Aku bersyukur tubuh Putri bisa menerima pengobatannya dengan baik. Dokter bilang ada perubahan positif disana. Aku jadi merasa lega melihat adikku ini kondisinya semakin membaik. Dia juga terlihat lebih ceria beberapa hari terakhir ini. Kami sudah boleh membawanya pulang setelah menginap selama 3 hari di rumah sakit. Aku juga sekarang harus pintar-pintar membagi waktuku untuk Putri juga pekerjaan-pekerjaanku. Dari pagi sampai siang pukul 2 aku menjaga Putri sampai Devi pulang dari sekolah. Baru setelah itu aku bergegas ke departement store untuk kembali bekerja sampai pukul 10. Lalu aku akan melanjutkan pekerjaanku ke tempat pria itu. Aku bisa lebih santai dan bisa beristirahat disana. Biasanya dia akan pulang sekitar pukul 11 atau malah terkadang dinihari. Entah apa yang dia lakukan sampai tiap hari pulang selarut itu.
“Kak Nessa ngelamun, ya?” tanya Putri menghilangkan bayangan pria itu yang hampir muncul dalam pikiranku.
“Nggak, kok. Putri lagi apa?” kulihat dia sedang asyik dengan gulungan benang wol di tangannya.
“Putri mau bikin topi buat Putri, Kak.”
“Kak Nessa nggak dibikinin juga?” kupeluk tubuh mungilnya dari belakang. Sejak kapan dia belajar merajut, tangan mungilnya terlihat sangat terampil dalam merangkai benang menjadi sebuah topi yang bentuknya sudah mulai terlihat.
“Nanti Putri bikinin sesudah punya Putri selesai, ya,” janjinya sambil mengulurkan jari kelingkingnya untukku. “Janji, ya,” kukaitkan kelingkingku sendiri sambil menggoyang-goyangnya.
“Kak, Putri kangen tidur sambil Kakak peluk begini,” aku sama sekali tidak menyangka Putri akan mengatakannya. Membuatku terdiam. Adikku sedang mengharapkanku memeluknya saat tidur, sedangkan aku malah memeluk pria itu tiap malam sejak beberapa hari yang lalu.
Apa yang kamu pikirkan Nessa?“Kak Nessa kok nggak pernah tidur sama Putri lagi? Kan Putri pengen dipeluk,” ya, kakak sekarang punya teman tidur baru, Putri. Kakak kamu ini jahat, ya?
“Kan Kakak udah bilang sama Putri, Kakak kerja,Sayang.” aku merasa bersalah padanya. Aku membiarkan diriku bersama pria itu tiap malam justru disaat adikku sangat membutuhkanku disisinya. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku sangat menginginkan kesembuhan Putri.
“Harusnya Putri nggak sakit gini, ya,Kak? Kakak jadi mesti kerja sampai begini, pasti Kak Nessa capek,” hatiku serasa diremas mendengarnya bicara begini.
“Siapa juga yang mau sakit? Putri nggak boleh mikir macem-macem. Putri cuma harus minum obat Putri rajin-rajin dan istirahat yang banyak. Kamu nggak usah mikirin Kakak. Kakak ‘kan udah gede, Kakak kuat. Kerja begini sih, nggak bakal bikin Kakak capek.” Putri mengeratkan pelukan lengannya di pinggangku, kucium kepalanya yang rambutnya mulai merontok.
“Putri bakal rajin minum obat biar cepat sembuh. Biar Kak Nessa bisa tidur sama Putri lagi.” Seandainya pria itu memutuskan untuk mengambil haknya dariku, tugasku pasti sudah berakhir. Aku tidak perlu lagi ke apartemennya. Hanya, uang tambahan darinya tiap malam tidak akan kudapatkan lagi. Jumlah yang kuterima darinya cukup banyak dan aku sangat mensyukurinya. Sangat tidak sebanding dengan tugas yang kulakukan. Aku sama sekali tidak melakukan apa-apa selain menemaninya
***
Aku teringat ucapan Putri tadi siang. Sekarang aku malah disini lagi, merasa hangat dalam pelukan pria yang sedang lelap dalam tidurnya. Aku tentu masih merasa bersalah pada adikku itu. Tangan ini harusnya memeluk tubuh mungil Putri bukannya memeluk pinggang berototnya. Hidung ini, seharusnya mencium kepala Putri, bukannya mencium aroma maskulin dari tubuh pria ini. Tapi beginilah yang kulakukan tiap malam dan aku menemukan diriku mulai terbiasa dengan situasi ini. Dia benar-benar pria pertama yang kubiarkan seintim ini denganku. Bukannya aku sama sekali tidak pernah berhubungan dengan pria. Ada beberapa pria yang pernah dekat denganku dan mereka pergi hanya sesaat sesudah sedikit mengenalku. Rata-rata dari mereka meninggalkanku karena aku terlalu diam dan juga cuek saat bersama dengan mereka. Aku lebih mementingkan adik-adik dan pekerjaanku daripada mereka. Berbeda dengan hubunganku dan pria ini. Kami memang tidak mengenal satu sama lain. Aku tidak tahu siapa dirinya bahkan namanya. Begitupun dia padaku. Kurasa kami cukup merasa nyaman tanpa mengetahui jati diri masing-masing. Karena hubungan ini akan berakhir sewaktu-waktu, disaat dia memutuskan untuk mengakhirinya. Aku cukup menjalani saja yang terjadi saat ini diantara kami. Termasuk keintimanku dengannya. Ini adalah bagian dari tugasku saat bersamanya.
Tapi kenapa tubuhku merasakan sesuatu yang lain saat dekat dengannya begini? Apa yang salah dengan tubuhku?
Pelan-pelan kulepaskan lengan kuat yang mengikat tubuhku. Aku harus bernafas karena detak jantung yang berdetak dengan kencang ini terasa menyesakkan bagiku. Kenapa aku justru merasakannya saat bersama pria ini? Hei!? Sejak kapan aku merasakannya?
“Mau kemana?” gumamnya dengan mata masih tertutup saat merasakan tangannya kulepas dariku.
“Aku haus,” jawabku beralasan. Kusapu peluh yang tanpa kusadari keluar dari keningku. Dia bangun dari tidurnya dan malah melepas kaos yang dia pakai. Aku masih belum bisa mengendalikan detak jantungku. Kuremas rok yang kukenakan tanpa sadar.
“Malam ini udaranya panas, tolong ambilkan untukku juga,” dengan cepat aku keluar dari balik selimut dan mengambil air dari dalam kulkas dipojok kamar. Cuma ada satu botol air mineral yang tersisa disana, sisanya kaleng-kaleng bir yang tersusun hampir memenuhi isi kulkas.
“Aku akan keluar untuk mengambil air putih untukku sendiri. Kamu minum yang ini aja dulu,” dia menahan tanganku waktu aku mau berbalik.
“Kita bisa berbagi?” dia membuka botol air mineral itu dan meneguk isinya hingga sisa setengah dan menyerahkannya untukku. Kuambil dan dengan ragu meminum sisanya. Dia mengambil lagi sesudah aku selesai meneguknya dan menghabiskan isinya yang tersisa sampai habis.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya. Kupicingkan mataku mencoba melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam didinding.
“Jam 3. Tidurlah, nanti subuh kubangunkan,” kuraih buku yang sengaja kutaruh di nakas. Mungkin membaca akan membuatku merasa lebih baik.
“Aku mesti berangkat jam setengah enam, kalau tidur sekarang takut pas bangun malah pusing,” kuambilkan remote televisi yang ada tak jauh dariku.
“Nonton TV?” tawarku padanya. Dia mengambilnya dariku dan menekan tombol power. Aku sangat jarang menonton TV selama ini. Apalagi ditengah malam begini, hampir tidak pernah sama sekali.
“Taruh buku itu dan kemarilah,” pintanya, menepuk kasur disampingnya. Kutelusupkan kakiku dibalik selimut dan bergabung bersamanya.
“Sepertinya hanya acara ini yang menarik,” dia benar. Hanya ada acara reality show yang menampilkan keusilan beberapa orang yang menjahili orang-orang dipinggir jalan. Dia terbahak disebelahku, sedangkan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa pria sesempurna dia lebih memilih membayar wanita untuk menemaninya ketimbang mengencani wanita manapun yang dia mau. Aku yakin banyak wanita diluar sana yang menunggu untuk bisa bersamanya. Mereka pasti bersedia melakukan apapun untuk mendapatkan kesempatan itu. Apa yang dia cari sebenarnya? Aku yakin dia bukan jenis pria berhidung belang yang akan menerkam wanita manapun yang berada didekatnya. Apalagi perawan sepertiku. Dia sudah membayarku dan seharusnya diawal pertemuan kami, dia sudah mengambilnya dariku.
“Apa yang kamu pikirkan? Acara ini kurang menarik untukmu?” tanyanya padaku.
“Lumayan,” sahutku. Dia memandangiku lama, membuat aku merasa risih.
“Apa kamu merasa cukup nyaman dengan tugas kamu ini?” kali ini mata hitamnya menelusuri setiap inci wajahku. “Cukup nyaman dan aku mulai terbiasa,” kali ini jari panjangnya yang menggantikan mata hitam itu. Wajahnya masih tetap tanpa ekspresi saat dia memandangiku. Hanya jarinya yang membelai wajahku dengan lembut, membuatku merasa yakin bahwa dia tidak akan menyakitiku.
“Apa kamu pernah berfikir untuk menyudahi ini dan mengharapkan aku mengambil apa yang sudah kubayar darimu?” kugelengkan kepalaku ragu.
“Kenapa? Kamu mulai menyukainya?” sekali lagi kugelengkan kepalaku, sekaligus berusaha mengalihkan jemarinya yang berhenti di bibirku.
“Aku hanya menyukai jumlah bayaran yang kamu berikan padaku,” ada kilat kemarahan sekilas yang bisa kulihat dimatanya, namun langsung hilang bersamaan dengan senyum sinis yang muncul dari bibirnya. Setelah beberapa saat memandangku dengan tajam, dia menarikku dan menggunakan bibirnya untuk menggantikan jarinya yang tadinya berada di bibirku. Aku sama sekali tidak membalas ciumannya dan dia juga tidak peduli. Dia tetap menyapu bibirku dengan bibir hangatnya. Aku hampir menemukan diriku hanyut dengan apa yang yang dia lakukan padaku, membuat nafasku memburu dengan detak jantung yang kian berdetak semakin kencang. Dia jelas adalah pemain cinta yang berpengalaman dengan keahlian menciumnya ini. Dia memperlakukanku dengan lembut sampai aku mulai membiarkan diriku mengukuti permainannya, sebelum dia berhenti. Dia menyapu ujung bibirnya sambil tersenyum miring padaku. Aku mengerti maksud senyumannya itu. Jelas dia berhasil membalas kata-kata yang kuucapkan sebelumnya.
“Aku akan membayar lebih untuk apa yang kulakukan diluar dari tugasmu. Termasuk ciuman barusan.”
Aku harus bertahan untuk melindungi muka maluku karena kejadian beberapa detik yang lalu.
***
Ini adalah kali ketiga Putri menjalani kemoterapinya, kali ini kondisinya cukup lemah sesudah menjalani proses tersebut. Aku sama sekali tidak tega meninggalkannya. Karena kondisinya yang tiba-tiba memburuk, dokter menyarankan untuk dia tetap tinggal dirumah sakit. Aku harus meminta izin untuk libur kerja hari ini supaya aku bisa terus menjaganya sampai keadaannya membaik dan cukup stabil. Aku juga sepertinya harus mengambil libur untuk menemani pria itu. Tapi bagaimana caranya aku meminta izin padanya? Nama, nomor telepon juga kantornya saja aku tidak tahu. Ya sudahlah, dia juga tidak akan rugi apa-apa ‘kan kalau aku libur beberapa hari ini.
Kurapikan topi yang menutup kepala Putri yang kini sudah bersih dari helaian rambut. Dia masih tertidur setelah meminum obatnya. Makin hari tubuhnya makin kurus. Dia akhir-akhir ini jadi susah sekali makan. Apalagi sesudah menjalani proses kemo, dia pasti akan memutahkan habis isi perutnya. Apa lagi yang harus kulakukan, Tuhan, supaya bisa membuat adikku ini sembuh? Seandainya aku bisa menggantikan dia merasakan sakit ini, aku rela.
“Devi jagain Putri sebentar, ya. Kakak mau pulang kerumah dulu, mau ambil baju ganti,” aku langsung membawa Putri ke rumah sakit tadi pagi dan masih belum sempat membawa pakaian ganti untuk kami.
“Sekalian beliin roti ya, Kak, siapa tahu waktu bangun nanti Putri mau makan,” kuambil tasku dan bergegas untuk pulang. Aku tak mau lama-lama meninggalkan Putri.Dari halte aku masih harus berjalan sekitar sepuluh menit untuk sampai di rumah kontrakan sederhana kami. Jalanan yang kulewati sempit dan becek juga kawasan sekitarnya cukup kumuh untuk ukuran kota sebesar ini. Hanya kontrakan ini yang mampu aku bayar dengan jumlah gajiku selama ini. Sebenarnya aku cukup risih tiap melewati jalanan sekitar rumah karena para tetangga yang kurang bersahabat denganku. Entah itu hanya perasaanku saja atau mereka memang bersikap sinis padaku. Bukannya memuji diri sendiri, aku memang sering dilirik oleh para lelaki dilingkungan ini, termasuk para suami ibu-ibu yang tiap hari berkumpul di tukang sayur yang mangkal tak jauh dari rumah kontrakanku. Dilingkungan ini rata-rata para wanitanya sudah berkeluarga, karena itu aku termasuk bujangan incaran disini. Aku berusaha untuk tidak menghiraukan mereka, karena aku terlalu sibuk untuk hal itu.
“Makanya, Bu, kita harus hati-hati jaga anak gadis jaman sekarang. Salah-salah pergaulan, takutnya nanti jadi wanita nggak bener,” kuhentikan langkahku mendengar suara sumbang itu. Wajarlah kalau mereka bicara begitu. Obrolan biasa antar ibu-ibu.
“Iya juga sih. Pergaulan mereka harus dijaga, nggak boleh bergaul sama sembarang orang. Kita harus tahu latar belakang keluarganya juga. Soalnya penampilan bisa menipu,” kulemparkan senyumku pada mereka sambil melanjutkan langkahku.
“Yang kelihatannya baik aja ternyata busuk juga. Kita harus hati-hati banget, Bu, di lingkungan kita ini juga katanya ada wanita begitu,” aku kenal suara ini. Dia tetangga sebelahku yang tiap pagi suka memutar musik dangdut dengan nyaring dan cukup mengganggu.
“Masa sih?”
“Nggak percaya? Coba aja pagi-pagi periksa di halte, pasti kalian percaya. Dia sering diturunin disana sama om-om bermobil mewah,” walau mencoba berpositif thinking, ini jelas-jelas tentang diriku. Aku memang pernah sekali bertemu Bu Iin waktu itu. Bagaimana mungkin dia bisa mengambil kesimpulan secepat itu sementara aku cuma sekali bertemu dengannya saat turun dari mobil pria itu. Dia tidak mungkin bisa melihat siapa yang bersamaku karena kaca mobil yang kutumpangi gelap dan jelas-jelas pria itu bukan om-om seperti yang dia bilang. Aku memang wanita bayaran ataupun panggilan seperti yang dia bilang, tapi kurang pantas rasanya aku diperlakukan seperti ini olehnya. Aku tidak pernah menyulitkan siapapun dan tidak pernah mengusik kehidupan pribadi mereka. Sekarang, aku harus menerima perlakuan tak adil ini? Apa salahku pada mereka?
“Berarti bukan hanya anak gadis, dong, yang dijaga? Laki-laki kita juga harus dijaga, ya. Supaya nggak digoda sama wajah cantiknya itu?” hanya itu yang sempat kudengar saat dengan cepat aku masuk rumah. Telingaku rasanya panas. Aku merasa marah, sedih dan sakit hati pada mereka. Seburuk inikah aku di mata mereka? Nafasku terasa sesak karena menahan semua perasaan ini. Selalu begini, aku tidak pernah bisa meluapkan perasaanku. Aku hanya bisa diam menahan semuanya. Inilah aku, terus menjadikan diam sebagai pelindungku. Dengan diam, tidak ada yang bisa menyakitiku lebih jauh karena mereka pasti akan berhenti saat mereka sudah bosan. Mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan, yaitu perlawanan dariku. Aku harus terus bertahan dengan semua ini, aku hanya harus fokus pada kesembuhan Putri dan menahan apapun yang membuatku merasa tersakiti.Kuganti rok yang sudah kukenakan dari kemarin malam dengan rok selutut dan kaos biruku dengan kemeja lengan pendek. Kuambil beberapa pakaian ganti untuk Putri dan diriku sendiri serta beberapa perlengkapan untuk menginap di rumah sakitnya. Kuhampiri lemari berpintu kaca dan mengambil kotak kayu hitam tempat aku menyimpan uang dari pria itu. Masih ada cukup banyak jumlah uang disana yang bisa kupakai untuk jaga-jaga siapa tau perawatan Putri membutuhkan biaya lebih diluar dari uang yang masih ada direkeningku. Hari ini pria itu memberikan dua kali lipat dari yang biasa kuterima darinya. Dengan getir kupandangi pantulan wajahku di cermin dan memegang bibirku. Sejumlah inikah harga bibir dan tubuhku?
Para ibu-ibu itu mungkin masih ada di depan saat aku keluar nanti. Terserahlah mereka mau berkata apa, yang penting aku bisa secepatnya sampai di rumah sakit. Dengan mantap kubuka pintu depan dan benar mereka masih disana. Aku masih bisa melihat tatapan sinis dari mereka saat aku berjalan melewati mereka. Masih juga kudengar mereka mengeluarkan bisik-bisik untuk membicarakanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...