Temanku yang satu ini memang selalu datang disaat yang tepat.Tanpa sengaja aku menjatuhkan barang belanjaannya waktu mengambil beberapa barang sesuai dengan catatan yang kubawa. Aku praktis bekerja pada pria itu hampir full time. Daripada menunggunya diapartemen dan mati bosan, aku menawarkan bantuan untuk belanja. Kulihat dia terlalu sibuk untuk membeli segala keperluan sehari-harinya, terbukti dari kulkasnya yang hampir kosong tanpa bahan makanan.
“Kok kita bisa ketemu disini, sih?” matanya mengerling jahil padaku. “Lo masih sama dia?”
“Iya, Sin.” kuajak Sinta ke pojok supaya tidak mengganggu pengunjung lain yang mau memilih barang.
“Aku minta tolong sekali lagi bisa nggak, Sin?”
“Apa? Sepertinya sekarang lo jadi suka minta tolong, ya, Nes?” ledeknya sambil tersenyum padaku.
“Cariin tempat kerja, ya. Kan kamu punya banyak kenalan.”
“Kan gue udah kasih lo kerjaan. Kok minta dicariin lagi?”
“Aku nggak bisa cuma bergantung sama kerjaan itu. Sewaktu-waktu dia bisa aja mutusin kontrak kami.”
"Gue nggak ngerti, deh, maksud lo apaan,” aku memang tidak pernah cerita apa-apa pada Sinta mengenai perjanjianku dan pria itu. Aku juga bingung mau menjelaskannya bagaimana ke Sinta.
“Intinya, hubungan kerja kami selesai sampai kami ngelakuinnya.”
“Jadi lo masih pera...,” hebohnya. Aku langsung menutup mulutnya sebelum ada yang sempat mendengarnya.
“Gue nggak percaya, Nes. Sumpah. Lo nggak diapa-apain sama dia?”
“Emang seharusnya gimana?” tanyaku penasaran. Sinta pasti jauh mengenalnya dengan baik daripada aku.
“Gue pikir kalian sudah sejauh yang gue bayangin. Dia termasuk pemain berpengalaman lho, Nes. Jam terbangnya udah tinggi,” apa maksud Sinta, sih? Aku masih tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Aduh, lo ternyata masih beneran polos banget, Nes. Gini gue jelasin, dia itu sering main sama gue dan mungkin beberapa wanita lain. Cuman, dia orangnya pemilih banget. Nggak bisa sembarang wanita yang bisa dia ajak.” Sinta menggosok-gosokkan tangannya ke dagu sambil memandangku. “Gue nggak percaya aja, kalian udah beberapa bulan sama-sama dan dia nggak ngapa-ngapain lo.”
“Siapa tahu dia punya yang lain,” tebakku ragu.
“Nggak mungkin. Kalo saat ini dia bayar lo, berarti dia cuma mau sama lo. Sebelum sama lo, dia selalu cuma mau sama gue. Begitu terus, sampai dia mutusin pindah ke wanita lain. Dan harus lo tahu, dia salah satu pelanggan terbaik gue.”Aku tidak pernah membayangkan akan terlibat dalam obrolan seperti ini.Aku harus membiasakan diri dengan ini karena inilah dunia baruku.
“Makanya aku harus punya kerjaan lain selain ini. Aku nggak mungkin terus mengharapkan dia,‘kan, Sin?" mengingat sewaktu-waktu ada wanita lain yang lebih menarik untuk dia bayar jasanya.
“Iya. Gue ngerti. Nanti kalo ada info gue kasih kabar, ya,” aku bersyukur memiliki Sinta sebagai teman yang mau membantu tanpa perlu mempertanyakan apapun mengenai masalah yang kuhadapi. Dia selalu tulus dengan caranya sendiri.
“Lo kenapa, sih milih gue buat dimintai tolong? Bukannya yang lain?”kearah mana lagi pembicaraan Sinta kali ini?
“Kenapa kamu baru nanya sekarang?”
“Gue udah lama, sih mikirin hal ini. Lo ‘kan tahu gue nggak bisa ngasih kerjaan yang bener buat lo, tapi lo malah minta tolong sama gue. Lingkungan gue ya begini ini, Nes.”
“Karena kamu membantuku tanpa kata-kata ‘kenapa’,” kamu tulus, Sin, aku sangat menghargai itu. “Jangan pernah nyalahin diri kamu, ya, dengan bantuan kamu ini,” kuyakinkan dia sekali lagi. Semua yang terjadi padaku sekarang murni karena kehendakku sendiri.
***
Rasanya sulit dipercaya. Secepat ini keadaan berubah. Baru beberapa minggu yang lalu kami tertawa bersama, kini kami harus kembali menghadapinya lagi. Untuk kesekian kalinya aku dan Devi harus menyaksikan adik kecil kami terbaring lemah di ruang ICU. Devi meneleponku tadi subuh dan mengatakan bahwa Putri muntah darah dan dengan pertolongan tetangga dia membawanya ke rumah sakit. Tanpa sempat bilang apa-apa kecuali kata maaf pada pria yang masih mengantuk dan terdiam menyaksikanku meninggalkannya.
Dokter bilang kami harus menyiapkan mental kami karena kondisi Putri benar-benar memburuk tiba-tiba. Kami hanya bisa berdoa untuk memohon pertolongan dari Tuhan bagi keselamatan Putri. Dadaku sesak memikirkan kemungkinan terburuk yang akan kami terima. Tapi aku juga tidak tega melihat tubuh lemah Putri menanggungnya sendirian, dia pasti tersiksa dengan sakitnya ini.
“Sudah, jangan menangis lagi. Kamu harus kuat didepan Putri,” dari tadi Devi terus menangis dan tidak mau masuk kedalam untuk menemani Putri.
“Devi nggak mau Putri pergi,Kak.”
“Kamu tega ngeliat dia begini terus? Kita harus nerima apapun takdir yang terbaik buat dia, Dev.”
“Kak Nessa nggak ngerti, ya? Dia adik Devi. Mana ada kakak yang tega ngeliat adiknya pergi?”
“Dia juga adik Kakak. Kita sudah berbuat yang terbaik buat kesembuhan dia. Kamu harus kuat, Devi,” kutarik tangannya dan memaksanya untuk ikut masuk.
“Lihat dia, kamu tega ngeliat dia begini? Kakak lebih sakit ngeliat dia begini daripada harus ngerelain dia pergi.” Putri masih mengenakan topi yang dia buat. Wajah mungilnya pucat dan masih bisa kulihat senyum tipis disana. Apa dia sudah merasa tenang sekarang? Apa dia tahu ini sudah saatnya dia pergi? Kuambil tangannya dan mencium keningnya sambil berucap,
“Putri, kamu dengar Kak Nessa?” aku tahu dia mendengarku. Kondisinya benar-benar tidak memungkinkan bahkan untuknya membuka mata.
“Kak Nessa sama Kak Devi sayang banget sama Putri. Kami ikhlas kalo Putri memang harus pergi.” bisikku ditelinganya. Devi tak bisa berkata apa-apa, hanya memeluk tubuh Putri tanpa bisa menahan air matanya.
“Kakak bahagia karena punya Putri dalam hidup Kakak,” aku bisa merasakan ada anggukan lemah dan bisa kulihat senyum Putri mengembang. Suara pada alat pendeteksi detak jantung yang menempel pada tubuh Putri seakan mengingatkan kami bahwa hampir tiba saatnya dia pergi. Hanya suara itu yang mengisi keheningan ruangan karena aku sendiri sudah tak sanggup berkata apa-apa. Dadaku semakin terasa sesak melihat tarikan napas Putri perlahan mulai pendek dan melemah.
Saat itu akhirnya tiba waktu kami menyaksikan napas terakhir Putri dalam diam. Senyumnya masih membekas diwajah damainya ketika dia tertidur untuk selamanya. Ada penyesalan dalam hatiku waktu mengingat permintaannya yang masih belum bisa kupenuhi yaitu memeluknya ketika dia tidur. Kali ini aku mencoba mengabulkannya. Kupeluk tubuhnya yang mulai kehilangan kehangatannya.
“Maaf karena Kak Nessa baru bisa memeluk kamu saat tidur terakhir kamu.”
***
![](https://img.wattpad.com/cover/31263041-288-k451122.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...