Bab 19

27.7K 1.9K 2
                                        

Nino POV

Kondisi Dara sudah jauh lebih baik sekarang. Dia sadar dari tidur panjangnya kemarin. Aku jauh merasa lega dan perlu pulang sekarang. Mereka benar-benar kembali. Wajahnya sangat bersinar waktu Zevan mencoba melamarnya, menyadarkanku bahwa aku harus benar-benar berhenti dan menguatkan tekadku untuk kembali berusaha mengikis wajahnya yang masih terukir dalam hatiku.

Cukup sampai disini aku berkompromi dengan hatiku.  Mulai sekarang aku harus menjadi lebih tangguh untuk melepas dan menghilangkannya dari hatiku. Aku yakin waktu akan menjadi jalan keluar bagiku.

"Lo yakin mau kasih dia boneka?" protesku waktu Alan mengarahkan mobilnya ke toko boneka. Dengan penuh semangat dan tanpa berniat menjawab pertanyaanku dia langsung melesat kedalam begitu kami sampai disana.

"Lo ngga papa kan?" Andra menarikku ke lorong yang sedikit sepi. Aku tau maksud pertanyaannya.

"Gue bisa."

"Pasti menyakitkan dan lo kuat." dia merangkulku dengan seerat mungkin, memberiku semangat. Aku ngga perlu berusaha terlihat kuat didepannya dan aku ngga perlu simpati yang berlebihan darinya. Seorang Nino tetap akan berdiri diatas kakinya sendiri walau harus badai yang menerpanya tidak mudah untuk dihadapi.

"Gue kuat karena melihat kebahagiaan mereka." memang seperti ini seharusnya. Aku harus tangguh untuk mereka.

Alan datang sambil menenteng boneka kucing berukuran super besar pada kami. Dia nampak tersengal,

"Gue dapetin ini boneka dengan penuh perjuangan." mata sipitnya makin menghilang karena senyum licik yang dia keluarkan.

"Tangan lo kenapa tuh?" Andra menunjuk lengan Alan yang terlihat merah bekas cakaran.

"Dicakar sama itu anak gue." tunjuknya pada anak SMA yang memandang kami sambil menunjuk Alan. Nampaknya mereka memang beneran habis perang tadi.

"Lo kayak orang abis kalah perang. Lo mau kita pulang dulu sebelum ke rumah sakit?" kemeja berantakan dengan kancing yang terlepas ditambah muka kusutnya bikin Alan benar-benar terlihat kacau sangat jauh dari dia yang biasanya klimis.

"Langsung aja deh. Gue masih harus kerja," justru Andra yang menolak. Dia memang sempat menolak waktu diajak oleh Alan tadi, katanya dia bisa pergi sendiri. Tapi bukan Alan namanya kalo dia ngga bisa membujuk Andra dengan jurus muka memelasnya.

Kami segera meluncur ke rumah sakit untuk mengunjungi Dara sekali lagi setelah dia sadar dari komanya.

***

Kosong. Aku ngga bisa menemukan keberadaannya. Seharusnya dia ada disini sekarang. Apa yang ada dipikirannya? Kenapa dia kembali menghilang? Atau dia ada keperluan hari ini sampai dia ngga bisa kemari?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul terus dikepalaku sejak aku kembali pulang kerumah. 3 hari adalah waktu yang cukup bagiku untuk berfikiran positif untuknya. Hari keempat, jangan harap aku akan bersabar seperti dulu. Aku baru akan mengarahkan kemudi mobilku menuju departement store tempat butiknya berada sebelum ponselku berdering dan nama Zevan tertulis disana.

"Gue bisa minta lo mampir ke kantor sekarang? Ada sesuatu yang penting mau gue bicarain sama kalian." mau apa lagi orang ini?

Kuputar setirku kearah berlawanan menuju butik. Aku mampir sebentar ke tempat Zevan. Semoga kami bisa membicarakannya dengan cepat. Waktuku sangat berharga sekarang.

Andra dan Alan sudah tiba waktu aku tiba disana. Wajah mereka ternyata ngga kalah kusutnya denganku.

"Kalo kami menolak?" protesku langsung. Bukan Zevan namanya kalo ngga hobi merepotkan orang lain. Apalagi dia mengancamku akan mencabut kerjasama kami. Dasar sialan.

Kami cukup kaget mendengar permintaannya. Dia mau kami membantunya menyiapkan pernihakan kejutan untuk Dara. Dia sudah menyusun pembagian tugas untuk kami bertiga dan aku kebagian mencari pengisi acara pada hari itu. Aku memang memiliki beberapa kenalan agensi artis dan band papan atas. Bukan hal sulit untuk menghubungi mereka. Aku akan membantunya. Dengan amat sangat ikhlas untuk kebahagiaan mereka.

Sakit memang masih terasa. Tapi aku sudah mulai bisa mengendalikannya.

Zevan mengerahkan keluarganya juga. Kami berkumpul untuk membahas apa saja yang perlu kami siapkan terlebih dahulu. Mereka sangat bersemangat untuk acara kejutan ini. Apa aku bakalan bisa menemukan seseorang yang akan kucintai sebesar cinta yang kulihat dalam mata sahabat didepanku ini?

***

"Bisa saya bertemu Nessa?" tanyaku langsung pada pegawai yang dulu juga pernah kutemui disini. Dia langsung menyambutku didepan pintu masuk butik. Sekarang aku ngga perlu berbohong padanya lagi. Dia pasti tau aku kemari memang mencarinya.

"Kak Nessa udah ngga kerja disini lagi. Mas apanya Kak Nessa sih? Masa mau minta dipilihin gaun lagi?" dia bilang dia sudah berhenti?

"Anggap saja saya pernah bertemu dengannya." dia memandangku dengan pandangan menyelidik.

"Kak Nessa dipecat. Saya juga ngga tau keberadaan dia sekarang. Padahal saya masih pengen banget dia kerja disini. Saya yakin dia ngga salah. Mereka bodoh. Cuma percaya apa yang mereka liat." dia marah dan kali ini pandagannya mengarah pada seorang pria yang baru keluar dari dalam butik dan berjalan menuju kami.

"Pak Arga," ucap Rima, namanya yang sekarang baru kuingat, berusaha sesopan mungkin. Aku tau dia pura-pura karena dia melirik padaku masih dengan ekspresi marahnya. Pria inikah yang disebut oleh dia dalam mimpinya?

"Kenapa malah berdiri disini? Rima, bawa pelanggan kita masuk." pria ini terlihat baik-baik. Bukan terlihat seperti tipe pria yang suka melakukan tindak kekerasan.

"Saya hanya mencari seseorang disini. Sepertinya saya harus kembali karena dia sudah tidak disini," percuma aku kemari. Dia juga sudah nggak disini. Tanpa perlu berbasa basi lagi, aku berbalik dan melangkah pergi dari sana.

"Tunggu!!!" aku berbalik dan terlihat Rima mengejarku. Nafasnya masih memburu waktu dia menyerahkan secarik kertas ketanganku.

"Tolong temukan dia untuk saya. Kak Nessa udah kayak kakak sendiri bagi kami disini. Saya cuma tau ini untuk menghubunginya." sebuah nomor telepon.

"Nomornya masih aktif. Cuman beberapa kali dihubungi ngga pernah diangkat." untuk apa Rima memberiku kalo memang dia ngga akan mengangkat telpon yang masuk untuknya?

"Siapa tau dia mau mengangkat bila mas yang menghubungi"

"Kamu hanya mengetahui satu nomor ini?" dia mengangguk. Apa wanita yang bernama Nessa ini sangat menutup rapat dirinya sampai teman sekerjanyapun ngga tau apa-apa mengenai dirinya.

"Kak Nessa ngga pernah ngebiarin siapapun tau mengenai kehidupannya. Kami cuma tau dia punya dua adik dan yang satu sedang sakit."
"Terima kasih" memang hanya ini yang mampu keluar dari bibirku. Harapanku sama besarnya seperti Rima berharap dia kembali. Kemana lagi aku harus mencarinya. Semakin aku mengetahui info tentang dia, semakin aku ingin masuk dalam kehidupannya lebih dalam. Entah kenapa.

BIRU  (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang