Nino POV
Aku harus menyiapkan diriku untuk kemarahan kedua wanita didepanku ini, terlebih wanita berambut ikal yang siap menerkamku sekarang. Aku boleh menghindar darinya beberapa hari ini untuk menceritakan perkembangan hubunganku dan Nessa, tapi tidak untuk hari ini. Aku sama sekali ngga bisa berkutik waktu terbangun dan Rindy sudah ada dikamarku bersama Giana. Adikku sedikit lebih kalem, dia cuma bisa memandangku dengan iba waktu kuceritakan semua yang Nessa katakan padaku. Lain halnya dengan yang satu ini,
"Kenapa ngga langsung ngomong lo cinta sama dia aja sih?" dengan kesal Rindy memukul lenganku dengan kepalan tangannya. "Lo terlalu bertele-tele sih. Pake ngomong mau bawa mereka segala lagi."
"Gue ngga bisa semudah lo bilang cinta."
"Pendem aja terus, tar kalo mereka ngilang lagi baru tau rasa lo!" sekali lagi aku harus merelakan badanku jadi sasaran tinjunya. Anak ini memang brutal, pantas Alan belum memutuskan untuk menerimanya.
"Gue harus gimana dong?"
"Nah, bingung kan? Makanya kan gue bilang, lo nyatain aja cinta lo. Satu kata itu bakal ngejawab semuanya." yang dikatakan Rindy benar. Seharusnya aku memang mengatakannya dari awal saat pertama kami bertemu. Jika aku melakukannya. kejadian yang kami alami mungkin akan berbeda dari yang ada sekarang. Kebodohan itulah yang sangat kusesali saat ini.
"Mestinya lo malu sama badan gede lo itu, masa nyatain cinta aja ngga berani."
"Kak Nino juga sih, kebanyakan mikir. Kakak kan tau sendiri, kakak ngga punya banyak waktu. Seharusnya kalo dari awal Kakak pengen dapetin mereka, Kakak bilang sama dia. Kakak beneran cinta kan sama Kak Nessa?" kali ini giliran Giana yang mengomel padaku, hanya dia ngga menggunakan tangannya seperti Rindy.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Giana, suara pintu dibanting mengagetkanku. Dari ruang tengah muncul Devi dengan wajahnya yang memerah dan langsung melemparku dengan bantal yang sempat dia ambil dari sofa.
"Lo ngapain datengin Kakak gue kalo cuma mau bikin dia sakit hati?" apa lagi ini? Belum selesai satu masalah, muncul satu masalah lagi.
"Ngapain lo dateng lagi mau bawa Vasa padahal lo udah punya anak sama istri?"
Tunggu, barusan dia bilang apa? Aku punya anak lain selain Vasa dan seorang istri? Kabar dari mana lagi ini? Setahuku aku bukan artis yang bisa dijadikan bahan gosip seenaknya.
"Tenang dulu lah Dev," kulihat Rindy juga Giana cukup terkejut mendengarnya. Mereka menarik Devi untuk duduk supaya bisa lebih tenang dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Gue ngga ngerti deh yang barusan lo omongin Dev," tanya Rindy setelah dia lihat sahabatnya itu mulai tenang.
"Gue berhasil bikin Kak Nessa bicara sama gue, dan dia ngasih ini sama gue." sebuah kartu nama bertuliskan nama yang sangat kukenal. Adara Rawnie Danubrata.
"Apa maksudnya ini?" tanyaku bingung. Kenapa kartu nama Dara bisa ada padanya.
"Dia istri lo kan?" apa yang membuatnya sampai berpikir bahwa Dara adalah istriku. Jangan-jangan, dia berusaha menghindariku karena mengira aku memang sudah berkeluarga?
"Ngomong apaan sih lo Dev, dia bininya Zevan. Sahabatnya Nino. Itu lho, yang dulu pernah gue ceritain sama lo. Yang galak itu," beruntung Rindy mengenal Dara dan dia bisa menceritakannya pada Devi. Aku masih belum bisa mencerna semua rangkaian kejadian ini. Semua terasa mengusut sekarang. Harus mulai darimana aku mengurainya?
"Jadi selama ini Kak Nessa salah sangka sama Kak Nino?" tanya Giana pada Devi.
"Coba lo ceritain lebih rinci deh apa yang Kak Nessa bilang sama lo," kami bertiga menyiapkan diri masing-masing untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Devi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
Roman d'amourAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...