagia?" Melan tertawa. Dia menekuk lututnya sembari menatap langit-langit kamar yang dihiasi dengan gambar balita tertawa. Itu adalah gambar dirinya.
Gelak tawa yang dulu ia rasakan kini hilang. Keluarganya pun sekarang tidak saling memperdulikan. Tidak saling bertegur sapa, bahkan enggan untuk memberikan senyum sekalipun.
***
Suara tawa menggema di kelas X IPS 2. Mereka menertawakan Melan yang sedang di permalukan oleh temannya-Naura.
Matanya melotot seperti ingin keluar dari tempatnya. Tatapan penuh kebencian itu ia lampiaskan dengan cara menindas Melan. Gadis itu meringis kesakitan ketika sebuah tangan tiba-tiba menarik rambutnya dengan kasar kemudian menabrakkan kepala Melan ke tembok.
Melan memilih diam. Dia tidak berani untuk berontak, dia terlalu takut untuk mengungkapkan kebenaran. Yasmin gadis yang tadi mengereknya seperti tali bendera itu kemudian tersenyum bangga. "Hei kalian, gue udah jedotin Melan!"
Tepukan tangan langsung menggema, mereka sangat puas ketika satu persatu dari mereka menindas Melan. "Lo pantes diginiin, pelakor!" bisik gadis itu membuat air mengalir di pelupuk mata Melan.
Cacian demi cacian mulai mereka lontarkan kembali. Tidak sadarkah mereka, bahwa yang mereka lakukan itu keterlaluan?
Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang—Melan. Gadis dengan sejuta prestasinya yang tidak pernah mendapatkan apresiasi apapun dari ayahnya. Melan mengatupkan tangannya, memejamkan matanya, dan berdo'a. Melan percaya bahwa ia mampu melewatinya. Meskipun, tanpa dukungan siapapun.
***
Melan pulang menggunakan motor matic kesayangannya. Di tengah perjalanan dari kaca spion melan menelik sebuah mobil sedan yang sedari tadi mengikutinya. Sontak Melan langsung menambahkan kecepatannya. Namun, sebelum itu,
mobil sedan itu sudah lebih dulu menyenggol motor Melan yang membuat pertahanan itu luntur.Gadis dengan kacamata andalannya menongol dari kaca jendela mobilnya kemudian mengatakan, "Mangkanya, minta beliin mobil! Katanya anak Dokter ternama kok masih pake motor butut itu aja?" Gelak tawa pecah, setelah itu mobil langsung berlalu pergi.
Mata Melan berkaca-kaca, rasanya dia ingin menangis. Namun, kamarnya adalah satu-satunya tempat yang tepat untuk berkeluh kesah kepada Tuhan-nya.
Melan melihat darah yang mengalir dari kakinya. Tak apa. Hanya berdarah tidak perlu di amputasi, ia tak perlu lebay. Itu yang selalu Ayahnya ajarkan.
"Tak perlu menjadi yang tertinggi, jika di bawah pun bisa untuk menenggelamkan musuh!"
"Tidak semuanya bisa kamu salurkan dengan sebuah keluhan, Melan!"
Melan mengingat ajaran ayahnya yang sekarang ini. Seorang ayah yang sudah tidak mengharapkan kehadirannya di dunia. Seorang ayah yang ternyata diam-diam menyembunyikan sebuah rahasia besar. Melan tersenyum miris mengingat semua ajaran-ajaran baru yang harus ia terapkan di kehidupannya nanti. Melan harus melakukan apa yang ayahnya mau, jika masih ingin bersekolah di SMA Merpati.
"Aku ngga selemah itu, kok." Melan mengatur napasnya untuk menetralisir perasaannya.
Silakan tinggalkan jejaknya, sayangnya akoh.
Jangan lupa tebar kebaikan dengan merekomendasikan cerita ini, hoho.
See you next part!
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi KAMU [Selesai]
Teen Fiction>> SAD + ROMANCE << "Kalo itu keinginan Ayah ... Melan bakal turutin." Aku atau adikku yang dikorbankan? Melan-itu adalah panggilanku. Akan tetapi, tidak untuk keluargaku. Aku kira aku adalah anak bungsu, tapi ternyata aku salah. Cemoohan setiap har...