Nino POV
Berbagai kemungkinan terus kucoba telusuri. Apapun petunjuk yang kutemukan berusaha kujalani dan aku ngga akan berhenti sebelum benar-benar menemukan Nessa dan Vasa, begitulah aku akan memanggil nama mereka mulai sekarang, walau sebenarnya aku hampir menyerah karena belum ada satupun usahaku yang membuahkan hasil.
Kubuka kembali laci meja kerjaku berusaha mencari catatan lamaku disana. Secarik kertas bertuliskan nomor telepon berhasil kutemukan.
Aku pernah menghubungi nomor ini dulu dan berakhir dengan kekecewaan karena nomer yang kuhubungi tidak aktif.
Kutarik nafasku sebelum menekan tombol hijau. Diluar dugaan, nomernya aktif dan pada dering keempat aku mendengar suara anak kecil diseberang sana.
"Vasa?" Secara refleks mulutku mengucapkan namanya.
"Siapa nih? Kok tau nama Vasa?" Ini ayah. Ingin sekali aku mengucapkan kata-kata itu. Kurasa masih terlalu cepat untuknya.
"Ibu ada? Boleh Om ngobrol sama ibu?"
"Ibu ngga ada. Vasa cuma berdua sama tante Dev." Sebaiknya aku bicara dengan wanita itu walau sebenarnya aku masih ingin mendengar suara Vasa. Terdengar suara teriakan diseberang sana tanda dia memanggilkan tantenya untukku.
"Hallo? Siapa nih?"
"Kamu kan yang datang ke apartemenku dan meletakkan buku harian itu disana? Apa kamu melakukan ini dengan izin Nessa?" Aku jelas bisa mendengar nada gugup dari suaranya saat menjawab pertanyaanku.
"Kak Nessa ngga tau. Aku cuma ngelakuin yang bisa kulakukan."
"Jangan takut. Aku ngga akan mengatakan padanya tentang hal ini asalkan kamu melakukan satu hal untukku." Aku mau bertemu putraku sekali lagi.
"Tapi aku takut Kak Nessa marah. Maaf aku ngga bisa bawa Vasa untuk menemui kamu." dia mematikan telponnya. Benar- benar mematikannya sampai aku ngga bisa menghubungi mereka lagi. Dengan gemas kubanting telpon itu ke atas meja kerjaku. Usahaku memang ngga ada apa-apanya. Sangat tidak sebanding dengan besarnya kesalahan yang kulakukan. Seberapa besar usahaku untuk bersama mereka diuji disini.
"Kok muka kakak tercintaku gitu sih?" sejak kapan Giana ada di Indonesia?
"Kangen banget deh sama Kak Nino," dia menghambur kepelukanku dan aku balas mencium puncak kepalanya. Aku juga kangen sifat manjanya ini. Sejenak, kekesalanku barusan teralihkan oleh kehadirannya.
"Kok ngga bilang sih kalo mau kesini? Kan Kak Nino bisa jemput dibandara." adik kecilku ini selalu bisa membuatku tersenyum.
"Giana juga ngga punya rencana mau mampir ke Indonesia, tadinya sih cuma mau jalan-jalan aja buat nyari inspirasi."
"Jadi waktu kamu bilang kangen kakak barusan kamu bohong ya? Cuman mampir," aku sengaja pura-pura marah untuk menggodanya. Kontan dia langsung menggelayuti leherku seperti kebiasaannya.
"Ngga gitu juga sih. Giana serius lho kangeeeen banget sama Kak Nino." aku cuma bisa tertawa melihat ekspresi lucunya waktu berusaha membujukku. Dia sengaja menghujani mukaku dengan ciuman-ciumannya. Cara ini selalu berhasil membuatku menyerah. Kami sudah terlalu dewasa untuk melakukan hal ini. Orang lain mungkin akan merasa aneh melihat kami melakukan hal ini sebagai saudara termasuk Nanda, yang berdiri di depan pintu menatap kami dengan matanya yang melebar.
"Dia adik saya, Giana." Giana langsung maju selangkah dan menyapanya dengan ramah.
"Ada apa Nanda?" tanyaku setelah kembali ke balik meja kerja dengan Giana yang kini duduk diatas meja kerjaku dengan santainya.
"Begini pak, satu jam lagi Pak Nino ada meeting bersama Diamond Company buat membahas proposal yang mereka ajukan bulan lalu."
"Baiklah." Nanda berlalu dan Giana menunjukkan foto Nessa juga Vasa yang tadi lupa kusimpan. Mungkin aku bisa cerita padanya. Aku mulai merasa kepayahan menyimpannya sendiri. Tadinya aku sempat akan membaginya kepada ketiga sahabatku, tapi masih bingung mau memulainya dari mana. Masih belum menyiapkan diriku karena cepat atau lambat Zevan pasti akan mengetahui bahwa aku pernah mencintai istrinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...