46

9 0 0
                                    

Rhedica tertarik dengan ingatan yang dideskripsikan oleh Cataleah sekaligus kesal karena tidak bisa menemukan apa pun di pinggir danau. Dia pergi ke taman tersembunyi karena ingin sendirian. Rhedica ingin memikirkan semuanya dalam keheningan.

"Cataleah menemukan satu ingatan ..." Dia perlahan-lahan mendekati air mancur. "Aku yakin Thalia akan menemukan ingatan yang lain di Librium." Dia berhenti dan mengamati air mancur itu. "Mungkinkah ingatan penting lainnya ada di tempat lain? Apakah kita melupakan sesuatu?" Dia mengambil sebuah ranting dari tanah dan menggambar simbol-simbol yang mereka gambar sebelumnya. Dia ingin memastikan sudah melakukan semuanya dengan benar.

Cataleah bercerita kalau lingkaran itu bercahaya suka dia mengarahkan sihirnya ke lingkaran itu. Rhedica menutup matanya dan berkonsentrasi pada lingkaran dengan telapak terulur ke arahnya. Dia merasakan kejutan listrik di sekitar tubuhnya. Saat membuka mata, lingkaran itu bercahaya dan berdenyut. Dia memasuki lingkaran itu, sama seperti yang dikatakan Cataleah.

Setelah masuk ke dalamnya, dia memperhatikan sekeliling. Dia masih berada di dekat air mancur tapi tidak sendirian lagi. "Apa?" Zaria dan seorang elf  yang tidak dikenalnya duduk di ayunan di hadapannya. "Itu adalah Idrail!" Mereka tertawa bersama. Idrail menceritakan sesuatu yang terjadi di hutan pada Zaria. Zaria terlihat sangat bahagia. Wajahnya bersinar-sinar penuh dengan kebahagiaan dan tatapan matanya terasa sangat familier. Rhedica pernah melihatnya di pantulan cerminnya sebelumnya. "Zaria jatuh cinta dengan Idrail!"

Saat Rhedica keluar dari lingkaran sihir, dia merasa kehilangan arah. Dia kebingungan dan ingin menenangkan pikirannya dan mendatangi Cataleah. Rhedica ingin menceritakan semua yang dilihatnya pada Cataleah, dia berlari ke balkon dan bertemu dengan Thalia. "Thalia, kenapa kamu ada di sini?"

"Aku baru saja sampai beberapa menit yang lalu. Kupikir aku harus memberi tahu semuanya padamu dan Cataleah lebih dulu sebelum aku melupakan sesuatu," ucap Thalia.

"Thalia!" teriak Cataleah berjalan mendekat bersama Herens.

"Bagus! Kalian berdua ada di sini. Rhedica benar. Ada satu ingatan di Librium. Aku melihat Zaria dan Ariana bertarung. Kupikir Zaria akan menyerang Ariana, Ariana-lah yang menyerang pertama kali." jelas Thalia.

"Apa?" sontakku.

"Aku tahu kebenarannya aneh, tapi aku yakin dengan apa yang kulihat."

Saat itulah Rhedica memutuskan untuk menceritakan apa yang dilihatnya. "Ada ingatan yang lain."

Tidak lama kemudian, Dairon dan Livian juga muncul. Cataleah, Rhedica, dan Thalia mendeskripsikan ingatan yang mereka temukan secara mendetail. Setelah selesai bercerita, mereka semua hanya terdiam.

"Lalu, sekarang apa?" tanya Dairon.

"Kita akan bertarung!" jawabku.

"Tapi, bagaimana dengan ingatannya?" sahut Thalia.

"Ingatan-ingatan ini membingungkan. Malah membuat semuanya lebih rumit. Kita bisa memikirkannya setelah mengalahkan Zaria. Dialah  satu-satunya yang bisa memberikan penjelasan. Kurasa kita harus pergi ke Narindel untuk beberapa alasan. Satu, mungkin Ruana bisa mengungkap misteri dibalik ingatan-ingatan ini. Dua, kita bisa mengumpulkan pasukan di sana. Dan tiga, Narindel adalah tempat aman yang paling dekat dengan kerajaan Zaria."

"Aku setuju!" sahut Herens.

"Baiklah, aku akan menjaga keamanan Valeria. Atas izinmu, aku akan memilih beberapa kepala sekolah sementara - elf dan peri yang bisa dipercaya. Kita harus memastikan Valeria tetap aman." kata Cataleah.

"Tentu saja. Kamu boleh melakukannya. Aku dan Livian akan mengumpulkan semua catatan yang bisa digunakan. Dairon dan Thalia, kalian bisa membentuk pasukan elf yang paling terampil yang akan ikut dengan kita, dan Herens bisa membantu Cataleah."

"Aku butuh satu hari untuk mengatasi semuanya," ujar Cataleah.

"Aku juga." sahut Dairon.

"Baiklah. Kita akan pergi ke Narindel dua hari lagi."

oOo

Seminggu kemudian, segera setelah mereka tiba di Narindel, Rhedica dan yang lainnya mengadakan pertemuan panjang dengan Ruana dan anggota dewan. Situasi tidak terkendali beberapa kali karena mereka mendebatkan cara paling baik untuk menyerang Zaria. Akhirnya, Rhedica memaksakan keputusannya. Rhedica tetap tinggal di aula bersama Thalia dan Ruana. Dia sudah menantikan momen itu. Rhedica ingin membahas sesuatu dengan baiklah secara pribadi.

"Bagaimana kamu bisa yakin kalau kita bertiga, Cataleah, Livian, Dairon, dan Herens sudah cukup?" desis Thalia.

"Baiklah. Kita sudah sendirian sekarang. Bisa jelaskan semuanya? Kenapa kita harus pergi ke sana sendirian?" tambah Ruana.

"Aku punya rencana bagus, percayalah."

"Jadi, apa rencananya? Menyelinap ke istana Zaria, lalu menyerang saat dia lengah? Karena itulah yang kamu katakan pada semuanya." desis Thalia.

"Benar, tapi itu hanya awalnya." Rhedica tersenyum lebar. "Aku ingin bicara dengan kalian berdua karena aku butuh bantuan. Dan agar kalian mengerti kenapa aku butuh bantuan, aku harus menceritakan semua rencanaku. Sebenarnya, rencanaku didasarkan pada salah satu teoriku."

"Teori? Kita akan pergi ke istana Zaria besok untuk pertarungan terakhir dan kamu menggantungkan harapan kita pada teori?" cerca Thalia.

"Tunggu, Thalia. Biarkan Rhedica bicara!" sela Ruana.

"Aku berhasil menghubungkan semua ingatannya. Akhirnya, aku mengerti peringatan yang dituliskan nenek di perkamen itu dan aku tahu dengan pasti cara mengalahkan Zaria untuk selamanya," jelasku.

"Kenapa kamu tidak mengatakan ini di depan semuanya? Kenapa cuman memberi tahu kami?" lirih Thalia.

"Alasannya tidak penting. Tapi, aku tahu dia punya alasan yang bagus. Rhedica, beri tahu apa yang harus kami lakukan." sela Ruana.

"Kita harus menyerahkan pertarungan pada yang lainnya. Kita bertiga punya tugas lain yang berbeda." Rhedica menceritakan semuanya pada Thalia dan Ruana. Thalia merasa ragu, tapi Ruana menerima semua yang didengarnya dan merasa kalau itu adalah penjelasan yang masuk akal. Percakapan mereka berlangsung selama berjam-jam. Tapi mereka punya rencana hebat yang tidak mungkin gagal.

oOo

Di malam yang sama, Dairon dan Rhedica menyelinap di malam hari dan pergi berjalan-jalan di sekitar istana Narindel. Mereka terlalu cemas untuk duduk diam di satu tempat. Dairon tentunya khawatir, sekaligus percaya pada pacarnya dan mendukung dia sepenuhnya.

"Kamu melamun?" lirihku.

"Aku cuma khawatir. Perjalanan ini akan menentukan takdir kita, dan itu bukan hal yang kecil ... benar, kan?"

"Jangan khawatir. Semuanya terkendali!" seruku.

"Aku kagum padamu! Kamu sangat tenang dan bisa berpikir dengan kepala dingin. Kamu sudah banyak berubah sejak kita pertama kali bertemu. Kamu berubah menjadi peri yang sangat kuat dan mandiri,"

"Yah, memang sudah waktunya!"

"Rhedica, saat semua ini berakhir ... aku mau menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Aku mau pergi ke kabin kayu yang kubuat untuk kita dan menikmati waktu damai yang sudah kita nantikan. Hanya kita berdua - apa kamu mau?" tanya Dairon.

"Aku tidak sabar, itu ide yang bagus!"

"Aku senang kita punya pendapat yang sama. Aku benar-benar ingin kembali ke sana lagi! Terakhir kali, semuanya terasa luar biasa. Maaf, kita cuma bisa tinggal di sana sebentar."

"Aku tahu. Aku juga mau tinggal di sana lebih lama." ucapku.

Mereka menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan dalam keheningan. Keduanya merasa tegang dan membayangkan hal-hal buruk di kepala mereka. Rhedica dan Dairon merasa beberapa hal akan berubah dan tidak akan kembali seperti semula.

VALERIA [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang