13

27 13 0
                                    

Pukul 07:00 PM. Sambil menangis dan kehilangan kendali, Rhedica berlari ke kamarnya dan melompat ke tempat tidur. Dia menangis untuk waktu yang lama, memanggil nama-nama teman dan keluarganya, semua orang yang mungkin melupakan dia. Dia ingin berlari, tapi ke mana? Dia tidak bisa pulang ke rumah lagi. Lelah karena menangis, dia tetap berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit. Saat dia mendengar seseorang mengetuk jendela, dia bangun dan mendekati jendela untuk membukanya.

"Hei, ke mana saja kamu? Aku berharap akan menemukanmu di balkon atau alun-alun. Kudengar kelasmu selesai lebih awal," ucap Dairon.

"Benar. Memang selesai lebih awal,"

Dairon menatap Rhedica lebih dekat, dan wajahnya berubah menjadi serius. "Rhedica, ada apa denganmu?"

"Tidak ada."

"Ayolah, ceritakan padaku. Aku tahu kamu habis menangis. Matamu merah dan bengkak. Ceritakan padaku,"

"Aku sangat marah pada Cataleah."

"Kenapa?" tanya Dairon.

"Jangan bertingkah seolah-olah kamu tidak tahu apa yang aku bicarakan! Kamu pasti juga mengetahuinya!"

"Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu bicarakan,"

"Aku membicarakan tentang hidupku. Semua orang yang kutinggalkan, semua orang yang tidak akan mengingatku lagi, dan diriku yang tidak ada lagi di dunia mereka."

"Apa?!"

"Benar, Dairon. Cataleah memberi tahu semuanya padaku hari ini,"

"Rhedica, maaf. Aku benar-benar tidak tahu-menahu tentang itu,"

"Dan sekarang aku harus percaya padamu?"

"Terserah kamu mau percaya padaku atau tidak. Itu terserah kamu. Tapi, aku mengatakan sejujurnya."

"Kamu benar-benar tidak tahu?"

"Aku bersumpah." Saat itu juga, Rhedica membiarkan dirinya jatuh ke pelukan Dairon dan menangis tersedu-sedu. Dairon menariknya mendekat dan memeluknya dengan erat. Kehangatan dari pelukannya menghentikan tangisan Rhedica. Dia sangat bersyukur memiliki Dairon di sisinya. Dia dan Thalia adalah satu-satunya yang dia miliki saat ini. Semua orang menghilang dalam satu detik setelah dia mendengar kata-kata Cataleah.

Dairon berhasil menenangkan Rhedica dan membujuknya berjalan-jalan di pusat kota. Dia tidak ingin membiarkan Rhedica tetap di kamar, terutama setelah semua yang dia dengar. Dia ingin membuatnya ceria lagi meskipun awalnya tidak setuju, Rhedica akhirnya mau dan berjalan-jalan menelusuri jalanan yang sempit tapi ramai, di terangi oleh cahaya kecil dan ditemani oleh bunga-bunga.

"Ayolah, manis. Semuanya akan baik-baik saja," kata Dairon.

"Tidak. Semuanya tidak akan sama lagi,"

"Memang, tapi ... yah, tidak semuanya berakhir buruk, kan?"

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak pernah membicarakan ini sebelumnya, tapi aku dan Livian tumbuh tanpa orang tua. Kami dibesarkan oleh kakek dan nenek kami," tutur Dairon.

"Aku tahu. Thalia menceritakan semuanya padaku,"

"Oh. Ya, kalau begitu ini akan lebih mudah. Jadi, kami juga sangat terluka karena tragedi itu. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan atau apa yang harus kulakukan selanjutnya. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku berhasil mengendalikan diriku sendiri dan menjalankan hidup." jelas Dairon.

Rhedica menahan air matanya, dan menunduk lemas. "Aku mengerti maksudmu,"

"Berikan waktu untuk dirimu sendiri, dan jangan menyimpan semuanya sendirian. Biarkan aku dan Thalia ada untukmu," ucap Dairon lirih.

"Thalia? Dia bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku." dengusnya kesal.

"Rhedica, itu tidak adil dan kamu tahu itu, kan? Dia hanya ingin melindungimu. Aku akan ada di sisimu, kapan pun kamu membutuhkan bahu untuk menangis atau tempat untuk melepaskan amarah."

"Dairon, makasih banyak. Kadang, kamu bertingkah seperti orang bodoh, tapi kadang kamu bijaksana dan khawatir seperti kakak laki-laki."

"Oh, ayolah. Kamu boleh menyebutku apa pun, tapi kakak laki-laki ...? Arrgh."

"Ha-ha-ha, Baiklah. Apa saja boleh kecuali kakak laki-laki." Rhedica tertawa dan berterima kasih pada Dairon karena sudah mengajaknya pergi dari kamarnya. Lalu, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang aneh di kejauhan. Livian sendirian dan perlahan-lahan menerobos kerumunan. Dia membawa sesuatu di tangannya, tapi Rhedica tidak bisa melihatnya.

"Kamu belum makan seharian, kan? Mau makan malam bersama?" ajak Dairon.

Hatiku berkata, "Aku ingin pergi bersama Dairon, tapi aku tidak tahu apa yang direncanakan oleh Livian. Aku harus mencari tahu."

"Jadi, apa kita akan makan malam bersama?" ulang Dairon.

"Maaf, aku lelah. Kurasa aku pulang saja,"

"Kamu yakin?"

"Tentu saja. Aku tidak terlalu lapar,"

"Baiklah sampai jumpa besok kalau begitu."

Rhedica menunggu hingga Dairon pergi,  lalu memperhatikan sekitar. Dia melihat rambut abu-abu Livian dari kejauhan dan berlari mengejarnya. Kota itu masih penuh dengan orang, sehingga dia kesulitan menerobos kerumunan dan memastikan agar Livian tidak hilang dari pandangannya.

"Ke mana dia pergi?" Rhedica perlahan-lahan berhasil mengejarnya. Dia mencoba bergegas, tapi tidak bisa berjalan lebih cepat melalui kerumunan itu. "Apa yang dia bawa?" Livian berbalik dan melihat sekeliling. Lalu Rhedica dengan cepat menunduk dibalik salah satu kios. Beberapa peri melihatnya dengan tatapan aneh. Jadi, dia meminta maaf dan terus berjalan.

Livian berbelok ke kanan, dan Rhedica mengikutinya. Lalu, dia berbelok ke kiri, lalu ke kanan lagi, dan Rhedica pun kehilangan jejaknya. Rhedica berlari mengejarnya dan hanya menemukan jalanan yang kosong.  "Dia pasti ada disekitar sini, aku akan mencarinya." Dia memeriksa beberapa jalanan terdekat, tapi tidak menemukan apa pun. Tidak ada jejak Livian. Dia mencarinya selama sepuluh menit tanpa hasil, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyerah.

Saat sampai di istana, para penjaga gerbang memasang muka masam. "Ya, ya, aku tahu. Aku pulang larut malam, maaf. Aku tersesat di kota dan aku berjalan-jalan lebih jauh dari biasanya." Rhedica perlahan-lahan memasuki istana dan merasa takut dengan pikiran yang akan menghantuinya saat dia sampai di kamarnya yang kosong.


VALERIA [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang