Happy reading❤️!
-
Sidang telah selesai diselenggarakan. Mungkin, ini memang saatnya bagi Sagita untuk kembali ke Jogja. Siap tidak siap, ia harus menuruti itu. Kembali ke kota kelahirannya dan harus meninggalkan segala kenangan manis di kota yang ia singgahi sementara.
Dengan napas yang terasa sesak, dengan genggaman tangan yang melemah, dengan segala air mata yang mulai terasa kering, kini Sagita memang benar-benar harus merelakan. Ia dilanda mimpi buruk lagi, untuk malam ini. Setelah berusaha tidur dengan tenang, tapi ia malah terbangun jam dua dini hari.
Sagita pun berjalan ke dapur untuk mengambil minum, karena ia merasakan kerongkongannya yang kering tidak tersiram air. Sesaat sampai di dapur, ia bertemu dengan Natalie yang tampaknya sedang sibuk berkutik dengan alat masaknya.
"Lagi apa, Mah?" tanya Sagita.
Natalie yang sedang memotong lobak, segera menoleh ke sumber suara. "Hm, bosen aja. Kamu sendiri mau ngapain, Gita?"
"Oh ya, kita ke Jogja-nya malem kan, Mah?" tanya Sagita sembari menuangkan air ke dalam gelas kacanya.
Natalie memberhentikan aktivitasnya. Ia menoleh kepada anak gadisnya itu dengan tatapan heran. "Kenapa? Kok kamu nanya begitu? Bukannya kamu agak sungkan untuk pulang ke Jogja, Git?"
Sagita mengedikkan bahunya tanpa sebab dan alasan. Ia memutar bola matanya menatap sekeliling dapur rumahnya. "Hm, izinin Sagita buat jenguk eum ...." Sagita memberhentikan ucapannya. Sedikit pasrah dengan apa yang nanti akan Natalie jawab.
"Izin ke mana?" tanya Natalie masih berkutik dengan pemotongan lobak.
"Le–leo, Mah ...," lirih Sagita dengan sangat pelan.
Lagi, kini Natalie meninggalkan aktivitasnya. a meletakkan lobak yang sudah dipotong ke dalam kulkas. Ia pun bergegas mencuci tangannya di wastafel. Tanpa berbicara sedikit pun ia menghiraukan atau mungkin sengaja untuk bungkam.
Setelah selesai mencuci tangannya, Natalie menghampiri Sagita dengan tatapan sendu. Ia meletakkan tangannya di pundak kanan Sagita. "You know what you have to do, Honey." Natalie mengembangkan senyum manisnya.
"Thank you, Mam!" seru Sagita. Ia menghambur ke pelukan Natalie, dengan senyumnya juga yang tak kalah manis seperti mama-nya.
—•—
Pagi-pagi buta, Sagita sudah rapi mengenakan .... Tidak! Tidak sepagi-pagi buta yang kalian bayangkan. Jarum di jam tangan putihnya menunjukkan pukul sembilan. Sagita mengenakan kemeja pink yang dibalut dengan sweter ungu, serta rambut yang dicepol dua, karya mama-nya. Sedikit menyisakan rambut sebagai poni, menambah kesan menggemaskan pada Sagita.
Ia berdiri di depan Lapas Narkotika, Jatinegara, Jakarta Timur. Dengan membawa dua orang yang mungkin akan bisa membantunya jika ada perlu, siapa lagi kalau bukan Heksa dan? Rey? Teman kecil yang baru bertemu lagi dengannya seminggu yang lalu.
"Mau langsung masuk, Git?" tanya Heksa.
"Hm, boleh."
Sagita telah menyetujui untuk masuk ke lapas tersebut. Dari mereka bertiga, Heksa-lah yang mengepalai perjalanan. Ia berjalan mendahului Sagita dan Reya yang mengikuti dirinya di belakang.
Tibalah mereka di meja tamu. Leo dengan baju belang hitam putihnya berhadapan dengan tiga orang yang ia kenal dengan kawalan seorang sipir yang cukup akrab dengannya.
"Leo, ini ada yang mau menjenguk. Waktunya tiga puluh menit, ya," ucap sipir tersebut.
Sagita dipersilakan duduk oleh kedua cowok yang bersamanya. Karena memang hanya tersedia dua kursi, satu untuk tahanan dan satu untuk tamu. Maka dari itu, Heksa dan Rey memilih untuk mengalah dan berdiri sampai pertemuan mereka selesai.
"Kak, Rey, boleh kalian keluar dulu? Aku mau ngomong berdua sama Leo," pinta Sagita.
Tanpa pikir panjang, tanpa menjawab, Heksa mengepalai lebih dulu meninggalkan ruang jenguk. Meninggalkan Leo dan Sagita agar dapat berbicara empat mata sesuai permintaan Sagita. Dengan begitu, dirinya langsung disusul oleh Rey yang juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sagita melirik ke belakang. 'Mereka berdua udah keluar, kan?'
Sagita menatap Leo dengan syahdu. Ia menghembuskan napasnya hingga terdengar oleh Leo. Itu menimbulkan celah untuk Leo bertanya padanya. "Ada apa?"
"Maaf," ucap Sagita singkat.
"Untuk?" tanya Leo juga singkatnya.
"Hal yang lo alamin sekarang," jelas Sagita merasa malu. "Gue bener-bener minta maaf."
Leo menyandarkan punggungnya ke kursi. "Ya emang salah gue, kenapa perlu lo minta maaf? Pasti juga bakal ketahuan."
Sagita sedikit terganggu dengan jawaban dari Leo. Kenapa begitu cara dia menjawab, pikirnya. "Kapan bebas?"
"Lima tahun, mungkin."
"Masih lama, ya?" tanya Sagita "lo baik-baik aja di sini, kan?"
"Seperti yang lo lihat," jawab Leo.
Tidak, Leo tidak baik-baik saja. Nyatanya, banyak luka lebam di wajah dan juga tangannya. Itu membuat Sagita sedikit ngeri untuk membayangkannya. Ia tau apa yang terjadi pada Leo ketika dalam masa tahanan.
"Aku cuma mau pamit, Kak. Aku mau pulang ke Jogja. Aku harap, kak Leo nyari aku ke Jogja setelah bebas dari sini. Aku pasti bakal kangen sama kakak. Setelah aku kembali ke Jogja, mustahil bagi aku untuk bisa main ke Jakarta. Pasti aku dijaga ketat. Aku mohon sama kakak," pinta Sagita. Ia terlihat menahan air matanya yang hendak terjun bebas.
Leo yang melihat itu sedikit terguncang hatinya. Rasa egonya seakan sudah hancur dan luluh karena sifat gadis yang ia cintai. "Gue janji, dan gue juga jujur kalo gue kangen lo. Gue masih sayang sama lo. Gue gak bakal bisa lupain lo dengan mudah. Gue gak bakal bisa hidup tenang tanpa lo di sisi gue. Tapi, emang takdir yang merencanakan itu semua, gue bisa apa? Gue cuma makhluk-Nya yang kayaknya gak berguna di muka bumi ini."
"Jangan begitu," lirih Sagita. Ia memajukan tangannya menggenggam tangan Leo.
Leo tertawa meledek, ia melirik tangannya yang digenggam oleh Sagita. Ia sudah bosan mendengar kata yang selalu menyalahkannya. Ia pun bangkit dari kursinya dan memanggil pak sipir. "Pak, udahan aja, nih. Suruh dia pulang, ya!"
"KAK! APA-APAAN SIH, LO?!" bentak Sagita. Ia menggebrak meja, karena tidak terima.
"Gak apa, lo pulang aja, ya. Gue baik-baik aja kok di sini," ucap Leo "semakin gue liat lo, semakin nyusahin gue buat berpikir akan kesalahan gue, Git. Gue juga mohon sama lo, untuk jangan ganggu gue saat ini. Gue persilakan lo untuk balik ke Jogja, dan suatu saat gue bakal cari rumah lo di Jogja. Lo boleh pegang janji gue."
Leo pun melanjutkan berjalan menuju jeruji besi lagi, meninggalkan Sagita yang terdiam kaku tak terima akan semua ucapan yang baru Leo ucapkan. Memang terasa egois bagi Leo saat ini, tapi memang harus melakukan hal itu agar dirinya dapat sadar akan segala kesalahnnya.
Sagita pun juga termakan dengan rasa kekesalannya. Ia berjalan dengan cepat dan berkali-kali mengusap kasar matanya yang basah dengan air mata. Ia meninggalkan lapas tersebut dan enggan pulang bersama Heksa dan Rey.
Heksa dan Rey cukup heran melihat Sagita dalam keadaan kalut. Mereka melihat Sagita berlari keluar dari lapas dengan tergesa-gesa dan dengan aktivitas yang Sagita lakukan, yaitu sibuk mengelap matanya. Tak tau apa penyebabnya, mereka pun berniat mengejar Sagita.
"Sagi!" panggil Rey. Ia berusaha mengejar Sagita yang kali ini sudah berlari menuju jalan utama.
"Git!" teriak Heksa.
"Sagi, kenapa?" tanya Rey.
Namun, Sagita hanya diam tak menjawab. Ia lebih memilih memberhentikan taksi untuk mengantarkannya pulang. Tepat saat ia sampai di trotoar, sebuah taksi datang menghampirinya. Ia segera membuka pintu mobil taksi tersebut dan meninggalkan Rey dan Heksa secepatnya.
_______________________________________
__________________Semoga suka!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri bawah.Xixie,
-sausankml

KAMU SEDANG MEMBACA
Sagita [COMPLETED]
Novela Juvenil[TAMAT - 24 Desember 2020] Menjadi seorang direktur agen rahasia dan menggunakan nama palsu memanglah sesuatu yang rumit. Sampailah dirinya di SMA Carem. Di mana ia sebagai pemimpin harus merelakan diri menjadi magnet untuk menarik target, agar dapa...