21. Cita-cita

343 78 120
                                    

Sebab yang berhak menentukan cita-cita, ya cuma diri kita sendiri.

...

18:30

Elang sedang duduk di sofa sambil memakan apel dengan pandangan lurus ke televisi.

Di layar besar itu sedang berlangsung ajang balapan bergengsi yang tak pernah Elang lewatkan untuk disaksikan.

Motor-motor besar itu melaju mengelilingi tikungan-tikungan tajam sirkuit dengan kecepatan tinggi, Elang sampai tidak berkedip menyaksikannya.

Marc Marquez, pembalap MotoGP asal Spanyol, yang menjadi salah satu pembalap di sirkuit itu -adalah idola Elang- Sudah sangat lama Elang mengidolakannya. Betapa sangat kagum ia pada Marc, si pembalap muda yang tampan itu.

Elang pernah bermimpi, jika suatu saat dirinya akan berada di sirkuit yang sama dengan Marc. Mungkin mimpi itu terlalu ekstrim, dan sangat mustahil menjadi kenyataan, tapi Elang tidak pernah menyerah untuk mewujudkannya. Ia yakin sekali, jika dirinya suatu saat nanti bisa mewakili Indonesia di ajang balapan internasional. Namun, sepertinya Elang memang harus sadar dari mimpinya yang setinggi langit ke tujuh itu, karena semakin ke sini, mimpinya bahkan malah semakin mustahil terjadi.

Jangankan jadi pembalap Grand Prix, jadi pembalap motor bebek saja tidak ada yang mendukungnya.

"Bungsu, lagi apa?" tanya Arion semakin memperkeruh pikiran Elang, tanpa diminta lelaki itu duduk di samping Elang.

Elang tidak menjawab, tetap sibuk menonton balapan MotoGP.

Elang memang sudah agak ikhlas kehilangan Red Devil, tapi entah kenapa dadanya jadi sesak lagi tiap ia melihat ajang balapan. Sungguh, Elang rindu balapan. Ia rindu sirkuit, suara klakson yang saling bersahutan, riuh suara penonton, dan hal-hal lainnya seputar balapan.

"Oh ... Si Marc rupanya," Arion ikut menyaksikan balapan itu sambil mengambil sisa apel yang masih Elang genggam, lalu memakannya.

Elang mendelik sesaat, dan memilih tidak peduli. Baiklah, karena hal itu sudah sangat biasa terjadi. Baik Arion maupun Elang, memang suka sekali mengambil makanan begitu saja di rumah, tanpa peduli itu makanan siapa pemiliknya.

"Balikin motor gue, Arion," Elang bergumam.

"Oh, rupanya bocah ini belum move on dari redovil itu?"

Arion diam, pura-pura tidak mendengar. Iya, Arion jelas mengerti betapa berartinya motor butut itu bagi Elang. Motor itu adalah salah satu motor bekas ayahnya —yang hampir dijual beberapa kali— tapi selalu gagal karena Elang melarangnya. Namun, Arion tidak bisa membiarkan motor itu terus bersama Elang. Elang tidak boleh jadi pembalap. Arion dan sang ibu tidak menyetujui hal itu.

Sebenarnya melihat Elang seperti ini Arion merasa tidak tega juga, apalagi beberapa hari terakhir ini, Arion sering tak sengaja mendengar Elang bergumam dalam tidurnya menyebut nama motor sialan itu. Mendengarnya, Arion bingung harus merasa sedih atau geli sendiri. Segitunya adik gue ditinggal motor, kayak ditinggal nikah sama mantan aja! batin Arion saat itu.

"Ar, gue tau lo denger."

Arion melirik adiknya yang masih menatap lurus layar televisi.

Arion menelan kunyahan apel di mulutnya lalu berdeham, "gini, gue kan udah kasih saran ke lo, lupain tuh motor dan beli motor baru, apa susahnya sih? Malah, bukannya lebih enak punya motor baru?"

"Gak mau. Gue maunya Red Devil balik. Dia hoki buat gue. Lo gak akan ngerti."

Sumpah, Arion benar-benar ingin tertawa mendengarnya.

"Kepala batu, bukannya gue gak mau balikin, tapi emang tuh motor udah gue jual dan gue udah lupa siapa pembelinya. Percuma, percuma lo memohon biar tuh motor balik lagi juga, gak akan balik. Percuma. Percuma semua percuma ...." Arion malah bernyanyi diujung kalimatnya.

Andai acara MotoGP sudah berakhir, Elang pasti sudah pergi dari tempat ini. Elang sangat muak, rasanya ingin menjepit mulut Arion menggunakan jepitan rambut ibunya saat ini juga.

"Lagian, kenapa sih lo pengen banget jadi pembalap? Udah tau gue sama mama gak setuju, masih aja bebal," gerutu Arion, tapi tak mendapat respons dari Elang.

Elang ingin jadi pembalap karena ia ingin melanjutkan cita-cita ayahnya. Selain itu, Elang ingin jadi pembalap juga karena... balapan adalah salah satu pekerjaan halal yang bisa menghasilkan uang dengan cepat dan tidak membuang banyak keringat. Itulah yang ada dipikiran orang pemalas semacam Elang.

"Ganti aja ya cita-citanya, lo kan masih muda, masa depan lo masih cemerlang. Ganti ya?"

"Semudah itu Arion bicara? Emangnya ganti cita-cita kayak ganti pacar apa?" batin Elang tak habis pikir.

"Gimana kalo lo jadi pekerja kantoran aja kayak gue? Nanti, setelah lulus SMA, lo lanjut ngambil Ekonomi. Selama ini nilai Ekonomi lo kan bagus tuh gue perhatiin. Mau, gak?"

"Gak!"

"Anjir, gak usah ngegas gitu juga dong jawabnya, ini kan cuma saran. Atau, kalo lo gak mau ... gimana kalo jadi atlet aja?"

Pertanyaan Arion semakin tidak masuk akal. Jelas, jelas Elang akan tiga kali lipat mengatakan Tidak. Jangankan jadi atlet, bermain bola selama 2×45 menit saja ia selalu memilih jadi pemain cadangan atau kiper.

"Yang bisa nentuin cita-cita gue, cuma gue." tekan Elang.

"Iya, iya gue tau Jalu, tapi gue ngasih saran kan juga demi kebaikan lo."

"Gue gak butuh saran dari lo."

"Gak bisa gitu. Gue Abang lo, gue yang bertanggung jawab atas masa depan lo, jadi gue harus pastiin kalo masa depan lo itu bagus."

"Gue bukan anak kecil, Arion."

"Lo adik gue, Bungsu."

Sekarang, mereka malah sibuk berdebat sampai mengabaikan televisi.

"Karena gue adik lo, karena lo yang jadi kepala di rumah ini, lantas gue harus turutin semua kemauan lo, gitu? Gue juga punya pilihan hidup, dan gak semua hal tentang gue harus lo ikut campuri." ucap Elang penuh penekanan.

"Gue ikut campur karena gue sayang sama lo bego!" Arion mulai naik pitam. Ia melemparkan sisa apelnya ke sembarang tempat, melampiaskan kekesalannya.

Elang menyunggingkan senyum. "Sayang? Kalo lo sayang sama gue, harusnya lo biarin gue bahagia dengan cara gue."

"Tapi cara lo itu salah. Lo egois, lo cuma mau bahagiain diri lo sendiri, tanpa mau peduli, dibalik kebahagian lo itu ada kesedihan mama."

"Kenapa sih kalian selalu mengungkit hal itu? Gue gak mungkin bernasib sama kayak papa."

"Itu semua mungkin kalo lo masih balapan!"

"Bukan gue yang egois, tapi kalian."

Elang bangkit, tak peduli lagi pada tayangan di layar televisi itu. Ia merasa sudah sangat muak dengan semua ini. Sungguh, ia semakin kesal pada Arion.

Arion menunduk, merasa menyesali perkataannya. Harusnya ia sudah tau, jika adiknya itu memang sangat keras kepala, jadi baiklah... ia harus mengalah dalam debat kali ini.

"Lo mau motor apa? Besok gue beliin, ya?" tanya Arion kembali melunakkan suaranya sebelum langkah Elang kian menjauh.

Elang berbalik, lalu jari telunjuknya mengarah ke televisi. "Motor kayak gitu." jawabnya datar dan melanjutkan langkahnya memasuki kamar.

Arion meneguk salivanya, melotot ke arah televisi.

"Buset deh, lo mau bunuh gue, Jalu?!" teriak Arion menatap ngeri motor-motor besar yang melaju cepat di sirkuit.

Jangankan membeli motor Grand Prix, beli mobil sedan saja butuh waktu dua tahun, itupun hasil kreditan.

"Ya kali kalo gue kembarannya Si Marc, bakal gue beliin lima motor kayak gitu buat lo, pabriknya sekalian gue beli!" gerutu Arion.

NOT A COLD BOY✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang