25

13 1 0
                                    

Beberapa hari telah berlalu sejak Rhedica dan Zaria saling menyerang di reruntuhan Valeria. Saat Herens tiba di lokasi tempat cahaya dan bola apa itu bertumbukan, tidak ada jejak Zaria sama sekali. Dia menemukan Rhedica di bawah dinding yang runtuh. Dia terbaring tidak sadarkan diri, masih memegang tongkat kerajaan Ariana di tangannya.

"Hei, Herens, masuklah" ucap Thalia.

"Bagaimana keadaan dia hari ini?"

"Sama. Masih belum sadar."

"Jangan khawatir. Kondisinya sudah stabil. Dia berhasil selamat dari serangan Zaria. Itu benar-benar mengejutkan untuk seorang peri muda," ujar Herens.

"Aku masih tidak percaya dia berhasil mengalahkan Zaria!"

"Itu belum pasti. Kurasa kita tidak boleh terlalu cepat senang. Tapi aku percaya Rhedica berhasil membuat Zaria pergi, dan dia pasti ada di suatu tempat di perbatasan Valeria."

"Yah, apa pun yang terjadi, kita harus berterima kasih pada Rhedica karena sudah mencegah Zaria menghancurkan Valeria. Bagaimana keadaan Cataleah?" tanya Thalia.

"Dia perlahan-lahan pulih dengan baik. Dia akan segera kembali seperti sedia kala." Herens mendekati tempat tidur dan memeriksa Rhedica. "Dia baik-baik saja. Waktunya untuk memberi obat."

"Mari kita berharap kalau obat ini bisa membuatnya sadar." Thalia hampir tidak pernah meninggalkan Rhedica sendiri. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena pertengkaran bodoh mereka, dan dia merasa harus berdamai dengan Rhedica karenanya. Thalia berharap dia akan cepat sadar.

oOo

Dairon perlahan-lahan membuka pintu kecil yang membawanya ke taman tersembunyi dengan air mancur. Livian sedang duduk di ayunan, memandang percikan air mancur dengan tatapan kosong. "Sudah kuduga aku akan menemukanmu di sini." Dairon dan Livian cepat pulih dari serangan Zaria, setidaknya secara fisik. "Bagaimana keadaanmu?"

"Bagaimana menurutmu? Pembunuh orang tua kita berkeliaran dengan bebas di Valeria."

"Aku tahu itu. Kamu tidak perlu mengingatkanku." Meskipun mereka tidak bisa melihatnya, hubungan Livian dan Dairon menjadi semakin erat sejak serangan Zaria.  bahkan jauh lebih erat daripada sebelum kematian orang tua mereka. "Kamu harus datang ke latihan besok."

"Kenapa aku harus datang?" tanya Livian.

"Kamu adalah bagian dari kami."

"Kalian punya Thalia."

"Thalia hampir selalu bersama Rhedica. Dan lagi pula, aku adalah saudaramu. Kita berutang budi pada orang tua kita ... karena mereka mengorbankan nyawanya demi Valeria."

"Aku tahu itu. Kamu tidak perlu membahasnya lagi."

"Kalau begitu, datanglah besok. Jangan membuatku datang ke sini dan menyeretmu hingga ke balkon." Setelah menyadari kalau Livian ingin sendiri, Dairon berdiri dan pergi diiringi dengan suara derit pintu yang tua dan bobrok.

oOo

Thalia tidak kehilangan harapan untuk kesembuhan Rhedica. Dia melewatkan beberapa kelas dan latihan untuk para peri pencari. Dia sering lupa makan dan dia hanya makan saat seseorang datang. Karena mereka, yang mengetahui kebiasaan baru thalia, membawakan dia makanan.

Pukul 03:00 PM. Thalia sedang duduk dengan santai dan mendengarkan ritme pernapasan Rhedica yang teratur saat dia tiba-tiba melihat mata Rhedica berkedut. "Penjaga! Cepat! Panggil Herens dan Cataleah!" Rhedica sadar. Dia membuka matanya dan melihat sekeliling dengan kebingungan.

Tidak lama kemudian, Cataleah bergegas masuk. Dia berhenti di depan pintu saat melihat Rhedica sudah sadar. "Terberkatilah Valeria! Ini kabar bagus!"

"Rhedica, kamu bisa mendengarku?" lirih Thalia.

"Thalia?"

"Ini aku. Aku senang sekali kamu baik-baik saja."

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Cataleah.

"Hmm, sebenarnya tidak terlalu baik. Aku merasakan sakit di seluruh tubuhku."

"Wajar saja. Kamu sudah terbaring di sini selama beberapa hari. Kamu tidak sadarkan diri sejak bertarung dengan Zaria. Apa kamu tidak ingat?" tanya Thalia.

"Aku ingat semuanya." Rhedica duduk di tempat tidurnya dan menyadari sesuatu yang aneh. Dia merasakan sensasi agak geli di punggungnya. "Apa ini?"

"Sayapmu!" ucap Cataleah.

"Sayapku? APA? BAGAIMANA BISA?"

"Sepertinya, selama pertarunganmu dengan Zaria, kamu berhasil memahami alam di Valeria. Jadi, tentu saja kamu mendapatkan sayapmu!"

"Itu kedengarannya luar biasa, tapi aku tidak ingat mendapatkan sayap."

"Apa yang kamu ingat?" tanya Cataleah.

"Aku ingat tongkat kerajaan itu. Tongkat itu mendatangiku saat aku sangat membutuhkannya. Itu terjadi secara tiba-tiba, di detik-detik terakhir, saat Zaria bersiap-siap untuk menyerangku."

"Ceritakan padaku selengkapnya." Rhedica mulai menceritakan semuanya pada Cataleah, mulai dari saat dia dan Herens mendengar teriakan pertama dari jalan.

"Kamu tidak terluka memegang pedang yang panas itu?" tanya Thalia.

"Aku tidak tahu. Aku hanya memegangnya dan tidak merasakan apa pun. Hanya hangat, panas yang tidak menyakitkan."

"Oke, Thalia. Itu tidak penting. Kamu tadi menceritakan tentang tongkat kerajaan, kan?" senggah Cataleah.

"Awalnya, aku merasa mendengar suaramu, lalu aku sadar kalau itu adalah suara nenek."

"Suara itu ... apa yang dikatakannya?"

"Nenek minta maaf atas semua yang harus aku lalui akibat kesalahan di masa lalu. Nenek juga berkata kalau dialah penyebab Zaria bertindak jahat sekarang. Karena mereka mencintai pria yang sama, dan pria itu memilih nenek, bukan Zaria."

"Cataleah, kamu tidak terkejut mendengarnya ..." ucap Thalia.

"Kamu tahu tentang itu?" tanyaku.

"Aku tahu."

"Kenapa kamu tidak memberitahuku?"

"Aku tidak yakin. Aku merasa itu bukanlah waktu yang tepat untuk menceritakannya." Ketiganya pun berbicara selama beberapa saat, lalu Thalia pergi untuk menemui Herens.

Tak lama setelah itu, percakapan Rhedica dan Cataleah terhenti karena kemunculan Herens yang dramatis. "Di mana pasienku yang paling berani?"

"Paling berani?" ulang Rhedica. "Aku tidak setuju dengan pernyataanmu."

"Aku setuju dan itulah yang penting. Jadi ... bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja, tapi agak lelah. Kurasa itu karena aku tidur selama berjam-jam."

"Benar, itu wajar. Kamu akan kembali normal setelah beberapa hari, tapi kamu harus melanjutkan terapi."

"Apa aku harus melakukannya?" tanyaku.

"Tentu saja harus. Kita tidak boleh bermain-main dengan hal seperti ini. Sekarang, ayo jadi pasien yang patuh dan minum ini."

"Ugh, pahit sekali!" sesal Rhedica.

"Aku beruntung kamu tidak banyak mengeluh seperti ini saat tidur!" ucap Herens.

"Ha-ha-ha, jadi kamu lebih suka saat aku tidur daripada bangun?"

"Tidak, bukan begitu. Aku lebih suka kamu yang sekarang - putri tidurku yang galak." Herens tinggal di sana beberapa waktu lamanya bersama Rhedica. Dia ingin memastikan bahwa Rhedica masih Rhedica yang dikenalnya.

VALERIA [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang