34. Putus Lagi (End)

595 79 84
                                    

Langit sudah gelap. Elang lapar, lelah, baru pulang dan sendirian di rumah.

Ibunya tadi pagi memberitahu akan pergi ke pengajian dan mungkin akan pulang larut malam. Sementara Arion, lelaki itu pasti masih ada di kantor, sibuk lembur. Akhir-akhir ini Arion sibuk sekali dengan pekerjaannya hingga selalu pulang malam. Katanya biar naik jabatan, dan Elang malah tidak menyukai hal itu, karena rumah terasa sepi jika tidak ada Arion. Tapi bukankah seharusnya ia senang kan, karena tidak ada yang mengganggunya?

Setelah menutup pintu, Elang berjalan ke arah meja makan karena ia sudah sangat kelaparan.

Langkahnya bahkan sangat berat dan oleng karena lemas selama lima jam belum makan.

Dengan segera ia membuka tudung saji, dan alangkah terkejutnya ia ketika tidak ada apa-apa dibalik tudung saji itu, selain secarik kertas bertuliskan:

Yah zonk, maaf... Mama ribet banget diskusi sama temen-temen buat pakai baju apa ke mesjid, jadi gak sempet masak. El cari makan di luar aja ya, nak.

Tubuh Elang semakin lemas setelah membaca pesan itu.

"Mau ke pengajian apa arisan sih, ribet banget! Awas aja kalo sampe ada om-om yang nyantol, gue sleding tuh om-om! Nyari makan di luar, dikira gue kucing apa?!" Elang menggerutu sendiri seperti ibu-ibu yang kurang belanjaan atau kembaliannya lupa dibayar oleh penjual sayuran. Elang kalo kurang makan memang begitu, bawaannya sensi terus.

Wajar juga sih kalau ia kesal, karena ia tahu banyak pria yang menyukai ibunya. Tapi, sejak dulu ia dan Arion tidak pernah setuju jika ibunya sampai menikah lagi. Sebab bagi mereka, sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan sosok sang ayah. Lagipula, Diah juga tidak pernah tertarik untuk menikah lagi. Hanya saja... Elang sering takut sendiri jika ada pria yang mendekati ibunya.

Meninggalkan meja makan, Elang berjalan menuju lemari pendingin. Ia membuka pintu lemari pendingin itu dan semakin terkejut lah karena hanya menemukan air putih dan sayuran mentah di dalamnya.

"Seumur hidup, belum pernah gue ngerasa se-miskin ini," gumam Elang begitu miris.

Ia meraih satu botol air putih, lalu meneguk isinya hingga tandas. Katanya, air putih bisa menghilangkan rasa lapar, kan?

"Meong,"

Elang menunduk, lalu tersenyum ketika menemukan Kijang sedang mengitari kaki jenjangnya.

Elang berjongkok mengelus bulu kucing hitam itu lalu berkata, "gue laper Jang, masa iya harus makan makanan lo."

Tidak ada jawaban pasti dari Kijang, selain menguap lalu menggelayuti tangan Elang.

Elang mendesah. Kembali berjalan dengan terseok-seok menuju sofa sambil menggendong Kijang. Iya, Elang bisa se-lebay itu jika belum bertemu makanan.

Tidak. Ia tidak bisa hanya berdiam diri menunggu keajaiban datang, tapi ia malas kalo harus keluar beli makanan. Kalo beli lewat online, ia sayang uang untuk membayar ongkirnya. Huh, serba salah.

Elang meraih ponselnya, memilih menghubungi kakak tercinta sebelum ia mati kelaparan.

"Ada apa, hm?" tanya suara bariton di seberang sana.

"Gue laper," ucap Elang sambil tengkurap di sofa, dan Kijang tiduran disampingnya.

"Ya Allah, malangnya nasib adikku. Sabar ya, setengah jam-an lagi gue pulang, kok. Lo mau dibeliin apa?"

NOT A COLD BOY✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang