#27

351 49 2
                                    

"Ini tinggal masukin angka ke rumusnya aja, terus abis itu tinggal itung deh. Gampang, kan?"

Dengan sabarnya Jeno membimbing Jaemin menyelesaikan tugas fisika. Tapi yang terjadi malah Jaemin asyik bermain ponsel. Ya apalagi kalau bukan saling balas pesan dengan Millen? Padahal Jeno mati-matian menahan kantuk hanya demi Jaemin, demi satu nomor saja yang Jaemin sudah mentok tidak bisa menyelesaikan.

Sikap Jaemin yang seperti itu membuat Jeno seperti dihianati, seperti diselingkuhi. Panjang lebar menjelaskan, tapi tidak diperhatikan.

"Aku tidur duluan."

"Lho No kok tidur sih? Aku belum paham." Jaemin merengek, menghentikan paksa langkah Jeno dengan menarik lengan anak itu.

"Aku males. Kamu sibuk sama orang lain terus, ga pernah perhatiin aku yang capek-capek jelasin."

"No! Jeno!" Jaemin mengekor langkah Jeno sampai keatas mezanin. "Lee Jeno!" Kali ini Jaemin berhasil membuat Jeno menatap kearahnya. Tiba-tiba merasa canggung karena tatapan mata Jeno yang datar. Sangat terlihat Jeno tak mau diganggu.

Karena Jaemin tidak lekas mengatakan sesuatu, Jeno memutuskan untuk kembali berjalan menuju ranjangnya. Ngomong-ngomong tadi Jeno sudah gosok gigi kok, sudah cuci muka dan pakai skin care juga, tinggal tidur. Tapi Jaemin yang merengek karena kesusahan menjawab soal membuat Jeno tak tega dan akhirnya turun tangan.

"No kamu marah ya? Jangan marah dong." Jaemin memelas. Menyusul Jeno naik ke ranjangnya, tapi Jeno malah membelakangi anak itu dan mencoba menutup mata dan telinga rapat-rapat.

"Aku mau tidur, Na. Jangan ganggu!" Jeno menarik selimutnya sampai menutupi seluruh tubuh. Mencoba abai dengan keberadaan Jaemin yang sepertinya masih juga belum turun dari ranjang.

"Maaf No. Aku tau kamu marah gara-gara aku keseringan sama Millen, kan?" Jaemin berkata-kata tak ada henti, tak peduli apakah Jeno akan mendengarkan atau tidak. Yang penting saat ini anak manis itu mau mengatakan apa yang akhir-akhir ini selalu mengganggunya. "Aku jadi sibuk dan lupain kamu. Kamu berhak kok marah, aku maklum. Gimana engga? Selama ini kita barengan terus tapi sekarang pas kamu ajak aku sepedaan aku nolak. Kamu ajak aku temenin ke perpustakaan kota aku ngga bisa. Kamu minta ditemenin jalan, aku malah pergi jalan sendiri sama Millen." Jaemin menghembuskan nafasnya kasar. Merasa diri sangat payah dan bersalah karena menyiakan sahabat seperti Lee Jeno.

"Bahkan aku selalu sibuk sama ponsel pas kamu jelasin sesuatu. Aku ngerti kok No, kalau aku digituin pasti juga marah. Malah lebih marah lagi daripada ini."

"Tapi satu hal yang harus kamu tau, Millen bukan mau ambil aku dari kamu. Dia cuma perlu bantuan aku buat ajarin bahasa inggris. Millen mau ambil beasiswa ke Amerika."

Mengambil jeda sejenak, Lee Jaemin menatap punggung Jeno yang dibalut dengan selimut. Dadanya merasa sesak. Ternyata begini rasanya diabaikan. Jeno yang dengan posisi seperti itu sepertinya mustahil akan mendengarkan kata-kata Jaemin barusan.

"Ngga ada yang bisa gantiin posisi kamu, No. Ngga ada. Kamu itu sahabat, saudara, pelindung dan mungkin lebih dari itu buat aku."

My Missing Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang