Di sebuah rumah yang mewah dan megah, seorang gadis tengah berbaring di atas ranjangnya seorang diri. Tanpa kedua orang tua, tanpa pembantu di rumah, tanpa teman.
Citra sudah sedari tadi malam tak henti-hentinya dia menangis seorang diri. Kesalahan terbesarnya kini terulang lagi, mengambil kebahagiaan orang lain yang seharusnya tidak ia ambil kini ia renggut kembali.
Citra yang sudah hancur bagaikan sebuah kaca yang dulunya retak kini sudah hancur berkeping-keping. Sebuah kehormatan yang selama ini dia jaga, menghindari pergaulan bebas di luar sana, menghindari teman-temannya yang selalu mengajaknya dengan perbuatan yang tidak baik. Sebuah Citra lakukan demi dirinya sendiri, demi mewujudkan sebuah mimpi-mimpi yang sudah sedari kecil ia ukir.
Tapi, hanya beberapa detik, hanya beberapa menit semua hilang, lenyap bagai di telan bumi. Kebahagiaannya kini hilang, napasnya seolah-olah ingin berhenti. Hilang arah, tak punya mimpi. Semua hancur, belum sempat ia membuktikan kepada kedua orangtuanya, kini semua telah sirna.
"Aaaaaargh!" gadis itu berteriak sekencang mungkin, ia hancur kali ini. Tidak ada ayah yang ingin memeluknya, tidak ada ibu yang ingin mengelus rambutnya. Citra hancur seorang diri, kepahitan kini ia telan seorang diri.
Kini ia melamun, tanpa sarapan pagi, tanpa senyum di pagi hari. Kini citra hanya diam dan diam, mata yang menghitam, hidung yang merah.
Saat ketukan pintu kamar terdengar samar di telinga, ia menoleh. Mungkin dirinya lupa mengunci pintu semalaman, hingga orang lain lancang masuk ke dalam rumahnya, di dalam fikirannya saat ini hanya terbesit jika yang mengetuk pintu adalah perampok, Citra akan mengizinkan perampok tersebut mengambil seluruh barang-barang dalam rumahnya dan jika yang mengetuk pintu adalah orang yang benci dengan dirinya, maka dengan senang hati Citra akan meminta orang tersebut untuk membunuhnya. Untuk apa hidup jika tidak ada gunanya lagi?
"Masuk." Katanya dengan tatapan lurus ke depan, tanpa melihat seseorang yang tengah berjalan ke arah ranjangnya yang saat ini di buat duduk oleh dirinya.
"Cit, lo nggakpapa?" pertanyaan yang lolos dari mulut orang tersebut membuat wajah Citra memerah padam. Kesal, mungkin jika di negara ini tidak ada hukuman karena membunuh orang mungkin Citra akan membunuh orang di hadapannya saat ini juga.
"Pergi lo dari sini," katanya dengan sinis.
"Gue bisa jelasin, Cit. Itu semua bukan gue," katanya dengan penuh penekanan.
"Kalau bukan lo terus siapa?!" tanya Citra dengan berteriak, rambut yang sudah acak-acakan.
•••
Saat jam istirahat telah tiba, Olif yang sedang makan di kantin terganggu dengan seorang siswi memanggilnya dan memberi kabar jika ia harus datang ke ruang BK.
Olif sempat mendengus kesal dan Dimas menyaksikan itu. Bagaimana tidak, saat dirinya mendapatkan nafsu makan yang tinggi Arsen sebagai guru BK nya itu justru membuang nafsu makannya dengan cepat.
"Kalau di lihat-lihat lo dekat yah sama itu guru BK?" tanya Dimas tiba-tiba.
Olif tersenyum paksa, "nggak kok, hanya sebagai guru dan murid."
"Oh iya, Lif. Pulang sekolah ikut gue mau, nggak?" tanya Dimas. Dimas yang bernotabe sebagai kakak kelasnya ini memang tidak pernah Olif kenal sebelumnya, kata Citra Dimas ini anak yang pintar, dialah yang di kirim oleh guru-guru saat olimpiade mewakili sekolah. Tapi, Olif tidak pernah mengetahui hal itu.
Memang dilihat dari cara bicara Dimas, barang yang ia pegang saat bertabrakan dengan Olif adalah buku. Buku pelajaran yang sebagian ada beberapa novel disana. Mungkin anak ini hobinya membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐢𝐝𝐨𝐰𝐞𝐫? ✓ (Belum Revisi)
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [BUDAYAKAN VOTE DAN COMEN] Duda? Sering kali sahabat karibnya itu memanggilnya dengan sebutan tersebut. Arsenal Fernansyah, seorang peri berumur 25 tahun, menjadi guru BK di sekolah milik orang tuanya serta menjadi seorang C...