18

22 14 2
                                    

Mereka melihat sekerumunan orang di dekat toko. Sepertinya para peri dan elf sudah kembali ke kota bersama Cataleah. Lalu, Rhedica menyadari dari mana asal keributan itu. "Hei, Thalia, ada apa? Dairon?" tanyaku.

"Tidak apa-apa, Rhedica." Thalia berkata dengan tenang tetapi wajahnya terlihat gelisah.

Dairon berdiri disebelah Thalia. Wajahnya terlihat sangat marah. "Apanya yang tidak apa-apa?! Ada yang salah dan jangan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja!"

"Apa yang terjadi?" ulang Rhedica.

"Apa kamu tidak lihat? Aku tidak punya sayap!" geram Dairon.

"Aku bisa melihatnya, tapi aku tidak mengerti kenapa kamu melakukan semua ini!" sahut Thalia.

"Maksudmu, aku seharusnya bertingkah seolah-olah ini bukan masalah besar?!" Dairon menatap Thalia dengan jijik. Amarahnya semakin memuncak.

"Dairon, tenanglah. Oke? Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk membuat keributan seperti ini!" tegas Livian.

"Oh, benar! Tuan sempurna baru saja bersabda! Anak ajaib yang mendapatkan sayapnya saat masih anak-anak!" sindir Dairon.

"Dairon!" bentakku.

"Sekarang kamu sudah melewati batas!" geram Livian.

Thalia mendekati Dairon dan meletakkan tangannya di bahunya. Tapi, Dairon menyingkirkannya dengan kasar. "Ayolah, ini bukan masalah besar. Kamu akan melihatnya nanti ...."

"Menjauh dariku! Aku tidak butuh kasihanmu!" hardik Dairon.

Thalia terkejut, berbalik, dan berlari dengan air mata berlinang. Rhedica sangat marah. "Oh, hebat sekali. Kamu membuat dia menangis!"

"Hah? Apa? Aku?" desis Dairon.

"Bukan. Dia hanya melihat seekor kupu-kupu dengan sayap yang patah, dan itu membuatnya sedih dan menangis!" semburku.

"Apa?" ulang Dairon.

"Kamu benar-benar tidak mengerti sarkasme, ya?" geramku.

"Berhenti mengejekku. Aku tidak melakukan apa pun!"

"Tapi kamu sudah cukup banyak melakukan sesuatu ..." Rhedica pun berbalik dan berlari untuk mencari Thalia.

Dia menemukan Thalia di balkon belakang istana. Dia terkejut melihat balkon sudah terlihat normal lagi. Tidak ada dekorasi, tidak ada kursi, tidak ada meja. Dia datang dan duduk di sebelah Thalia. "Kamu baik-baik saja?"

Thalia masih menangis. "Tidak. Semuanya luar biasa semalam, tapi sekarang ...."

"Oh, lupakan saja dia! Dia marah dengan dirinya sendiri karena tidak mendapatkan sayap."

"Tapi, aku hanya berusaha menghibur dia."

"Aku tahu. Tapi, dia sudah terlanjur marah, dan kamulah orang pertama yang menjadi pelampiasan amarahnya," ucapku.

"Dia memang brengsek!" dengus Thalia kesal.

"Aku tahu ... dengar, biarkan dia tenang dulu saat ini. Lalu, kamu akan melihat kalau semuanya akan kembali seperti biasa."

"Yah, kurasa kamu benar. Dan kamu sebaiknya kembali ke Herens," ucap Thalia.

"Tentu saja, tapi nanti. Pertama, aku harus menghiburmu dulu."

"Ha-ha, makasih, Rhedica. Kamu memang luar biasa!" puji Thalia.

"Itulah gunanya teman." Rhedica memberikan Thalia pelukan yang hangat. "Lupakan si bodoh itu. Dia akan sadar dengan perbuatannya nanti."

"Kamu benar."

Lalu, Rhedica menyadari sesuatu. "Thalia, aku memikirkan sesuatu yang dikatakan Herens hari ini. Apa kamu ingat yang dia katakannya? Dia dan para Tetua sudah mencoba ramuan yang paling rumit dan berbagai kombinasi racun, tapi sia-sia ...."

"Aku ingat. Lalu?"

"Thalia, bagaimana kalau solusinya sama sekali tidak rumit? Bagaimana Zaria tahu bahwa semua orang akan mencari solusi yang paling rumit dan paling modern? Bagaimana kalau ternyata solusinya ... sebenarnya sederhana?"

"Apa maksudmu? Apa kamu punya ide?" tanya Thalia yang memandangnya heran karena tidak mengerti apa yang Rhedica katakan.

"Yah, aku memikirkan salah satu kelas Cataleah, di mana dia menceritakan tanaman beracun di Valeria, dan sekarang aku cukup yakin dengan apa yang meracuni air di danau."

"Bukankah itu hebat? Ayo ceritakan pada Cataleah dan Herens tentang itu."

"Tidak, tidak. Dengarkan aku. Ikutlah denganku ke danau," kataku.

"Apa kamu gila?!"

"Tolong, aku hanya ingin tahu apakah aku benar atau tidak."

"Kita tidak bisa ke sana sendirian! Terlalu bahaya!" geram Thalia.

"Kita akan berhati-hati. Tolonglah ... aku harus membuktikan pada semua orang bahwa aku tidak seburuk yang mereka pikirkan."

"Kenapa kamu tiba-tiba berpikir seperti itu?" tanya Thalia heran.

"Itu tidak penting sekarang. Jadi, ayo pergi kesana."

"Baiklah, aku akan ikut denganmu. Tapi, tidak ada yang boleh melihat kita!" ujar Thalia.

"Kamu yang memandu," usulku.

"Oke, ayo siap-siap dan pergi." Rhedica dan Thalia berjalan menuju alun-alun. Mereka harus mengemas makanan dan hal-hal lain untuk perjalanan. Mereka merasa bersemangat sekaligus gugup, tapi bertekad untuk menyelesaikan misteri ini sendirian.

Segera setelah selesai mempersiapkan semua hal untuk perjalanan, mereka menghubungi Cataleah untuk meminta izin tidak masuk kelas karena ternyata mereka merasa tidak enak badan. Cataleah tidak sepenuhnya percaya, tapi dia tetap memberikan izin. Saat subuh, mereka menyelinap keluar dari istana dan menuruni pohon. Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai di hutan.

VALERIA [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang