#3

810 81 4
                                        

Ini hari minggu. Jaemin memang biasanya selalu tak pernah absen untuk bersepeda. Berolahraga sambil menikmati udara segar diluar rumah. Berusaha mengusir segala penat dan lelah akan kegiatannya sehari-hari. Biasanya Jaemin bersepeda seorang diri. 

Sahabatnya? Mana mau? Mana tertarik?

Katanya bersepeda itu melelahkan dan membuat kulit bisa terbakar.

Begitulah ketika Jaemin berusaha mengajak mereka bersepeda. Selalu begitu. Terlebih mereka semua menjawabnya dengan tegas dan kompak untuk menolak ajakan Jaemin. Alhasil Jaemin mau tak mau harus bersepeda seorang diri.

Padahal bersepeda itu sangat menyenangkan, menurut Jaemin.

Mengambil rute pendek, biasanya Jaemin hanya bersepeda disekitar komplek rumah dan terkadang berkeliling sekitar sungai han. Sesuai dengan permintaan buna, Jaemin dilarang bersepeda terlalu jauh. Katanya takut kelelahan, nanti bisa sakit. Kalau Jaemin sakit Yoona sedih.

Yoona sangat protektif, maklum, Jaemin itu anak satu-satunya.

Cuaca hari ini lumayan sejuk dengan matahari yang bersinar cerah. Energi Jaemin lumayan terkuras. Maka dari itu kini Jaemin beristirahat ditepi sungai han setelah melihat ada bangku yang kosong.

Kedua mata teduhnya memandang kearah sungai han yang permukaan airnya bergelombang terkena hembusan angin. Surai Jaemin yang sudah tak tertutup helm ikut berkibas dengan lembut. Anak itu duduk beristirahat sambil menikmati air minum yang dibawanya. Terasa nikmat meski itu hanyalah air putih yang dipersiapkan buna dari rumah tadi.

Menatap lebih dalam kearah sungai, angan Jaemin jadi terbang. Memutar kembali kenangan ketika dirinya masih usia kanak-kanak.

"Hati-hati Na, jangan ngebut nanti jatuh."

Yang diperingatkan tidak menggubris. Malahan mengkayuh sepedanya lebih kencang lagi meninggalkan sahabat kecilnya jauh dibelakang.

"Ayo No kejar aku kalau bisa, wleee!" Tantangnya sesekali menoleh kebelakang dengan lidah yang sesekali terjulur. Mengejek.

Semakin cepat sepeda dikayuh semakin bertambah pula kecepatannya. Anak kecil yang bernama Nana melesat cepat dengan kecepatan cahaya. Membuat sahabat baiknya yang bernama Nono semakin khawatir. Tak ada pilihan lain selain mencoba mengejar Nana.

Takut akan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Dan benar. Mata Nono membulat sempurna ketika mendapati Nana yang sudah terkulai ditanah sambil meringis kesakitan. Memegangi lututnya. Nana menangis pastinya.

Dengan kecepatan yang tinggi, tak mungkin Nana terjatuh dengan pelan. Tubuhnya pasti terbanting tadi.

"Nono sakiiiitt... hiks hiks."

Panik. Nono yang melihat Nana merintih kesakitan segera turun dari sepeda. Bahkan sepedanya  dibiarkan begitu saja. Padahal itu sepeda kesayangannya.

"Nono kan udah bilang jangan ngebut. Kan jadinya Nana jatuh, lututnya luka lagi."

Nono mengomel seperti ibu-ibu melihat Nana yang kesakitan. Itu semua karena Nono sangat khawatir. Dianya tak mau melihat Nana kesakitan seperti ini. Nono sayang Nana.

"Udah sini."

Nono mendekatkan dirinya ke lutut Nana, anak itu lalu berlutut. Dengan lembutnya namun disertai raut wajah cemberut, Nono meniupi luka dilutut Nana. Berharap rasa sakitnya akan sedikit berkurang. Jelas Nono tak tega melihat Nana menangis kesakitan.

"Masih sakit Na?"

Nana menggeleng. Tangisannya terhenti, sudut bibirnya mulai tertarik keatas sedikit demi sedikit.

My Missing Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang