Beruntung dia pergi sebelum aku bangun tadi pagi, jadi masih ada waktu untukku menghindarinya beberapa jam sebelum jam 11 malam nanti. Pagi ini aku terbangun dengan beberapa lembar uang seratus ribuan lebih banyak dari biasanya dibalik bantal dan sebuah note bertuliskan,
Habiskan sarapan yang sudah kusiapkan.
Dia memang pria yang dingin, tapi kurasa dia juga manis.
“Nes, kamu lagi istirahat,‘kan?” aku sama sekali tidak bisa menghindar lagi waktu Arga masuk ke dalam ruang karyawan.
“Ngapain kamu disini? Aku nggak mau yang lain berpikiran macam-macam,” kudorong dia supaya keluar dari ruangan ini.
“Aku bakal tetap disini, kecuali kamu mau menuhin permintaanku,” tolak Arga keras kepala.
“Kamu mau apa?” tanyaku hampir menyerah berusaha mendorongya keluar. Badannya seperti dipaku dilantai.
“Temenin aku ngemil sore,” dia masih belum menghilangkan kebiasaan ngemilnya itu. Dulu kami sering menghabiskan sore di warung pinggir jalan atau kedai kopi sekedar untuk ngemil sambil mengobrol. “Ayolah, Vanessa....”
Aku menyerah. Kuambil jaket sekaligus dompetku dan berjalan mendahului Arga yang tersenyum kegirangan dibelakangku.
***
Kami sengaja memilih tempat duduk paling ujung yang letaknya terlindung di kafe tak jauh dari butik. Arga datang dengan nampan berisi Latte dan coconut choc cake dan menaruhnya kedepanku.
“Pesanan datang,” serunya sambil meletakkan piring kedepanku dan menyendokkan sepotong untukku. Manisnya coklat dipadu gurihnya parutan kelapa yang dipanggang sangat nikmat dinikmati sore-sore begini.
“Sekarang kamu tinggal dimana, Nes?” kulihat Arga sudah mengambil potongan kedua untuknya. Dia memang selalu paling banyak makan diantara kami berdua.
“Kontrakan nggak jauh dari sinilah, Ga,” dia melirikku dengan penasaran yang kubalas dengan gelengan kepala tanda aku tidak mau dia tahu dan mengatakan detail tempatku tinggal.
“Kamu udah lama kerja sama Mamah?”
“Hmm...lumayan.” Aku berusaha menjawab seadanya biar pembicaraan kami bisa berlangsung singkat.
“Aku balik karena diminta Mamah buat bantu disini.” Aku tidak akan menanyakan alasan dia pulang ke Indonesia sekarang. Sama seperti saat dia pergi dulu. Selalu dia yang mengatakannya sendiri.
“Aku nggak nanya.”
“Aku tahu kamu nggak bakal nanya. Makanya aku jelasin lebih dulu,” kamu masih Arga yang penuh percaya diri.
“Kamu selalu sok tahu, Ga.”
“Dan kamu selalu diam, Nes. Padahal aku tahu dalam otak kamu itu penuh pertanyaan,‘kan?” Kamu tahu aku selalu diam, kenapa kamu selalu berusaha mengajakku bicara? Bukannya kamu tahu pasti aku akan memberikan jawaban sesedikit mungkin.
“Tuh kan, sok tahu kamu itu nggak pernah berubah.”
“Kamu juga nggak berubah, Nes. Masih tetap Vanessa pendiam yang dulu.” Aku merasa ada sesuatu dari tatapan Arga. Aku merasakan ada sesuatu yang salah disana. Aku benar-benar melihat kerinduan disana. Mana mungkin dia masih merasakannya saat 11 tahun sudah kami lewati dan dia sudah memiliki seseorang yang lain. Ini jelas salah. Bukan seperti yang seharusnya terjadi diantara kami. Semua seharusnya sudah selesai dan tidak mungkin perasaan itu masih bersisa. Baik untukku ataupun untuk dirinya sendiri.
***
Aku memang masih bisa menghindar dan menolak tiap Arga mencari kesempatan bicara denganku, tapi dia selalu punya cara untuk itu. Aku tidak mau menimbulkan masalah apapun akibat kedekatan kami. Aku memang tidak mau lagi berurusan dengannya karena aku sadar dia tidak lagi sendiri dan aku juga sudah menghilangkan dia dari hatiku sejak lama. Kehadiran dia sekarang hanya akan jadi masalah baru bagiku. Apa aku harus mencari tempat kerja baru supaya lebih mudah menghindarinya?
Aku sengaja terus menempel pada Rima yang satu jam kerja denganku supaya Arga tidak bisa mendekatiku. Beberapa kali kulihat dia sengaja mondar mandir didepan kami berusaha mencari kesempatan sekedar untuk mengajakku bicara.
“Kak, tumben nggak istirahat dibelakang?” tanya Rima tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer tempat dia mengentry data penjualan kami hari ini.
“Nggak. Kamu mau dibantu?” kulihat tumpukan nota pembelian masih menumpuk disamping Rima.
“Nggak usahlah, Kak. Sebentar juga selesai. Rima ‘kan kerjanya cepat,” puji dirinya sendiri. Rima memang paling cepat kerja disini, tapi dia juga kadang melakukan kesalahan karena kecepatannya itu dan aku yang akan membereskan kesalahannya.
“Oh iya, waktu Kak Nessa cuti kemaren ada yang nyariin Kakak. Awalnya sih dia mau nyari gaun buat ceweknya. Tapi Rima rasa dia lebih mau nyari Kak Nessa.”
“Siapa?” tanyaku penasaran. Selama aku bekerja disini belum pernah ada kenalanku yang kemari.
“Dia nggak nyebut nama, sih. Katanya sih Kakak sering ngelayanin ceweknya gitu. Nama ceweknya Rawnie. Kakak kenal?” nama itu sangat asing kudengar. Seingatku belum pernah ada pelanggan bernama Rawnie yang pernah kulayani disini.
“Waktu itu dia ngepoin Kakak, sih. Kayaknya pengen banget ketemu Kak Nessa. Soalnya dia sampe nanyain kenapa Kakak cuti.” Aku makin penasaran, siapa pria yang Rima maksud.
“Tapi Rima nggak kasih info soal Kakak. Kan kita emang dilarang ngasih-ngasih info pegawai disini,” seharusnya kamu tanya nama dia, Rima.
“Orangnya gimana? Ciri-cirinya,” aku jadi penasaran juga.
“Hmm....Tinggi trus kayak bule.” Tinggi. Bule. Aku memang punya beberapa kenalan dengan ciri-ciri begitu, tapi mana mungkin mereka mencariku sampai harus kemari. Ingatanku langsung mengarah ke pria itu. Mana mungkin dia?
“Rambutnya dipotong pendek? Hidungnya mancung trus agak bengkok dipangkalnya?” tanpa dikomando, mulutku langsung mengutarakannya.
“Pendek, sih. Potongannya rapi. Kalo idung sih, Rima nggak berani ngeliat wajahnya lama-lama. Soalnya matanya bikin Rima mengkeret.” Mana mungkin dia? Sekali lagi aku harus menanyakan pertanyaan ini pada diriku sendiri. Ciri-ciri yang Rima sebutkan memang mendekati dia. Mungkin saja dia mencari karena aku menghilang beberapa hari kemarin. Tapi bisa juga bukan dia. Pria yang disebutkan Rima punya pacar bernama Rawnie. Selama aku berada diapartemen itu, belum pernah sekalipun aku menemukan tanda-tanda kehadiran wanita selain diriku sendiri. Bisa juga pria itu memang benar pacar pelanggan disini dan Rima salah mengira dia mencariku. Memang ada banyak kemungkinan yang bisa menyangkal pria itu benar-benar mencariku. Dia pasti terlalu sibuk untuk mencari wanita bayaran sepertiku.
“Dia emang aneh, Kak, dia malah ngasih gaun yang udah Rima pilihin.” Benar-benar aneh memang. Aku berusaha tidak memasukkan cerita ini ke kepalaku. Rasa penasaran cuma akan bikin pusing saja. Aku sudah cukup pusing dengan kehadiran Arga.
“Syukurlah kalau begitu. Kapan lagi,‘kan dikasih gaun gratis,” kulihat jam dipergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Kami sudah harus membereskan butik sebelum menutupnya. Rima juga sudah mulai menyimpan datanya. Aku harus cepat berberes sebelum kembali bekerja kepekerjaanku yang selanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...