001. HAN JISUNG

8.6K 971 13
                                    

Seorang lelaki memasuki toko roti dengan langkah mengendap, bertingkah seolah ia adalah agen rahasia negara yang sedang menjalankan misi penting.

Hm, setidaknya sangat-amat penting baginya.

Kepala lelaki bersurai cokelat terang itu menoleh ke kiri dan ke kanan, memeriksa keadaan sebelum akhirnya berbisik pada telepon di genggaman tangan, "Felix, Felix! Gimana kondisi di dalem?"

Sepuluh detik dilalui dengan keheningan. Mungkin, lawan bicaranya juga sedang mengamati kondisi di dalam toko roti.

"Aman, aman! Masuk sekarang Ji!" sahut seseorang di ujung telepon—bernama Felix—dengan nada tergesa. Dengan perintah itu, lelaki tadi pun lantas berlari kecil, masuk ke dalam toko roti sebelum satu suara tegas menghentikannya.

"Telat lagi, Han Jisung?!"

"Eh mati lo jatoh! Eh— maaf, Bos! Eh— aduh, enggak! Tadi habis ngejer Jerry— eh, tikus maksudnya!" jawab pria bernama Han Jisung itu dengan susunan kata yang tidak teratur. Bahkan, terkesan ngelantur.

Pria berusia empat puluh tahunan itu hanya menggeleng singkat. Tahu jelas bahwa salah satu pegawainya ini sedang berbohong. Mana ada ngejar tikus sambil mengendap-endap? Yang ada, Jisung yang balik dikejar tikus.

"Han, ini udah yang ketiga kalinya kamu telat dalam seminggu. Kalau ditotal, sebulan ini kamu udah telat empat belas kali. Saya nggak gaji kamu buat dateng telat-telat gini."

Yang diceramahi hanya bisa menunduk, menatap ujung sepatunya yang mulai kusam sembari mengerucutkan bibir.

"Maaf, Bos. Saya tahu saya salah."

Pria yang lebih tua merogoh saku, mengeluarkan satu amplop coklat, dan memberikannya pada Jisung sembari berujar, "Ini gajimu untuk satu bulan. Kamu sudah tidak perlu datang lagi besok ya, Han."

JEDER!

Bagai disambar petir, kedua mata bulat Jisung membola, buru-buru menatap pria paruh baya di hadapannya dengan pandangan memohon. Kedua tangannya ia satukan.

"Bos, jangan bos. Toloooong, maafin saya. Saya salah tapi jangan pecat saya, tolong. Saya harus bayar uang kuliah," ujarnya merengek yang hanya dibalas gelengan oleh sang atasan. Tanda bahwa keputusannya sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat.

Pria itu pun melangkah memasuki ruangannya setelah mengucapkan kata maaf, meninggalkan Jisung di depan toko roti.

"Ah, bangsat!" Jisung menendang kerikil di depan sepatunya, terlalu kesal dengan dunia yang menurut Jisung sama sekali tidak berpihak padanya. Surai cokelat terangnya ia acak, napasnya sedikit memburu karena marah.

Jisung menatap amplop di tangan dengan pandangan sedih lalu menghela napas. Toko roti adalah penghasilan utama Jisung. Gaji yang cukup besar dan jadwal bekerja yang tidak terlalu padat membuatnya senang bekerja di toko ini. Jika dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lain yang ia jalani, Jisung akan lebih rela membuang pekerjaan lain.

Sayang, nasibnya tidak baik hari ini. Salahkan Nyonya Park, pemilik kedai ayam goreng, yang memaksa Jisung untuk bekerja lebih lama hari ini.

"Hah, yaudahlah. Mau gimana lagi. Udah dipecat juga," gumam Jisung pasrah sembari menatap bangunan toko roti itu dengan pandangan tak rela. Ia simpan uang dalam amplop itu ke saku, menjaganya baik-baik.

"Ji."

Kepala Jisung menoleh, menatap Felix yang baru saja datang menghampirinya. Tanpa berucap yang lain, Felix bergerak memeluk tubuh Jisung, memberikan beberapa tepukan ringan di punggung dan berkata bahwa semua hal akan baik-baik saja.

"Gue gapapa, Lix. Lo tenang aja," ujar Jisung sembari tersenyum lebar usai melepas pelukan mereka. Felix hanya mengangguk. Walau sebenarnya, lelaki dengan taburan bintang di wajah itu yakin bahwa Jisung sedang sedih.

"Lo balik duluan aja ke kos. Hari ini gak usah cari kerja dulu. Besok gue bantuin lo cari, oke?"

"Oke. Gue balik ya, Lix. Semangat kerjanya! Jangan sampe dipecat juga lo!"

Jisung tertawa akan leluconnya lalu melambaikan tangan dan berlari meninggalkan toko roti itu. Jisung memang tidak berniat untuk langsung mencari kerja hari ini. Biarlah ia merenung terlebih dulu.

Terlalu banyak hal yang harus Jisung pikirkan.

Tentang bagaimana cara melanjutkan hidup esok hari,
tentang bagaimana cara melunasi biaya kuliahnya,
tentang bagaimana Jisung bisa membahagiakan orang-orang yang sudah baik padanya.

Simpel, kepala Jisung penuh dengan pikiran-pikiran mengenai hidup. Terlalu banyak yang harus ia sesali. Tapi, tak sedikit pula yang harus ia syukuri.

Jisung 'kan jadi bimbang.

"Duh, pusinglah. Mending beli gelato ujung gang terus balik kos deh."


.

.

.

tbc.

.

.

.

Yuhu, episode satu keluar. AAAAA. Aku excited sekaligus takut buku ini gak sesuai ekspektasi kalian dan gak sebagus buku pertama aku. Tapi, aku coba tulis dan selesaiin dulu deh ya... 😀

Semoga kalian suka sama chapter satunya! ♡

Any kind of feedbacks are appreciated!

MINSUNG: MARRIED BY CONTRACTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang