26

83 4 0
                                    

"Mencintai manusia itu boleh, tapi berharap lebih itu hanya bisa menyakiti diri kamu sendiri."

-Widower?"
.
.
.
.
.
.
.

"Kenapa? Wajah saya tampan? Atau kamu rindu dengan saya karena sudah beberapa Minggu ini kamu menjauh dari saya?"

Olif mengembungkan pipinya, "apaan sih kak, geer banget jadi orang."

Arsen tertawa lepas membuat orang di sekitar yang sedang mengendari motor dan mobil menatap mereka, "emang saya kalau sama kamu suka geer," katanya dengan tangan kiri mengacak-acak rambut Olif.

Disisi lain Irene yang sedang berada di rumah Arsen, duduk berdua di ruang tamu dengan orang tua Arsen. Tepatnya sang ibu.

Irene tak henti-hentinya menekuk wajahnya dengan tangan bersendekap di depan dada. Tidak terima karena Arsen sudah waktunya pulang tapi belum pulang, padahal sudah Irene telfon beberapa kali, tapi hasilnya nihil, Arsen tidak menjawab telfonnya. Lebih tepatnya Arsen mengabaikan telfon dari Irene.

"Tenang yah, ini Tante lagi telfon Arsen. Kamu sabar dulu," kata calon ibu mertua Irene menenangkan.

Tak lama setelah itu, seorang pria paruh baya keluar dari dalam kamarnya dengan memakai baju santai. Tersenyum simpul saat melihat istrinya dan juga wanita yang selalu mengejar cinta Arsen tanpa henti.

"Irene ngapain kesini?" Tanya Pak Fernan.

Sedangkan Mama Arsen melebarkan matanya saat sang suami bertanya seperti itu. "Papa, tentu saja Irene menunggu putramu yang tidak pulang entah pergi kemana," katanya dengan nada ketus.

Pak Fernan menggelengkan kepalanya dan duduk di samping sang istri. "Lagi kencan. Arsen lagi kencan sama pacarnya," katanya mengompori dengan menatap Irene.

"Pa, jangan mengompori Irene!" Lerai Mama Arsen dengan nada tinggi.

Pak Fernan menoleh kepada sang istri dengan dahi mengerut, "mama bentak papa? Ma, anak kita itu sudah dewasa dia bisa memilih jodohnya sendiri, dia bisa menentukan kehidupannya sendiri dia juga bisa merancang masa depannya sendiri. Arsen bukan anak kecil lagi, Ma. Dia sudah dewasa, jadi menurut Papa percuma Mama menjodohkan Arsen jika dia tidak mau."

"Tapi Pa, kita sudah menjodohkan mereka berdua sedari kecil. Apakah Papa lupa jika Arsen dulu sangat senang saat bermain dengan Irene?"

Irene mulai jengah dengan perdebatan antara calon mertuanya ini.

"Ma, itu dulu mereka masih belum tau apa-apa. Sekuat apapun Mama mau menjodohkan Arsen, kalau Arsen sangat kekeh dengan pendiriannya Mama tidak akan bisa meruntuhkannya." Kata Pak Fernan yang kemudian beranjak dari tempat duduknya. Tapi, langkahnya terhenti, "Iren, Om hanya memberi tahu kamu. Mencintai manusia itu boleh, tapi berharap lebih itu hanya bisa menyakiti diri kamu sendiri." Katanya yang kemudian pergi meninggalkan Irene dan sang istri.

Diam-diam Irene mulai mengepalkan tangannya. Jangan ditanya lagi dia sakit hati dengan perkataan orang tua itu.

Irene menoleh ke arah istri pak Fernan, "Tan, Irene pulang dulu." Katanya yang kemudian pergi tanpa memberi salam dengannya.

Sedangkan di sisi lain, Olif tengah duduk di sebuah kursi taman dengan suasana taman yang amat tenang. Hanya ada suara dedaunan yang mengusik indra pendengarannya.

Saat dirinya tengah duduk dan melihat ponsel, sebuah tangan yang memegang minuman terulur. Ternyata Arsen yang membawakan minuman untuknya.

Saat Arsen sudah menghempaskan pantatnya ke kursi, Olif segera meneguk minuman tersebut. "Mau ngomong apa," katanya tanpa basa-basi.

Arsen menoleh, menatap Olif dengan tersenyum simpul. "Bukannya waktu itu kamu suruh aku kasih tau kamu kalau tanya perihal siapa Adel dan Irene. Aku nggak tau siapa yang ngasih tau ke kamu tentang dua orang wanita itu. Meskipun awalnya aku nggak berniat bahas soal Adel ke kamu," jelas Arsen menatap lurus ke depan.

"Kenapa?" Tanya Olif heran.

"Karena orang sudah tidak ada di dunia lebih baik tidak di bahas," katanya. "Tapi mungkin tidak apa, aku akan menjelaskannya sedikit. Adel itu dulu kekasih aku, aku sangat cinta dengan dia. Bahkan dia sudah menjadi tunangan ku, waktu kurang seminggu lagi untuk menuju ke pelaminan. Mama sama Papa dan kedua orang tua Adel memutuskan bahwa aku dan Adel harus mencari baju pengantin dan aku sudah ada di butik dengan mama. Tapi naas, Adel mengendari mobil dengan kecepatan tinggi hingga remnya blong dan dia harus masuk jurang. Kita gagal menikah, kita gagal menempuh hidup baru, kita gagal membangun masa depan. Selama seminggu polisi mencari keberadaan Adel di jurang dan setelah delapan hari, polisi menemukan Adel dengan kondisi wajah dan tubuhnya sudah tidak layak lagi. Aku putus asa, aku memutuskan untuk tidak menikah, tapi setelah aku bermimpi bertemu dengan Adel dia berpesan jika dirinya baik-baik saja disana dan dia bahagia. Aku mencoba ikhlas meskipun berat. Seiring berjalannya waktu Andre menyadarkan ku untuk tidak berlarut tentang Adel, dia menyadarkan ku jika perjalanan hidupku masih panjang dan Adel tidak akan pernah kembali." Jelas Arsen di akhiri senyuman manis di bibirnya.

Olif mengangguk kepalanya berkali-kali," lalu, siapa Irene?"

Arsen tersenyum simpul, "Irene itu hanya sahabat kecilku, dia juga mengenal siapa Adel. Bahkan mereka sangat akrab, tapi karena keegoisan dan rasa obsesi di dalam diri Irene lebih tinggi, dialah yang membuat mobil Adel masuk ke dalam jurang. Sampai saat ini pun dia masih ngejar-ngejar saya, mama juga begitu menjodohkan kami. Tapi, saya tetap kekeh kalau saya tidak setuju dengan perjodohan ini." Jelasnya.

Olif menganggukkan kepalanya berkali-kali. Tapi, ada satu hal yang tidak Arsen katakan padanya. "Apa tidak ada lagi?" Katanya mulai membuka suara.

Arsen menggelengkan kepalanya, "sudah tidak ada. Jadi, bagaimana apakah kamu masih mau menjauh?"

Olif mengangkat kedua pundaknya, "entahlah, jika sebuah hal tidak di ungkapkan, jika perasaan tidak di hargai, maka lebih baik pergi." Katanya yang kemudian merampas kunci motornya di tangan Arsen.

Arsen menatap punggung Olif yang semakin jauh, mulai menaiki motornya dan menyalakan. "Apa katanya, aku tidak mengungkapkan sesuatu lagi? Tapi apa?"

⚠️⚠️⚠️

Di waktu yang sama dengan tempat yang berbeda. Sebuah bangunan yang besar di depan, bangunan rusak tapi di dalam sangatlah apik.

Seorang pria melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam bangunan tersebut. Suara bunyi pintu terdengar nyaring di telinga saat di buka.

Pria tersebut melangkah dengan tenang, tanpa kebingungan seolah-olah dia telah pergi ke dalam bangunan ini sebelumnya. Saat sampai di pintu tengah, i membuka sebuah pintu lagi.

Yang nampak tidak jauh dari matanya adalah seorang wanita dengan rambut di kuncir kuda, pakaian yang amat ketat, ekspresi wajah yang penuh dengan kebencian.

"Kapan kau akan memulai semuanya?" tanya wanita tersebut yang kemudian berdiri dari kursi kebanggaannya.

"Kau maunya kapan?" bukannya menjawab, pria itu bertanya kembali.

Sang wanita mengangkat sebelah alisnya dengan senyuman sinis yang tercetak di bibir. "Kau tanya aku kapan akan di mulai? Baiklah, aku mau besok." Katanya dengan penuh penekanan.

"Besok, apa itu mungkin?" Tanya pria tersebut.

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bukan? Aku sudah memata-matai mereka dan kau harus menjalankan misiku," katanya.

"Misi? Misi apa? Siapa yang sedang di mata-matai?"

-Widower?-

Pasuruan, 19 Desember 2020

𝐖𝐢𝐝𝐨𝐰𝐞𝐫? ✓ (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang