Semuanya tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Rhedica memikirkan neneknya dan mencoba mengingat-ingat apakah dia pernah menceritakan apapun tentang cara membuka kekuatan peri dan elf. Livian bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang hal itu. Dairon memikirkan pakaian apa yang harus dipakainya untuk perayaan nanti malam, sedangkan Thalia mempertimbangkan apakah dia sebaiknya mengatakan perasaannya pada Dairon atau tidak. Semua orang terhanyuk dari lamunan mereka saat Cataleah selesai berbicara.
"Ok, kurasa sudah cukup untuk hari ini. Rhedica, kamu boleh pulang."
Rhedica terkejut. Tapi, dia ingat ingin meminta maaf pada Cataleah. Jadi, dia mendekatinya dengan malu-malu.
"Cataleah, punya waktu sebentar?""Tentu saja. Aku mendengarkan."
"Aku ingin minta maaf atas reaksiku kemarin," ucapku lirih.
"Rhedica, kamu tidak perlu minta maaf."
"Mungkin. Tapi, aku merasa harus meminta maaf."
"Kalau begitu, permintaan maafmu diterima."
"Aku masih tidak percaya nenek melakukan semua itu. Aku tidak yakin kalau aku mengenal nenek," ucapku.
"Nenekmu adalah wanita yang luar biasa, dan semua yang kamu ketahui tentang nenekmu memang benar. Baik di dunia mu maupun dunia ini,"
"Kenapa kamu bisa mengingat nenek?"
Cataleah tersenyum dan berkata, "Dunia ini mengenal sihir, sedangkan duniamu tidak mengenal sihir, dan kita semua adalah makhluk sihir."
"Apakah Zaria penyebab nenekku menghilang dari Valeria?"
"Benar. Nenekmu dan Zaria bertarung untuk memenangkan Valeria, dan nenekmu menang. Dia harus membayar harga yang mahal untuk menyelamatkan kami semua, dan Zaria memanfaatkannya. Nenekmu dicintai oleh semua peri dan elf di Valeria. Sebagai satu-satunya peri matahari selama 100 tahun terakhir, nenekmu memiliki kekuatan luar biasa. Tapi, dia selalu menggunakannya untuk kerajaan ini. Dia membayar harga mahal dengan melawan Zaria. Dia kelelahan dan tidak siaga. Lalu, Zaria memanfaatkannya untuk melemparkan nenekmu ke dunia lain, yaitu dunia tempat tinggalmu. Kurasa warna matamu juga adalah akibat kutukan Zaria pada nenekmu. Selain itu, ibumu adalah orang pertama yang mewarisi kekuatan itu, lalu kamu."
"Kutukan? Kutukan apa?" tanyaku.
"Aku dan para tetua belum memahaminya. Tapi jangan khawatir, kita akan mengetahui semuanya." Saat itu mereka mengakhiri percakapan dan Rhedica pun kembali ke kamarnya. Sambil memikirkan neneknya, peri matahari yang sangat hebat, yang menyelamatkan Valeria dari Zaria.
Rhedica memikirkan apa yang di dengarnya hari itu untuk waktu yang lama. Tenggelam dalam pikiran, dia bahkan tidak mendengar ketukan berulang kali di pintunya. "Rhedica, kamu di sana?"
Rhedica terhanyuk dari lamunannya saat mendengar suara Thalia. "Masuk, Thalia."
"Apa yang kamu lakukan? Bagaimana mungkin kamu tidak mendengarku mengantuk pintu?" protes Thalia.
"Aku sedang memikirkan apa yang diceritakan Cataleah hari ini."
"Yah, itu gila, ya?"
"Sangat gila!" sambungku.
"Tenanglah. Ayo, kita harus bersiap-siap untuk pesta."
"Sudah waktunya?"
"Lihatlah jam, waktu terus berdetak." Thalia tersenyum dan berjalan menuju pintu sambil melompat-lompat. Lalu, dia berbalik dan tersenyum lagi pada Rhedica. "Oh, aku memang pelupa. Apa aku boleh meminjam salah satu jepitmu? Jepit dengan bunga kala lili putih."
"Tentu. Ambil saja jepit mana pun yang kamu mau," ujarku.
"Makasih banyak! Aku akan bersiap-siap sekarang sampai nanti."
"Sampai nanti." Rhedica memandang ke arah pintu setelah Thalia pergi. "Dia sepertinya sangat senang. Yah, itu adalah kabar baik. Setidaknya seseorang merasa senang." Rhedica mendekati lemari, membuka, dan melihatnya dengan bingung. Dia mengambil gaun pertama yang membuatnya tertarik, mencobanya, halo mendekati cermin untuk menata rambut. Seluruh kota sangat sibuk. Dia dapat merasakan kegembiraan mereka.
08:00 PM. Rhedica bersiap-siap untuk menghadiri perayaan. Dia berdiri dengan gugup di depan cermin selama beberapa menit dan menatap pantulannya. Setelah itu, dia bergegas bertemu dengan Thalia untuk pergi ke balkon bersama-sama. Saat tiba di sana, mereka hanya berdiri di tangga dengan terkagum-kagum. Balkon itu dipenuhi dengan para peri dan elf yang berjalan dan berterbangan. Semuanya bersinar, dan mereka bisa mencium bau yang lezat serta mendengar musik yang indah dari salah satu sudut taman.
"Ini indah sekali!" pujiku melihat sekeliling dengan kagum.
"Benar, mereka benar-benar berusaha keras kali ini." Mereka melihat sepasang peri melayang-layang dan menari di atas dengan mudahnya.
"Wow. Mereka terlihat cantik sekali di bawah langit yang penuh bintang," ujarku.
"Memang. Ah, aku ingin merasakan momen-momen luar biasa seperti itu."
"Jangan khawatir, kamu akan mengalaminya. Bahkan, mungkin malam ini."
Thalia berdiri tegak dan menatap Rhedica dengan penasaran. Lalu, Thalia melihat Dairon berdiri disebelah meja minuman. "Bagaimana kalau aku menghampiri Dairon?"
"Tentu saja. Pergilah, aku akan baik-baik saja."
"Makasih, kamu teman yang luar biasa."
"Ah, tidak perlu berterima kasih." Rhedica merasa sedikit tidak nyaman karena tidak terbiasa dengan situasi seperti itu dan dia tidak menyukai kerumunan orang. Semuanya terlihat seperti mimpi. Meskipun suasananya ceria dan balkon itu dipenuhi dengan peri dan elf yang tersenyum dan berdansa, dia merasa agak kesepian seolah-olah ada yang hilang. Saat itulah, dia melihat kenapa Livian duduk sendirian di bayang-bayang semak-semak mawar. Rhedica menatap Thalia dan Dairon. Mereka berdiri disebelah meja minuman, mengobrol dan tertawa. Dia melihat kembali ke arah semak-semak mawar di mana Livian duduk beberapa saat yang lalu. "Ke mana dia?!" Rhedica memperhatikan kerumunan dan saat dia baru akan mulai mencarinya, dia melihat Livian di pagar balkon. Dia berdiri di sana menatap langit. "Apa yang dia lakukan?" batinku.
"Aku kembali! Sudah kubilang kalau aku akan segera kembali, kan?" ucap Thalia.
"Oh, cepat sekali. Dan? Bagaimana dengan Dairon?" tanyaku yang tidak melihat keberadaannya.
"Dia mengambilkan kita minuman. Aku bilang akan menunggu di sini bersamamu," jelas Thalia.
"Aku datang. Ini minuman kalian." Dairon datang membawa dua gelas minuman dan memberikannya pada kami.
"Makasih."
"Dia luar biasa, ya?" bisik Thalia.
"Thalia, ini hanya minuman."
"Yah, memang. Tapi dia benar-benar seorang gentlemen," sambung Thalia.
Sekali lagi Rhedica menatap Thalia dengan kebingungan. "Ayo ceritakan padaku. Ada apa denganmu?"
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa sangat senang."
Saat itu, Dairon mendekati Thalia dan berlutut di dekatnya. "Hei, ada sobekan kecil di gaunmu. Akan kuperbarui."
"Aw, makasih. Kamu penyelamatku!" ucap Thalia.
"Ha-ha-ha, kamu benar-benar ceria malam ini." Dairon menatapnya sambil tersenyum.
"Menurutku juga begitu!" seruku.
"Yah, memangnya kenapa tidak? Sini, aku akan menciummu." Thalia mendekati Rhedica lebih dulu dan menciumnya di pipi. Lalu, dia melakukan hal yang sama pada Dairon.
Rhedica sudah cukup menyaksikan Thalia yang terlalu ceria. Jadi, dia meninggalkan mereka dan berjalan-jalan sebentar. Mengamati dekorasi di taman dan balkon. Dia melewati kerumunan orang saat matanya tertuju ke pagar balkon. Dia melihat rambut abu-abu Livian mulai menghilang di kejauhan, di tangga yang menuju luar. Rhedica mengangkat gaunnya sedikit dan berlari mengejarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VALERIA [ COMPLETED ]
Adventure[ tamat ] [ follow dulu ] [06/10/21] cerita ini diceritakan kembali dari virtual game (lupa namanya) yang saya beri judul VALERIA. dimana ada seorang wanita dari kehidupan nyata yang tersesat di dimensi lain ( dunia peri ). edit : ± 20/11/2020 upd...