Aku merasa tolol dengan tindakanku kemarin. Seharusnya aku ngga pergi ke butik itu dan mencari informasi tentang dia. Semuanya sia-sia. Aku hanya terlihat bodoh karena membiarkan pikiran-pikiran buruk mengenainya menguasai otakku. Sekarang siapa yang kulihat berdiri didepanku? Dia berdiri membelakangiku dan sama sekali ngga menyadariku yang hanya berjarak satu meter lebih darinya, dia bahkan hanya mengatakan "sorry" pada orang yang terkena cipratan air dari rambut panjangnya. Dia memang benar kerja di butik itu, aku masih bisa mengenali seragam yang dia pakai sekarang. Benarkah namanya Nessa?
Dengan sengaja kulangkahkan kakiku dengan pelan, membiarkannya yang setengah berlari mendahuluiku sampai di unitku.
Benar seperti dugaanku sebelumnya. Dia buru-buru karena ngga mau sama sekali membiarkanku memergokinya yang datang masih dengan memakai seragamnya dari pekerjaannya yang lain.
"Kupikir kamu sudah punya pelanggan lain." sindirku berharap bisa melihat ekspresi wajahnya kali ini.
"Kamu pikir kamu bisa seenaknya menghilang dan kembali begini?" mukanya benar-benar datar. Dia hanya mengucapkan kata maaf seperti yang biasa dia lakukan.
"Hubungan ini memang bukan jenis hubungan yang bisa diharapkan." tadinya aku memang sangat mengharapkan dia tetap menungguku disini. Dia ngga akan tau betapa aku memerlukannya dia ada disini.Lebih baik aku mandi dan menyegarkan diriku sekarang. Beberapa hari ini memang aku hampir lupa rasanya bersantai dan merilekskan tubuhku. Aku memang kembali dari rumah orang tuaku, tapi bukannya aku lantas bersenang-senang dan santai disana. Aku lebih hanya menghabiskan waktu menemani Giana yang selalu berusaha membawaku kemana-mana, berusaha menunjukkan pada teman-temannya bahwa kakaknya yang sudah lama merantau akhirnya kembali. Rasanya lelah luar biasa.
Begitu membuka pintu kamar mandi, uap hangat dari bathtub langsung menyambutku disertai aroma dari busa mandi favoritku. Sayang, bukannya santai, aku harus merelakan tubuhku jatuh kelantai licin dan berujung membuat pergelangan tanganku terkilir.
Kembali kata-kata itu keluar dari mulutnya. Apa hanya itu yang bisa dia lakukan? Maaf dan maaf. Aku benci terus mendengar kata itu keluar dari bibirnya. Tanpa menunggu aku memuntahkan kemarahanku berikutnya, dia berlari keluar dari kamar mandi dan kembali dengan peralatannya ditangan.
Aku menolak waktu dia mau membalutkan perban ke tanganku. Aku merasa lebih nyaman dengan kompres. Sepertinya terkilirnya ngga parah, dua atau tiga hari juga sembuh. Dia masih diam ditempatnya sambil masih memandangiku dengan muka khawatirnya itu. Aku bukan anak kecil yang harus kamu khawatirkan hanya karena terkilir begini. Aku masih bisa melakukan apapun dengan tangan begini. Pikiran itu sempat menguasai otakku sebelum rasa sakit yang menyengat pergelangan tanganku waktu aku berniat mencukur rambut halus yang mulai membuat wajahku nampak 5 tahun lebih tua dari umurku sekarang. Mungkin aku harus membiarkan dia membantuku kali ini.
Jemari lentiknya terasa lembut waktu dia mengoleskan krim dan membelai wajahku dengan pisau cukur. Aku bisa jelas melihat ke dalam mata beningnya. Aku seperti melihat danau teduh yang dalam waktu memandangnya. Terasa damai juga penuh misteri, seakan bisa menenggelamkankanku bila aku terus mencoba menyelaminya. Ada perasaan asing namun terasa sangat nyata waktu aku terus mencoba melihat seberapa dalam aku bisa menatapnya.
"Kamu berkeringat" aku tau dia risih dengan jarak kami yang terlalu dekat ini. Dengan sengaja kuusap keringat yang keluar dari pelipisnya supaya aku tau apa reaksinya selanjutnya. Seharusnya aku ngga melakukan ini, tapi aku terlalu tergoda untuk melihat dia berekspresi, sesuatu yang sangat jarang dia lakukan.
Bibirnya terlihat merah dan basah waktu dia menepukkan aftershave dengan lembut kemukaku. Aku begitu tergoda untuk menariknya dan mengecup bibir itu. Apa dia akan bereaksi kali ini setelah sebelumnya aku gagal?
"Sepertinya lagi-lagi aku harus membayarmu lebih hari ini," bisikku sedetik sebelum aku benar-benar menciumnya. Kusapu bibir itu, kali ini dengan benar-benar lembut. Aku penasaran bagaimana rasa bibir ini sebenarnya. Sebelumnya aku menciumnya dengan kasar tanpa memberikan diriku kesempatan untuk menikmatinya. Kali ini aku memilih untuk menikmati, toh aku juga akan membayarnya. Terserah apa yang akan kulakukan padanya kali ini. "Aku mau kamu menikmati permainan kita kali ini," bisikku ditelinganya sekali lagi sebelum kembali melumat bibirnya. Kali ini dengan sedikit lebih cepat. Aku tau dia mulai bisa mengimbangi permainan bibirku karena aku bisa merasakan ada gerakan disana waktu aku membelainya dengan lidahku. Aku juga bisa merasakan desahannya waktu kukecup leher jenjangnya. Aku sendiri mulai merasa tubuhku bereaksi diluar kendaliku. Aku mulai mendesaknya diantara tubuhku dan wastafel. Tubuhnya juga bereaksi diluar kendalinya, aku tau jelas hal itu. Tanpa sadar dia benar-benar mengiringi sentuhanku ditubuhnya. Aroma lembut dari tubuh juga rambutnya membuat nafasku tercekat karena menahan hasratku yang semakin aku menyentuhnya, semakin aku hampir menyerah untuk menahannya. Aku memang harus melampiaskan padanya, tapi bukan sekarang saatnya. Aku masih memerlukannya untuk menjadi tameng bagiku yang harus terus kupakai untuk melindungiku dari Dara. Perasaanku padanya masih belum bisa kuhilangkan sepenuhnya. Bahkan berkurangpun kurasa hanya setitik.
Dengan nafas yang masih memburu, kupaksa diriku melepasnya dariku. Wajahnya merah dan bersemu. Aku tahu dia tak akan menolak bila aku melakukannya sekarang. Aku bisa melihatnya jelas dari wajah dan tubuhnya yang meremang karena gairah yang sama seperti milikku. Keintiman malam ini cukup sampai disini saja.
***
Dia masih tidur waktu aku bangun dan menyiapkan sarapan. Rutinitas pagi yang hampir selalu kulakukan. Karena terbiasa hidup sendiri, aku biasa melakukan semuanya sendiri tanpa mengharapkan pekerja rumah tangga yang ngga pernah betah kerja bersamaku. Mereka pasti mengeluhkan sifatku yang kelewat perfeksionis.
Gue udah menyelesaikan masalah gue sama Dara. Kita harus merayakannya.
Kupandangi pesan dari Zevan dengan kecewa sekaligus lega. Dia mengambil keputusan yang tepat. Aku memang kecewa karena dia akhirnya menyadari perasaannya dan memutuskan untuk bersama. Tapi mereka adalah orang-orang terpenting bagiku, aku lega mereka akhirnya bisa bahagia setelah semua yang mereka lalui selama ini. Hanya saja mungkin aku belum bisa sepenuhnya mendamaikan hatiku sendiri. Ada baiknya sementara ini aku menghindar dulu dari Zevan. Ketika hatiku sudah siap nanti, baru aku akan memberikan selamat pada mereka berdua. Semoga aku bisa bertemu hari itu secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...