33

114 4 0
                                    

"Tuhan, untuk yang kali ini saja, aku mohon jangan kau ambil. Karena aku sudah lelah melangkah dan sudah cukup semuanya untuk membuatku menyerah."

-Arsenal Fernansyah-



"Kata Lo sendiri, lo punya kakak angkat dan itu perempuan, kan?" Kata Olif terdiam sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya. "Boleh kenalin sama gue, nggak? Emang siapa sih nama kakak Lo, Dim?"

Dimas diam sejenak dia berhenti untuk mengayuh perahu.

"Irene. Nama Kakak gue Irene, Lif. Kenapa?" jawab Dimas dengan mantap.

Olif justru tersentak saat mendengar nama kakak angkat Dimas.

"Irene? Apakah Irene calon istri Arsen? kata Olif bermonolog.

"Iya. Irene yang gue maksud adalah Irene calon istri dari pak Arsen, guru BK di sekolah." Jawab Dimas mantap seolah-olah dia tahu apa yang sedang ada di dalam pikiran Olif.

Olif melambaikan tangan kanannya di depan wajah Dimas, cowok itu sedang melamun ternyata, bukan menjawab pertanyaannya.

"Hei!" sentak Olif.

Dimas tersentak,"ke-kenapa, Lif? Apa lo marah?" tanya Dimas tidak mengerti.

Olif mengeritkan dahinya lalu tertawa, "marah gimana sih, Dim. Lo aja belum jawab pertanyaan gue siapa nama kakak Lo, ngapain juga gue marah!"

"Oh, gitu, ya." Jawab Dimas dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Olif mengangguk, "siapa nama kakak lo?" tanya Olif lagi.

"Bela." Jawab Dimas.

"Bela? Tadi kata lo Irene,"

"I-i-iya, maksud gue Irene Ayu Bela."

•••

Hari ini Olif serta Dimas kembali ke sekolah seperti biasa. Arsen yang datang ke sekolah di sambut manja oleh siswi-siswi yang sedang duduk ataupun berlalu lalang di koridor kantor guru.

Wajahnya yang tanpa ekspresi kini sedang menatap Olif yang tengah berjalan berdua dari parkir sekolah dengan Dimas.

"Saingan gue bocil?"

Beda dengan Citra, dia masih setia menemani kamarnya. Tidak henti-hentinya menangis, tidak henti-hentinya mengumpat. Bahkan, Citra ingin sekali membunuh anak ini atau dirinya ikut juga. Maka, pasti semuanya akan selesai dan tenang.

Tidak perlu repot-repot membuang air mata dengan percuma, tidak perlu repot-repot bangun subuh-subuh hanya karena ingin memuntahkan isi dalam perutnya dan yang paling penting dirinya juga tidak perlu merusak kebahagiaan yang akan dimiliki oleh Olif.

Tadi malam mendengar ayahnya yang marah dengan tingkat tinggi karena dirinya di hamili oleh orang, sedikit ada rasa senang di dalam hati Olif, setidaknya meskipun dia hamil di luar nikah, ayahnya peduli. Tetapi, saat ayahnya meminta agar lelaki yang menghamilinya bertanggung jawab.

"Apa yang harus gue lakuin sekarang?" tanyanya kepada diri sendiri.

Citra berdiri di depan meja riasnya, "nak, meskipun kamu anak yang tidak di anggap oleh ayahmu, suatu hari nanti Mama yang akan menjadi Ayah dan ibu bagimu." Ucapnya dengan mengelus perutnya yang masih rata.

"Apa yang harus gue lakukan sekarang?" tanyanya kepada diri sendiri.

Sampai akhirnya Citra membuang napas, mengambil keputusan yang sudah ia pikirkan selama semalaman. Citra bergegas ke kamar mandi mencuci wajahnya yang amat sangat lelah. Melangkah ke lemari baju dan mengambil tas selempang yang bergantung disana.

Melangkah keluar pintu rumahnya, menancap gas mobilnya dan mulai keluar dari pekarangan rumah.

Di lain tempat, tepatnya di koridor sekolah, Olif dan Dimas berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Kali ini Dimas akan mengantarkan Olif ke depan untuk mencari angkot setelah itu barulah Dimas menuju parkir sekolah mengambil mobilnya.

"Olifia!" panggil seseorang dari sisi kiri lengan Dimas yang jaraknya sedikit jauh.

"Lif, di panggil pak Arsen." Kata Dimas.

"Iya, lo duluan aja ke depan, Dim. Gue ke pak Arsen dulu." Kata Olif yang kemudian meninggalkan Dimas.

Kaki jenjangnya berhenti tepat di depan pintu ruang BK yang terdapat Arsen sedang berdiri tegap disana.

"Ada apa pak?" tanya Olif.

Bukannya menjawab pertanyaan dari Olif, Arsen justru masuk ke dalam ruangannya dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana.

"Masuk!"

Dengan hembusan napas Olif segera masuk ke dalam ruang BK. Masih sama, meskipun dirinya sudah jarang lagi di panggil ke ruangan ini oleh Arsen. Tidak ada yang berubah. Hanya raut wajah Arsen (?)

"Ada apa?" tanya Olif lagi tanpa basa-basi dia sudah jengah dengan tingkah Arsen yang terkadang sangat posesif padahal dirinya bukan siapa-siapa.

"Duduk dulu," perintah Arsen kepada Olif.

Olif sudah geram melihat semua ini, kalau mau bicara kenapa tidak langsung saja? Terlalu banyak membuang waktu.

"Nggak usah. Kalau mau ngomong, yaudah ngomong aja kali, kak. Nggak usah berbelit-belit, aku masih ada urusan."

"Urusan sama cowok yang tadi pagi bareng kamu? Urusan sama cowok yang kemarin ajak kamu ke danau?" tanya Arsen dengan penuh penekanan.

Olif bersendakap, "kenapa, cemburu?"

"Iya Olif, iya. Saya cemburu!" balas Arsen dengan nada suara tinggi.

Olif masih diam, menatap manik mata Arsen, dia tidak akan menangis seperti gadis-gadis di novel yang sekali di bentak Akan nangis. Tidak selemah itu.

"Kenapa, kenapa kakak cemburu?!" tanya Olif dengan suara yang tak kalah keras. "Apa hak Kakak cemburu, apa hak Kakak ngikutin Olif, apa hak Kakak ngatur-ngatur hidup Olif, apa hak Kakak pos--"

"Karena saya cinta kamu, Olif!" bentak Arsen dengan napas tidak beraturan. "Pernah nggak kamu hargain perasaan saya, pernah nggak kamu berfikir kalau saya suka sama kamu, pernah nggak kamu berfikir seberapa besar perjuangan saya, saya bela-belain menolak kemauan mama hanya karena saya yakin kalau kamu akan luluh dengan semua perjuangan saya, saya---"

"Dan selanjutnya akan meninggalkan saya?!" bentak Olif. "Saya siapa di kehidupan kakak, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang murid kak Arsen yang kak Arsen bawa masuk ke dalam kehidupan kak Arsen hanya untuk mengurungkan semua rencana orang tua kak Arsen untuk menjodohkan kakak dengan Irene. Saya dihina, orang tua saya dihina. Kakak pernah nggak berfikir seberapa besar mama kak Arsen menggores hati saya? Nggak?!" Olif diam. "Karena kamu egois." Katanya yang kemudian berbalik untuk meninggalkan ruang BK.

"Berhenti di tempat kamu berdiri sekrang atau saya akan melukai cowok yang kemarin membawa kamu ke danau!" gertak Arsen.

Olif pun berhenti, "apa mau kakak? Dia nggak tahu apa-apa, nggak usah bawa-bawa Dimas ke dalam perdebatan yang tidak penting ini!"

Arsen diam, tatapannya menghangat, napasnya sudah teratur, raut emosi dalam matanya kini sudah hilang.

Arsen mendekat ke arah Olif, mengambil kedua tangan Olif untuk ia genggam.

"Apa kamu percaya jika nanti ada seseorang yang akan berbicara kepada kamu tentang kebejatan saya? Apa kamu akan percaya kalau semua itu adalah ulah orang yang tidak suka dengan saya?" tanya Arsen.

Olif mengeritkan dahinya, "maksudnya?"

"Kalau kamu disuruh memilih antara saya dan Dimas, kamu akan memilih siapa?" tanya Arsen lagi.

Olif membuang napasnya, "kak, sudah berapa kali Olif bilang kalau Olif sama kakak nggak akan pernah jadi satu. Olif ini murid kakak, sedangkan kak Arsen adalah guru Olif di sekolah, apa kata guru-guru di sekolah dan apa kata teman-teman di sekolah,"

"Ayo kita nikah!"

•••

Pasuruan, 23 Februari 2021

𝐖𝐢𝐝𝐨𝐰𝐞𝐫? ✓ (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang