Rhedica dan Ruana sudah memasuki bagian dalam hutan dan bahkan tidak menyadarinya. Percakapan mereka masih berlanjut dengan seru. "Dan itulah kisahku. Giliranmu," kata Ruana.
"Yah, aku hanya pernah menceritakan hidupku di Valeria, pada Thalia, Livian, Dairon, Herens, dan Cataleah. Aku hampir tidak mengenal elf dan peri selain mereka. Kalau dipikir-pikir, sepertinya itu bukan hal yang cerdas untuk dilakukan."
"Kamu bisa memperluas lingkaran pertemananmu ... tapi, tidak ada kata terlambat, kan? Kamu bisa melakukannya saat kita kembali. Apalagi yang mengganggumu?" tanya Ruana.
"Sejak datang ke sini, aku selalu merasa semua menjadi tanggung jawabku."
"Maksudmu, semua orang mengharapkan kamu untuk menyelesaikan masalah ini karena kamu adalah cucu Ariana?"
"Benar, dan kadang itu membuatku gila. Pertama, Cataleah menyembunyikan banyak hal dariku. Lalu aku tahu kalau Livian dan Dairon juga menyembunyikan sesuatu, dan sekarang Thalia melakukan ini padaku."
"Tenang, tenang. Setahuku, Cataleah memberitahumu apa yang dia sembunyikan. Mungkin Livian dan Dairon juga akan memberitahumu segera. Dan untuk masalah yang terakhir ... kurasa kalian berdua harus duduk dan membicarakannya."
"Tapi, dia bertingkah seolah-olah tidak ada yang terjadi!" dengusku.
"Mungkin memang tidak ada yang terjadi. Aku tahu mereka berdua tumbuh bersama, mungkin mereka hanya mengobrol atau berpelukan seperti teman ...."
"Ruana, aku tahu apa yang kulihat di sana."
"Baiklah, tapi aku tetap merasa kamu sebaiknya membahas ini dengan mereka." usul Ruana.
"Hmm ... kamu mungkin benar."
"Rhedica, apa itu danaunya?" tanya Ruana.
"Benar, kita sudah sampai."
Ruana terpesona dengan keindahan danau itu. Mereka menyegarkan diri dengan air danau, lalu duduk untuk bersantai sebentar. Ruana berpikir bisa mengajak Rhedica latihan relaksasi yang sering dilakukan penduduknya di Narindel saat para penduduknya mengembangkan kekuatan mereka.
"Aku tidak tahu bagaimana ini bisa membantuku," keluhku.
"Kalau kamu rileks dan mengosongkan pikiranmu, perjalanan kita adalah awal dari semua ini."
"Tapi, aku sudah melakukannya cukup lama dan tidak ada yang terjadi." kataku.
"Hmm, Livian memberitahuku tentang teorinya. Dia berpikir bahwa mata berapimu adalah kutukan yang diberikan Zaria pada nenekmu dan kamu mewarisinya," Jelas Ruana.
"Dan bagaimana kalau dia benar?"
"Aku bisa mencoba menghilangkannya. Tapi sejujurnya, kurasa tidak ada kutukan apa pun padamu atau matamu."
"Jadi, menurutmu apa masalahnya?"
"Kamu. Kurasa kamu menghalangi kekuatanmu berkembang," ucap Ruana.
"Percayalah, aku berusaha keras untuk mengaktifkan kekuatanku."
"Baiklah, kamu yang menentukan. Teori mana yang ingin kamu coba?"
"Kurasa aku tidak mungkin menghalangi kekuatanku sendiri. Tapi, kamu membuatku menyadari bahwa aku kadang melakukan sesuatu tanpa menyadarinya. Jadi, ayo coba teorimu!" kataku.
"Baiklah, duduk disini, tutup matamu, dan cobalah tenang." Ruana berdiri dan mulai berjalan mengelilingi Rhedica perlahan-lahan. Dia berjalan tanpa suara. Mereka hanya bisa mendengar suara kicauan burung dan gerakan hewan di hutan. Rhedica merasakan sesuatu seperti angin hangat mengenai kulitnya. "Rhedica, bukalah matamu."
Saat melihat sekeliling, Rhedica menyadari bahwa dia bersinar dan tubuhnya bercahaya. "Apa ini?"
"Itu adalah kekuatanmu."
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Sesuai dugaanku, kamu menghalangi kekuatanmu sendiri. Kamu terlalu tegang, gugup dan bertekad untuk mengaktifkan kekuatanmu sekaligus khawatir dengan apa yang akan terjadi saat kamu mendapatkan kekuatanmu. Apa kamu membawa tongkat kerajaan?" tanya Ruana.
"Tentu saja."
"Coba gabungkan keduanya." Rhedica mengambil kedua bagian tongkat kerajaan itu dan menatap Ruana ragu. "Kamu bisa melakukannya. Kamu punya kekuatan itu, kamu hanya perlu memercayainya."
Rhedica mendekatkan keduanya dan kedua bagian itu menyatu dengan sendirinya. Tongkat itu mulai bersinar dan saat sinar itu menghilang, mereka melihat sebuah bola cahaya kecil. Bola cahaya kecil itu melayang menuju hutan. "Apa itu?"
"Aku tidak tahu." balas Ruana.
"Cepat, kita harus mengikutinya!"
Selama berjam-jam, Rhedica dan Ruana terus mengejar cahaya yang terus meninggalkan mereka. Mereka sangat kelelahan, tapi tidak bisa berhenti sedetik pun karena harus mencari tahu kemana cahaya itu membawa mereka.
Mereka mengikutinya hingga ke kota, menaiki tangga, menyeberangi alun-alun, dan tiba di istana. Saya itu membawa mereka ke ruangan asing di dalam istana.
"Tempat apa ini?" tanyaku.
"Aku tidak yakin, tapi kurasa ini adalah aula takhta Valeria. Lihat, bola cahayanya berhenti di sana!" seru Ruana.
Rhedica menoleh dan melihat ke arah yang ditunjuk Ruana. Di sisi lain dari aula, di platform yang lebih tinggi, bertakhta sebuah kursi dengan mahkota megah dan bola cahaya itu melayang-layang di atasnya.
"Sekarang apa?" tambah Ruana dan kemudian Rhedica memutuskan untuk menyentuh bola cahaya aneh yang menarik perhatiannya itu. "Hati-hati, Rhedica! Bagaimana menurutmu? Kira-kira bola cahaya apa itu?"
"Aku tidak tahu. Apa pun itu, kurasa bola cahaya ini tidak berbahaya." Rhedica mendekati kursi itu dan mengulurkan tangannya ke arah bola cahaya, tapi bola cahaya itu menghindar, dan jari-jarinya pun menyentuh mahkota. Sesaat kemudian, Rhedica merasakan suatu kekuatan melingkupi dan menariknya hingga dia tidak bisa melihat Ruana dan aula takhta lagi.
"Rhedica, Rhedica!" teriak Ruana.
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Kamu membuatku takut! Kamu baik-baik saja?"
"Yah ... aku sedikit kaget."
Ruana membantu Rhedica berdiri. Baru kemudian, dia melihat mereka tidak sendirian. Thalia berdiri sangat dekat dengan mereka. Dairon berdiri di sebelah jendela, Livian di tengah aula, sedangkan Herens dan Cataleah berdiri di depan pintu.
"Kenapa kalian tega menyembunyikan ini dariku?!"
oOo
S
ementara itu, di kerajaan Narindel, para penghuninya sedang tidur dengan tenang, tidak mengantisipasi kejahatan yang ada di depan pintu mereka. Zaria mendatangi istana, berharap akan menemukan bagian yang hilang dari tongkat kerajaan itu dan mencegah Rhedica menyatukannya.
"Pasti ada di sini. Narindel adalah satu-satunya tempat logis." Zaria meninggalkan hutan diam-diam dan berjalan menuju istana. "Hmm, aku harus tenang. Aku tidak ingin melawan mereka. Aku hanya datang untuk mengambil bagian tongkat kerajaan itu."
Dia mendatangi gerbang kecil yang tersembunyi di air terjun. "Sudah kuduga! Setelah bertahun-tahun, gerbang ini tetap menjadi satu-satunya gerbang ke istana yang tidak dijaga." Saat dia mendekati gerbang dan menyentuhnya, dia merasa agak pusing dan mencengkeram dinding di dekatnya. "Tidak, tidak, tidak! Ini tidak mungkin! Tongkat kerajaan itu utuh lagi."
Dengan wajah ketakutan, seolah-olah baru menyadari di mana di berada, Zaria memandang sekeliling dengan kebingungan. "Aku harus menghentikan dia. Aku harus menghentikan dia sebelum terlambat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
VALERIA [ COMPLETED ]
Adventure[ tamat ] [ follow dulu ] [06/10/21] cerita ini diceritakan kembali dari virtual game (lupa namanya) yang saya beri judul VALERIA. dimana ada seorang wanita dari kehidupan nyata yang tersesat di dimensi lain ( dunia peri ). edit : ± 20/11/2020 upd...