Aku benar-benar libur bekerja selama beberapa hari ini. Beruntung aku bisa mengambil cuti tahunanku di butik. Aku akan menghabiskan waktuku untuk merawat Putri.
“Kak Nessa, Devi lapar. Kakak mau titip apa?” aku juga lapar. Mungkin aku bisa minta dibelikan sup iga sama Devi. Hujan baru berhenti dan udara masih sangat dingin.
“Biar Kakak aja yang pergi. Kamu disini aja temani Putri,” sebaiknya biar aku yang pergi. Aku tidak berani membiarkan Devi pergi sendirian malam-malam begini. Apalagi hari sudah semakin larut.
“Putri mau Kakak beliin apa?” Putri sudah sedikit lebih baik kondisinya sekarang.
“Putri mau makan cake cokelat,” aku tersenyum mendengar permintaannya. Aku besyukur dia sudah mulai bersemangat lagi dan sudah mulai mau makan.
“Devi juga mau, ya,Kak,” pinta Devi juga. Adik-adikku ini memang sangat manja padaku.
“Ya udah. Kakak berangkat dulu, ya.”
***Aroma hangat kayu manis langsung tercium olehku waktu baru melangkah memasuki bakery langgananku. Kulihat tempat biasanya cake cokelat kesukaan Putri diletakkan kosong. Apa mereka tidak membuatnya hari ini?
“Cake cokelat yang biasa mana,Mba?” tanyaku pada pelayan yang baru keluar dari pintu dapur sambil membawa senampan roti yang masih hangat.
“Kita baru kehabisan. Kalo Mba mau nunggu, mungkin kurang dari satu jam lagi cakenya matang.” Satu jam? Putri pasti kecewa kalo aku pulang tanpa membawa cake pesanannya.
“Ya udah, saya tunggu aja.” Aku mengambil duduk dekat jendela sambil melihat lalu lalang orang di luar sana. Aku memesan segelas hot chocolate dan sepotong lemon cake roll.
Ada sepasang remaja yang duduk tak jauh dariku. Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan mereka.
“Film yang kita tonton kemarin, aku mau nonton sekali lagi. Boleh?” tanya si cewek pada cowoknya yang dengan sayang mengusap-usap rambut panjang kekasihnya.
“Ya udah, besok abis pulang kampus kita nonton lagi.” Kumasukkan sepotong lemon cakeku ke dalam mulut sambil terus mengamati mereka. Dulu aku sempat merasakan yang cewek itu rasakan walau cuma sebentar. Tepatnya pada saat aku masih SMA. Aku mengenalnya saat mengikuti festival kesenian di gedung kesenian dan berkenalan dengan dia yang merupakan ketua OSIS disekolahnya. Kami sama-sama menjadi pengisi acara saat itu. Aku bertugas memainkan piano dan bernyanyi, sedangkan dia mengiringi penampilanku dengan gitar akustiknya. Perkenalan kami berlanjut dengan janjian untuk ketemu setiap hari rabu sepulang sekolah. Dia menungguku di depan sekolahnya yang memang selalu kulewati tiap hari. Hubungan singkat kami selama 5 bulan itu setidaknya cukup jadi pengalaman manis bagiku. Dengan alasan mau melanjutkan kuliah diluar kota, dia bilang hubungan kami tidak bisa diteruskan. Aku bisa terima keputusannya itu tanpa pernah bertanya mengapa hanya itu alasan dia pergi dariku.
“Mba, ini pesanannya sudah selesai.” Bau harum cake coklat pesananku mengembalikan pikiranku dari bayangan masa lalu yang sudah lama kukubur itu.
“Makasih, ya,” setelah menghabiskan minuman dan makananku, aku segera bergegas keluar menuju warung yang menjual sup iga kesukaanku.
***
Pasti ini adalah sebuah kebetulan yang sebetulnya tidak pernah kuharapkan. Aku melihat dia berdiri disana. Dengan wajah menawannya yang kini makin terlihat lebih dewasa. Apa dia sudah pulang ke kota ini atau hanya liburan? Belum ada satu jam aku ingat dia di bakery baru saja, sekarang dia benar-benar ada di depanku.
“Vanessa,” dia mendekat. Parfum yang dia pakai masih sama dengan 11 tahun yang lalu dan dia masih mengenaliku.
“Arga. Kamu,” balasku tertahan dengan kehadiran wanita yang berjalan di belakangnya. Tentu saja dia sudah punya wanita lain selama 11 tahun ini.
“Kamu apa kabar?” dia mengulurkan tangannya padaku yang kusambut dengan ragu waktu wanita yang kini berada disebelahnya memandangku dengan tatapan menyelidik.
“Baik.” dengan cepat kutarik tanganku dari genggamannya.
“Siapa dia, Ga?” tanya wanita yang menurutku sangat cocok untuk Arga. Mereka dari kalangan yang sama dan mereka sepadan.
“Kenalin, dia Vanessa. Teman semasa SMA dulu,” teman. Memang hanya sebatas itu aku bagi dia.
“Aku Carisa, tunangan Arga.” Wajah menyelidik yang tadi dia perlihatkan padaku kini berganti wajah ramah yang makin menambah kecantikannya, membuat aku merasa makin menciut berdiri bersama mereka. Aku merasa kurang pantas berdiri diantara mereka.
“Sayang, aku mau ke toilet, ya.” Carisa menitipkan tasnya pada Arga dan meninggalkan kami berdua.
“Aku balik kesini sejak tahun yang lalu, Nes,” dia tidak perlu mengatakan hal itu padaku, toh aku juga tidak akan mengharap kehadiran dia lagi didepanku seperti saat ini.
“Kamu masih tetap kayak dulu. Aku kangen sama kamu.”
“Sudah 11 tahun, Arga. Seharusnya kamu lupa sama yang namanya Vanessa,” ucapku berusaha bergurau dengannya.
“Mana mungkin aku bisa lupa sama kamu. Kamu adalah ingatan berharga yang nggak mungkin hilang dariku.” Tapi kamu pergi begitu saja tanpa sempat memberi alasan yang lebih masuk akal untukku, Arga. Hanya kata pisah untukku.
“Kamu masih ingat tempat ini?” aku berusaha tidak mendengar kata-katanya barusan.
“Iyalah. Kan cuma disini yang jual sup iga paling enak.” Tempat ini adalah tempat yang paling sering kami kunjungi waktu masih dekat dulu. Aku ingat jelas dan tidak menyangka dia juga masih ingat.
“Aku duluan ya, Ga,” pelayan mengantar bungkusan sup pesananku.
“Aku masih pingin ngobrol sama kamu. Boleh?” sekali lagi kutarik dengan pelan tanganku yang dia genggam dan hanya tersenyum padanya sebelum berjalan dengan cepat meninggalkannya.
***
Pikiranku pasti sedang kacau akibat pertemuanku dengan Arga semalam. Kenapa dia harus hadir lagi sekarang? Kenapa sikapnya masih semanis dulu? Aku harusnya tidak terganggu dengan kehadirannya sekarang.
Aku baru tersadar waktu sudah berdiri didepan pintu bernomor 1506 yang sudah beberapa hari tidak kukunjungi. Kakiku melangkah kemari tanpa kusadari. Aku perlu tempat untuk mengalihkan pikiranku dari Arga. Siapa tahu pria itu ada di dalam sekarang.
Harapanku lenyap begitu melihat ruangan sepi yang ada didepanku. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya disini. Rupanya dia masih belum kembali.
Ruangan bernuansa laut ini masih serapi sejak terakhir aku kemari. Seharusnya aku datang tiap hari kemari untuk menunggunya. Dia pasti berpikir aku kabur dari perjanjian kami. Malam ini sebaiknya kutunggu dia sebentar.
Aroma khas ruangan ini sangat menenangkan. Entah jenis pengharum ruangan seperti apa yang dia pakai, aku sangat menyukainya. Kurebahkan badanku, seperti yang biasa kulakukan bila sedang menunggunya pulang. Niatku kemari untuk mengalihkan pikiran dari pertemuanku dengan Arga malah membuatku makin memikirkannya. Dia masih seperti Arga yang kukenal dulu.
Dia masih mengingatku justru disaat aku hampir berhasil melupakan dia sepenuhnya. Dia bilang masih mau bicara denganku saat sudah tak ada lagi yang harus dibicarakan. Carisa. Wanita itu begitu pantas berdiri disamping Arga. Mereka seperti diciptakan berdampingan. Mungkin perbedaan kami dulu begitu mencolok hingga Arga memutuskan untuk mundur dariku. Aku harus meyakinkan diriku untuk tidak akan membiarkan Arga kembali mengusik hidup nyamanku lagi. Aku harus mampu untuk itu. Saat ini aku justru memerlukan pria yang seharusnya kutemani disini. Dimana dia sekarang?
***
![](https://img.wattpad.com/cover/31263041-288-k451122.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...