1. Rumah Baru

105 28 21
                                        

Playing now: TULUS - Adaptasi

-

Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih satu jam, keluarga Sagita langsung beralih menuju basement bandara. Mereka akan berganti kendaraan menjadi menaiki mobil dan melanjutkan perjalanan ke rumah barunya.

Sagita berjalan dengan langkah yang sangat gontai, karena dirinya amat tidak kuat melawan rasa kantuk. Ia mencoba untuk menyadarkan dirinya terlebih dahulu dengan bersandar pada tembok. Ia menarik napas dalam-dalam dan meraih air mineral dari dalam tasnya, mencoba untuk mengumpulkan nyawanya yang masih terbang-terbangan.

Ia menguap dengan tangan yang menutupi mulutnya. "Mah, ke cafe bandara dulu yuk. Sedikit kopi untuk menenangkan kepalaku, Mah. A cup of hot tiramisu coffee, please," pinta Sagita dengan manja dan memasang puppy eyes kepada mama-nya yang berjalan di depannya.

Natalie berhenti di hadapan Sagita sembari bertolak pinggang. "Lho kenapa, Dek? Dikit lagi sampe ke mobil itu kok."

"Ayolah, Mah," rengek Sagita sambil berjalan menghampiri mama-nya.

Natalie menggelengkan kepalanya. Lalu, ia melihat jam tangannya sejenak. "Yo wes, ayo."

Rega berjalan menuju pintu basement, samar-samar ia mendengar suara percakapan mama-nya dan juga Sagita. Ketika sampai di pintu basement, ia segera melayangkan protesnya. "Repot bener kamu, Git."

"Sssttt ... keep your freakin' mouth, Mamaskuuu," ujar Sagita sambil menempelkan jari telunjuknya ke mulut Rega.

Rega terdiam kaku akibat perbuatan Sagita tersebut. Dengan tangan yang dimasukkan ke dalam celana, ia memandang kosong ke depan setelah kepergian Sagita. Hatinya sedikit dag-dig-dug dibuatnya. Itulah Rega, seorang lelaki yang lemah dengan perlakuan wanita.

—•—

Ternyata, segelas kopi yang Sagita minum dua jam lalu tidak berhasil menghilangkan rasa kantuknya. Malahan, ia yang paling pertama jatuh terlelap ke dalam mimpi setelah mobil beranjak pergi dari Bandara Soetta. Ia yang sebelumnya memilih untuk mengambil posisi di belakang ternyata terlena akan keleluasaan tempat untuk berbaring.

Ia mengulet di atas kursi mobil paling belakang. Sederet kursi mobil di belakang itu hanya ia gunakan sendiri untuk tidur. Padahal, bisa muat dua sampai tiga orang. Ia membuka matanya perlahan-lahan sambil menguceknya dengan kedua tangan. Hembusan AC mobil yang dingin membuat dirinya meringkukkan tubuh di pojok kanan belakang.

Sagita memandang keluar jendela seraya bertanya pada papa-nya. "Pah, suhu mobil'e berapa? Ini udah sampai mana, sih?"

Di kursi tengah terdapat Natalie dan juga Rega–kakak lelakinya Sagita yang sedang tertidur pulas berbalut dengan selimut. Sagita yang melihat itu pun langsung berdumel di dalam hati. 'Mereka nganggo selimut. Kok aku ra' dikasih selimut, ya? Isss dingin banget.'

"Sampai di mana ini, Pak?" tanya Hendra kepada sopir pribadinya yang memang tersedia di Jakarta.

Sopir itu pun melirik sekilas ke arah ponselnya yang menampakkan aplikasi map, lalu melihat ke luar jendela mobil. "Sampai di Univ. Tarumanagara, Pak."

"Univ. itu bagus gak, Pak? Ngomong-ngomong masih lama gak sampai ke rumahnya, Pak?" tanya Sagita sambil berusaha mencari tombol lampu bagian belakang.

"Sebentar lagi sampai," ucap pak sopir tersebut seraya membelokkan kemudi mobil ke arah sebuah komplek. "Itu sudah ada gapuranya."

'Apa tuh? Komplek Perumahan Grand Hill Paradise, Jakarta Pusat. Oh, nama kompleknya itu Grand Hill Paradise. Asing, aku gak pernah denger namanya.' Sagita semakin menempelkan kepalanya ke jendela dengan tangan yang ia rapatkan di kanan kiri kepalanya.

Sagita [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang