NinoDisinilah aku berada sekarang. Kembali mencari Sinta untuk mengorek kembali mengenai dia. Benar-benar kacau dunia tenangku sekarang karena makhluk yang bernama wanita. Ada apa dengan mereka sebenarnya? Ada yang dengan mudah memasuki ruang hatiku dan hanya sebatas itu. Masuk tanpa bisa kutahan untuk tetap berada disana. Ada lagi yang dengan mudah masuk dalam hidupku, karena memang atas izinku sendiri, dan sekarang malah menghilang, menyisakan beribu tanda tanya dalam kepalaku. Melelahkan.
Sinta masih terlihat menemani calon pelanggannya dan sepertinya aku masih harus menunggunya disini. Sinta terlihat sangat agresif pada pelanggannya itu. Beberapa kali kulihat tangannya bergerilya ditubuh lelaki itu. Malam ini aku merasa jijik melihatnya seperti itu, padahal biasanya dia juga melakukan hal itu padaku bila aku memintanya menemaniku. Mereka melakukan hal ini untuk uang. Sesulit apa hidup ini sampai mereka melakukan hal itu. Kami para lelaki mungkin memang menanyakan ini dalam benak kami, tapi kami juga ngga mengingkari bahwa kami memerlukan mereka untuk melakukan itu terkadang.
"Sendirian mas?" Ryan mengantarkan minuman yang baru kupesan padanya. Aku sering kemari dan mengenal anak ini dengan baik. Dia bartender terbaik disini.
"Gue nunggu Sinta. Lo temenin gue mau? Biar gue traktir." dia menolak.
"Gue masih kerja. Ngga mungkin minum,"
"Sombong sih sekarang lo," dia hanya tersenyum. Sepertinya aku benar-benar harus menunggu Sinta sendirian malam ini. Hanya demi satu dua info mengenai dirinya, membuatku menunggu selama ini. Sungguh aku mulai kehilangan akal sehatku.
***
Kupikir aku cukup mencarikan pengisi acara buat pernikahan kejutan Zevan, ternyata dia juga membebani kami bertiga dengan segala macam "tolong" mautnya itu. Hari ini dia sengaja menungguku pagi-pagi cuma untuk menemaninya memilih cincin kawinnya nanti. Tuhan, kenapa aku harus punya sahabat semenyusahkan orang ini?
"Kejadiannya udah bertahun-tahun yang lalu. Lama. Kenapa sih lo ngga berusaha mengobati trauma nyetir lo itu?" kakiku mulai pegal. Ini toko kelima yang sudah kami singgahi. Belum ada cincin yang dia rasa sesuai untuk mereka.
"Lo ngga ikhlas nemenin gue?" tadinya aku berencana menggunakan hari libur ini untuk mencari Sinta, malam itu aku menyerah menunggunya dan memutuskan pulang setelah kepalaku mulai pening karena pengaruh alkohol dari minuman yang cukup banyak menemaniku.
"Lo ngga punya orang lain buat dibikin susah pagi-pagi? Lo bahkan minta sarapan sama gue!" mataku rasanya hampir kabur kerena terus menerus melihat benda berwarna perak yang penuh kilau didepanku ini dari tadi.
Sebentuk liontin berbentuk simbol infinity dengan sebutir berlian kecil menghiasinya menarik perhatianku. Sederhana.
"Ada yang bisa saya bantu?" pramuniaga ini pasti tahu arah pandanganku. Dia segera mengambilkan liontin yang dari tadi kulihat.
"Saya ambil yang ini." dengan cepat aku membayarnya, sebelum Zevan yang lagi sibuk memilih cincinnya melihatku membeli sesuatu disini. Tanpa menunggu pramuniaga itu membungkuskannya terlebih dahulu, aku memilih langsung memasukkan liontin sekaligus kalungnya kedalam saku jaketku.
"Gue udah dapat No, gimana?" beruntung Zevan datang beberapa detik sesudah benda itu masuk, dia memperlihatkan sepasang cincin sederhana dengan titik-titik berlian kecil mengelilinginya. Hanya untuk cincin begini kami mengelilingi lima toko perhiasan?
"Lo memang luar biasa. Gue pikir lo nyari cincin special yang terbuat dari gading gajah Afrika, trus ada mata manusia buat hiasannya." sindirku tajam.
"Sialan lo. Ya sudah, ayo kita pulang. Hari ini cukup sampai disini aja. Gue capek." kamu pikir cuma kamu yang capek? Aku dari tadi dan malah rugi karena membeli barang yang aku belum tau mau dibuat apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
Любовные романыAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...