6 | ARKANA

1.1K 92 5
                                    

Happy reading...

Nadira dan Fajar berhenti di salah satu penjual sate pinggir jalan, sembari menunggu pesanannya mereka duduk dan berbincang.

"Kamu rencana mau kuliah dimana?" pertanyaan itu berhasil membuat Nadira terdiam, kuliah? Sebenarnya ia ingin tapi melihat kondisi keuangan keluarganya sekarang membuatnya ragu untuk melangkah kearah sana.

Nadira tersenyum tipis sebelum menjawab, "Enggak deh. Mau bantu ibu aja."

Fajar tentu saja tidak setuju dengan jawaban itu. "Kenapa? kamu khawatirkan biaya?"

Diamnya Nadira membuat Fajar mengerti, jelas sekali bahwa adeknya itu merasa menjadi beban. "Selagi Abang mampu buat kerja dan ibu masih ada, kamu gak perlu khawatir! Kamu cuma perlu belajar lebih  giat lagi dan tentuin universitas mana yang mau kamu tuju! Oke?"

"Makasih ya bang.." jawabnya diakhiri dengan satu tetesan air mata yang berhasil lolos tanpa disadari Nadira.

"Ih ko nangis? Cengeng banget!" ledek Fajar, Nadira spontan mengusap matanya dan tertawa.

"Aaah.. Abang!!"

Fajar terkekeh geli melihat tingkah adeknya yang menggemaskan. Setelahnya mereka kembali berbincang, menceritakan tentang hari ini, apa yang mereka lalui dan kejadian yang membuatnya terkesan. Sampai penjual sate itu datang membawa dua porsi dan meletakkannya di meja.

"Selamat menikmati.."

"Makasih bang!!"

Abang sate itu tersenyum lalu kembali dengan kegiatannya yaitu mengipas tusukan sate untuk pelanggan yang lain.

***

Pagi-pagi sekali Arka sudah mengerjapkan matanya karena merasa terganggu dengan dengkuran yang berasal dari mulut seseorang disampingnya. Ternyata itu Gilang, laki-laki yang tidur dengan meringkuk sebab tak memiliki bagian selimut, Arka yang tak tega akhirnya memberikan selimutnya dan bangkit untuk membasuh wajah.

Pukul lima pagi. Arka selalu bangun lebih awal meski tidur larut malam. Ia menatap dirinya di pantulan cermin, membuka ponsel karena tadi berdering. "Mamah ngapain sih nyuruh gue cepet balik?" tanyanya pada diri sendiri.

Meski awalnya kesal tapi Arka tetap menurut untuk pulang sekarang juga, ia meraih jaket serta kunci motor yang berada di sofa.

Sebelum keluar dari kamar, Arka menggoyangkan tubuh Gilang juga Angga untuk berpamitan, "Woy gue balik ya!"

Dalam keadaan setengah sadarnya Angga menjawab. Lalu Arka pun keluar dari rumah besar yang Angga tempati.

Arka menikmati perjalanannya dengan kecepatan rendah, angin pagi yang berhembus menerpa kulit tangannya membuat ia merasa kesejukan. Apalagi jalannya sepi, hanya ada ibu-ibu yang ingin pergi ke pasar, seorang remaja yang ingin berolahraga bersama temannya juga pedagang kaki lima yang sudah menggelar dagangannya. Pemandangan yang jarang sekali Arka lihat karena ia tinggal di perumahan.

Motor Arka berhenti tepat di halaman rumah, seperti biasa ia melihat Amara tengah menyiram tanaman di taman depan.

Menyadari kehadiran anaknya, Amara berhenti dan menghampiri Arka. "Arka, kamu semalam menginap dimana? Mamah khawatir loh kamu gak ada di kamar. Kenapa sih kalau pergi gak pernah izin dulu ke orang tua?" cercaan keluar, Arka sempat tak percaya melihat ibunya yang sok peduli padanya.

"Tumben? Biasanya cuma ke bang Azka aja mamah begitu."

Helaan nafas terdengar, Amara memandangi Arka begitu dalam, "Arka.. tolong kasih mamah kesempatan untuk perbaiki apa kesalahan mamah, ya?"

Arka mengerutkan keningnya, "Emang udah buat kesalahan apa?" Amara diam membisu dan diamnya Amara membuat Arka tersenyum picik.

"Kan, mamah aja gak tahu salahnya mamah tuh apa? Kalau mau perbaiki harusnya udah tahu dong apa yang salah? Udah ah Arka malas berdebat." Kemudian Arka pergi melangkah meninggalkan Amara sendiri di luar.

Hati Amara tentu saja sakit, sangat sakit. Mendengar apa yang tidak sepantasnya ia dengar dari anaknya sendiri, tapi Amara mengerti sakitnya ia sekarang tak jauh lebih menyakitkan dari apa yang Arka rasakan selama ini. Amara mulai menyesalinya sekarang, tetesan demi tetesan air mata mulai keluar membasahi wajahnya.

***

Nadira baru saja tiba didepan gerbang sekolahnya. Ia diantar oleh Fajar dengan motor Scoopy putih.

Nadira membuka helm dan memberikan pada Fajar, "Belajar yang bener, jangan bolos!" Fajar memperingati, padahal tanpa diperingati pun Nadira tak pernah membolos.

"Iya abang-ku sayang! kapan sih melihat adek-mu ini pergi membolos?"

"Takutnya khilaf" jawabnya, Nadira terkekeh mendengar lontaran itu, di tengah kekehan-nya Nadira tak sengaja melihat seseorang yang ia kenali turun dari motor sport hitam.

Fajar ikut menoleh kearah yang sama, memperhatikan dengan lekat dan tersadar jika itu adalah adek tirinya, "Amel ya?" Fajar memastikan.

"Iya." jawab Nadira.

Orang yang bernama Amel itu membalas tatapan mereka dengan sinis, tanpa menyapa ia pergi bersama lelaki tadi ke dalam area sekolah.

Fajar mengerjapkan matanya, menatap Nadira yang juga menatapnya. Lalu keduanya terkekeh bersama karena merasa itu adalah hal yang lucu.

"Udah-udah! Gih sana berangkat, nanti telat loh!" kata Nadira.

"Ohiya hampir lupa. Yaudah Abang pergi ya!" Fajar melajukan motornya meninggalkan area sekolah untuk pergi ke kampusnya.

Nadira menatap kepergian Fajar sembari tersenyum tapi perlahan senyumnya memudar kala bola matanya kini bertemu dengan lelaki tinggi yang juga menatapnya.

Ia bingung kenapa tatapannya begitu tajam, saat ingin mencoba untuk menyapanya lelaki itu malah melewati begitu saja.

Nadira membalikkan tubuhnya, masih terus memandangi langkah lelaki itu dengan perasaan jengkel. Hari ini seharusnya menjadi hari pertama dirinya mengajar tapi jika sikap yang diberikan oleh muridnya begitu buruk, ia jadi tak yakin akan bisa.

"Arkana, aneh!" gumamnya.

"NADIRA!" panggilan itu membuatnya tersentak, Nadira mengedarkan pandangannya dan menemukan siapa yang memanggilnya barusan.

"Tania! Ih kaget tahu!"

Siswi bernama Tania itu hanya bisa terkekeh kecil, dan merangkul pundak Nadira untuk berjalan beriringan memasuki gerbang sekolah.

Tania Maheswari, anak dari kalangan keluarga kaya yang menjadi teman Nadira sejak memasuki masa SMP. Ia baik dan sering membantunya sejak awal, orang-orang juga mengagumi sosok Tania karena memiliki kepribadian yang ceria dan penuh kehangatan.

Nadira merasa beruntung bisa berteman dengan Tania, dan begitupun sebaliknya. Nadira juga selalu membantunya dalam mengerjakan tugas yang sulit, mengajarkannya matematika juga memecahkan rumus fisika yang tak bisa ia lakukan sendiri. Intinya mereka adalah teman yang melengkapi satu sama lain.

TBC.

Update: 23 November 2020
Revisi: 8 Juli 2022

ARKANA [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang