31

81 4 0
                                    

"Mencintai seseorang apakah butuh alasan? Jika iya, maka apa?"
.
.
.
.

"Kamu sudah makan? Gimana kalau kita ke kantin rumah sakit makan disana sekalian nanti saya belikan Bunda kamu makan juga," ajak Andre.

Olif mengangguk. "Boleh kak kalau tidak merepotkan."

Saat ini Olif dengan Andre sudah berada di kantin rumah sakit. Tidak banyak orang yang berada disana hanya beberapa pasang orang saja.

"Kamu mau makan apa?" tanya Andre menawarkan Olif makan.

"Lalapan aja kali yah kak?" katanya.

"Oke, lalapan yah," kata Andre memastikan.

"Oke."

Selang beberapa menit pesanan Olif dan Andre sudah datang. Dua porsi makanan yang berbeda serta dua gelas minuman yang berbeda pula.

Olif dan Andre menikmati makanannya dengan Olif yang enggan untuk mengangkat kepalanya, dia lebih memilih makan dengan tenang. Sedangkan Andre yang sedari tadi makan dengan menatap wajah Olif yang sangat lucu baginya hingga menerbitkan senyum di bibirnya.

Makanan sudah tandas di lahap dengan Olif tidak menyisakan sebutir nasi pun di piring. Sedangkan Andre, ia tidak menghabiskan makanannya, entah karena kebanyakan melihat Olif yang sedang lahap makan atau karena memang tidak lapar.

"Kak, kenapa nggak di habiskan?" tanya Olif melihat makanan Arsen yang sisa setengah piring serta lauk yang masih banyak.

"Uda kenyang saya," jawabnya dan di balas anggukan oleh Olif.

"Olif, boleh saya tanya sesuatu sama kamu?"

"Boleh. Mau tanya apa kak?" kata Olif dengan badan yang semulanya menyerong kini ia benarkan menghadap ke arah Andre.

"Kamu suka sama Arsen?" tanya Andre to the point.

Sedangkan yang di tanya langsung telonjak kaget, detik berikutnya Olif segera menghilangkan rasa terkejutnya itu. "I-i-iya, kak." Jawabnya tergagap.

"Kenapa kamu suka sama Arsen?" tanya Andre justru membuat Olif bingung.

"Mencintai seseorang apakah butuh alasan?" cetus Olif dari mulutnya.

"Saya suka sama kamu, maaf." Ungkap Andre menyatakan perasaannya yang selama ini ia pendam seorang diri tanpa sepengetahuan orang lain.

"Saya? Kenapa kakak suka sama saya?" kata Olif terheran-heran.

"Mencintai seseorang apakah butuh alasan?"

•••

Semua benda yang berada di atas meja riasnya, meja belajar dan juga di atas nakas ia hamburkan ke sembarang tempat. Suara benda berbahan kaca sudah pecah berkeping-keping. Air mata yang hampir mengering tak hentinya ia menangis, suara yang hampir habis serta tenggorokan yang sakit ia pergunakan untuk berteriak sekencang mungkin.

"Anak siapa Lo sebenarnya, gue benci sama Lo!" amuknya dengan memukul perut ratanya dengan keras. Citra Hanum Salim setelah ia memesan sebuah alat pengetes kehamilan tadi pagi ia segera mengecek apakah dugaannya benar atau salah. Tapi, yang kuasa berkata lain, dua garis merah terlihat jelas dimatanya pagi itu. Dia hamil dan tidak tahu anak siapa. Beberapa waktu lalu, Andre memang sempat memberitahunya, tapi ia tidak percaya.

Penampilan yang sudah acak-acakan saat ini dan Citra tidak peduli. Sampai akhirnya sebuah bel rumah di pencet oleh seseorang. Dengan hati-hati dan membuka sedikit tirai jendela di di samping pintu, dilihatnya sebuah gadis yang amat sangat cantik sedang berdiri disana. Sahabatnya, sahabat yang selama ini ia sayangi yang dulu pernah Citra ambil kebahagiaan dari hidup Olif, yaitu Gavin. Demi menuruti keegoisan dan perasaan bodohnya, ia rela menjadi pacar kedua Gavin.

"Citra ... Citra keluar dong, gue mau ngomong sama Lo, ada apa sih sebenernya, apa yang Lo sembunyiin dari gue, Cit. Citra, ngomong sama gue, gue sahabat Lo, Cit. Gue bisa jadi Mama Lo untuk sementara, keluar Cit!" teriak gadis itu dari depan pintu rumah.

Tapi, Citra tetap saja tidak bergeming. Dia lebih memilih menjauh dari Olif, dia tidak ingin Olif menumpahkan air matanya lagi. Tidak.

Citra menangis disana, ia rindu dengan Olif, ia ingin sekali menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, tidak mungkin. Ini bukan waktu yang tepat.

Sebuah dering ponsel berbunyi, itu adalah milik Olif. Dengan cepat Olif mengambil ponselnya dan berbicara dengan si penelfon.

Rasa takut di wajahnya kini datang, cairan bening dari matanya kini telah jatuh membasahi pipinya. Citra melihat itu. Apa yang sebenarnya terjadi.

Dengan gerakan cepat Citra melihat Olif berlari dan segera keluar dari pekarangan rumahnya. Dilihatnya Olif yang sangat terburu-buru. Ia ingin tahu dan ia sudah tahu saat ini, jika Olif banyak masalah dan dia sedang tidak baik-baik saja.

Citra kembali menaiki anak tangga rumah dan merebahkan tubuhnya diatas kasur. Tadi setelah ia tahu jika dirinya positif hamil Citra segera menelfon kedua orang tuanya. Tapi ... Bukan celotehan marah dari mamanya, bukan murka sang ayahnya yang ia dengar. Namun, hanya sebuah kata yang selalu ia ingat sampai detik ini. "Mengapa bisa?"

Tepat tadi siang Citra sudah kehilangan masa depannya. Baginya kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya tidak apa, asalkan suatu hari nanti dia akan membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa dia bisa menjadi orang sukses.

Tapi, semuanya sudah sirna. Untuk mewujudkan mimpi paling terkecil saja dia harus berusaha keras apalagi dengan mimpi yang begitu besar. Tapi, kenapa Tuhan berkehendak lain semua bagai di terpa ombak laut. Begitu saja hilang dan hancur berkeping-keping.

•••

Tepat di rumah sakit Olif langsung turun dari dalam mobilnya, berlari menuju ke arah ruang dimana ayahnya sedang di rawat. Tidak peduli dengan tatapan orang di sekitar yang memandangnya heran.

Tepat saat sampai di depan ruang ayahnya di rawat sang bunda menangis dengan histerisnya dengan Andre yang mengelus pundak Bundanya sedangkan di sebelah Andre  ada Arsen yang sedang menggendong Reyhan.

Sebuah brangkar keluar dari dalam ruangan terdapat beberapa perawat yang mendorong. Seseorang yang tertidur dan tertutup kain putih di depannya. Olif berjalan menuju bundanya dan segera menatap manik mata sang Bunda.

"Bunda ..." Panggilnya.

"Sayang ... Maafin Bunda," kata bundanya kepada Olif. Ia tidak mengerti sekarang.

"Ayah baik-baik saja, 'kan Bunda?"

"Itu ayahmu, Nak." Tunjuk sang bunda ke arah brangkar yang sudah berjalan hampir jauh.

Olif menggelengkan kepalanya berkali-kali, air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Olif berlari menghampiri brangkar yang ternyata adalah ayahnya.

Pahlawannya sekarang pergi, pergi untuk selamanya. Olif membuka kain putih tersebut. Wajah pucat ayahnya ia pandang tanpa henti, begitu tenang.

"Lihat, sekarang pahlawan Olif udah pergi, sekarang Olif kehilangan semangat, Yah. Ayah ... Mulai besok Olif akan sarapan tanpa Ayah lagi di meja makan, mulai besok Olif udah nggak bisa rebutan remot tv lagi. Mulai besok Olif udah nggak bisa dengerin suara ayah lagi. Ayah ... Maaf Olif belum bisa buat ayah bahagia, maaf belum bisa buat Ayah bangga sama Olif. Terima kasih Ayah, Olif janji akan melakukan yang terbaik, Ayah baik-baik yah disana, jangan lupa selalu mampir ke mimpi Olif, Olif janji bakalan jagain bunda." Ucapan terakhir itu membuat sang bunda ambruk dengan tangisan yang membuat sesak di dadanya. Olif mengecup kening sang ayah dan kembali menutup kain putih tersebut.

Brankar sudah di dorong kembali oleh petugas. Kakinya sangat lemas, Olif terjatuh ke lantai dengan tangisan yang amat sangat perih hingga suaranya tidak bisa di dengar lagi.

"Ya Allah ... Kuatkan hati Olif."

•••

Pasuruan, 27 Januari 2021

𝐖𝐢𝐝𝐨𝐰𝐞𝐫? ✓ (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang