Bab 13

30.2K 1.8K 1
                                    

Praktis aku jadi babysitter Zevan selama seminggu ini. Dia terus menempel padaku. Sekedar untuk ke kantor saja dia minta aku yang mengantar dan menjemputnya. Aku mengerti dia masih bermasalah dengan traumanya pada menyetir itu, tapi dia punya sopir pribadi yang dia gaji setiap bulan. Seharusnya aku tidak perlu serepot ini. Pulang kerja aku harus mampir ke kantornya dan menemaninya sampai larut malam. Yang terparah, dia mengajakku mengintip Dara tak jauh dari rumahnya. Sebenarnya aku yang bodoh karena mau-maunya menemaninya melakukan hal konyol ini atau memang dia yang keterlaluan bodohnya? Sudah jelas-jelas dia mencintainya tapi masih juga berusaha menghindar. Sedangkan aku sendiri, saat aku berusaha melupakan perasaanku dari Dara, aku malah menurut saja waktu diajak olehnya. Membuat perasaan itu makin lama malah semakin besar dihatiku. Akibatnya, setiap pulang ke apartemen, aku merasakan lelah luar biasa. Bukan hanya lelah secara fisik, batin juga. Aku kepayahan oleh hatiku sendiri.
Beruntung aku memiliki seseorang yang setiap malam menunggu untuk menemaniku. Hingga aku setidaknya tidak kesepian bersama perasaan yang semakin hari semakin kacau ini. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, aku tak ada bedanya dengan Zevan. Aku sadar bahwa aku mencintai Dara tapi aku tau bahwa aku tidak akan mungkin bisa memilikinya. Karena itulah aku memilih mencoba melupakan perasaanku padanya.
“Kamu sudah makan?” tanyaku padanya yang memandangku waktu aku baru sampai. Aku mampir direstoran seafood Andra sebelum pulang dan membungkus 2 porsi makanan untuk kami. Dia menggeleng, seperti biasa. Apa yang dia lakukan sebelum kemari, dia sepertinya selalu melupakan makan malamnya.
“Tolong siapkan sementara aku mandi,” kuserahkan bungkusan itu ke tangannya. Hari ini dia mengenakan kaos biru dengan rok putih panjang dari bahan renda. Perpaduan yang bagus. Terlihat sederhana namun cantik.
Badanku terasa sangat segar setelah aku menguyur seluruh tubuhku dengan air dingin. Kukenakan kaos tipis dan celana pendek sebelum keluar dari kamar. Aroma harum dari kepiting saus Thailand menggoda hidungku. Zevan juga membuatku melupakan makan siangku hari ini ternyata.
Meja pantri sudah penuh dengan makanan yang tadi kubeli. Rupanya dia menghangatkan semuanya. Memang bukan seizinku, tapi aku lebih suka makan makanan hangat sebenarnya daripada dingin. Jadi aku tidak akan menegurnya karena melakukan hal lain diluar perintahku.
“Kamu mau kuambilkan minuman hangat atau dingin?” tanyanya.
“Hangat,” dia menuangkan segelas air hangat ke gelasku dan duduk disampingku. Kami mulai makan dalam diam. Selalu begini. Aku diam dan dia juga diam.
Uhuk...uhuk....
Dia tersedak makanannya dan langsung meraih air minumnya. Aku hanya meliriknya sekilas, aku tidak perlu mengambilkan air minum untuknya,‘kan?
“Maaf,” ucapnya.
“Bukannya aku udah bilang, aku nggak suka ada kata maaf dimeja makanku,” sahutku ketus. Aku benci mendengar kata maaf saat dimeja makan. Cuma bakal membuatku kembali mengingat masa kecilku yang berusaha kulupakan. Aku langsung teringat bentakan dan omelan yang selalu papaku berikan tiap pagi dimeja makan kami dulu. Sejak kecil aku membangun tembok pemisah tersendiri untuk papaku yang selalu merasa aku belum bisa jadi seperti yang dia harapkan, ditengah usahaku untuk menjadi yang terbaik baginya.
“Iya, ma...iya,” dia hampir sekali lagi mengucapkan kata maaf. Tapi keburu aku tahan dengan cara menatap tajam langsung ke matanya. Dia tersenyum. Benar-benar tersenyum. Ini kali pertama aku melihatnya tersenyum. Entah kenapa aku merasa ada kehangatan yang muncul entah dari mana. Kehangatan yang kurasa hanya bisa berasal dari satu orang. Dara. Ini dia yang membuat mereka sama. Senyuman yang menghangatkan. Ternyata dia juga memiliknya. Salah sebenarnya aku membawa orang yang mirip dengannya karena secara otomatis aku akan kembali membiarkan Dara berada dipikiranku.
“Malam ini kamu bantu aku beresin sisa makan ini, ya,” pintaku. Rasanya aku ingin cepat-cepat ke kasur. Aku merasa mengantuk luar biasa. Dia mengangguk sambil menghabiskan suapan terakhir di sendoknya. Aku juga menghabiskan makanan dipiringku dan bergegas berdiri untuk menuju kamar.
Setelah mematikan pendingin ruangan aku berjalan ke depan jendela, membukanya dan menikmati pemandangan kota di bawah sana sebentar sebelum merebahkan diri di kasur. Rasanya nyaman sekali. Aku selalu merindukan suasana begini tiap selesai dengan aktivitas sibukku seharian.
Samar-samar aku melihatnya berjalan mendekatiku diantara kantuk yang luar biasa menyerang mataku. Dia merapikan selimut yang asal-asalan menutup badanku dan berbaring disisiku. Kehangatan tubuhnya mengaliri lenganku waktu tanpa sengaja tersentuh kulitnya. Aku sempat mendengar dia menggumamkan “maaf”. Lagi-lagi maaf. Aku mendengus mendengarnya.
“Tidurlah, aku harus pergi subuh-subuh besok,” kutarik tubuhnya mendekat dan memeluk pinggangnya. Entah apa yang membuatku melakukannya. Dia juga tidak menolak dan malah membenamkan wajahnya didadaku. Tidurku malam ini pasti akan lebih nyenyak dari biasanya. Aku merasa nyaman dengan keberadaannya disisiku seperti ini.
***
“Seharusnya sekarang lo ada di acara nikahan kakaknya Dara ‘kan, Van?” tanya Alan sambil mengigit sepotong wortel dari piringnya. Zevan masih lebih pendiam tapi paling tidak dia bilang pagi ini akan pulang ke rumahnya. Pagi ini sesudah menurunkan wanita itu di halte, aku langsung meluncur menuju restoran Andra untuk janji sarapan bersama mereka disana.
“Jangan rusak acara sarapan kita pagi ini, Lan,” tegurku sambil menusuk tangannya dengan garpu yang kupegang. Dia meringis padaku. Aku bisa makin brutal kalau dia masih melanjutkan omongannya.
“Bukannya pagi ini kita bakal kedatangan tamu, ya, Lan?” tanya Andra mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya pagi ini kami ada janji temu dengan Vivian, teman kami semasa SMA dulu yang tanpa sengaja meminta bantuan Alan untuk menangani kasus perceraiannya.
“Sebenarnya dia tamu gue. Bukan kalian,” gerutu Alan. Kami memang cukup akrab sewaktu SMA dulu dengan Vivian. Makanya, waktu Alan menceritakan bahwa dia mendapatkan Vivian sebagai klien barunya, kami sepakat untuk mengundangnya bertemu sekalian reuni kecil-kecilan.
“Hai semua...,” orang yang barusan dibicarakan ternyata sudah tiba. Tak ada yang berubah darinya, dia tetap menawan dengan wajah orientalnya yang cantik. Dari dulu dia memang udah jadi primadona di sekolah.
Tanpa sungkan Vivian bergantian memeluk kami semua dan mencium dengan gemas pipi Zevan yang sejak dulu memang menjadi favoritnya diantara kami berempat.
“Masih ganteng, ya, lo?” dia sengaja duduk di sebelah Zevan dan menempel padanya.
“Dia masih punya cewek dan lo masih punya suami. Walau statusnya diujung tanduk,” gumam Alan. Rasanya aku benar-benar ingin mengikat mulut orang ini dengan karet gelang biar bibirnya tidak bicara yang sama sekali tidak perlu dia ucapkan.
“Jangan dengerin omongan Alan, Vi,” Andra lebih dulu menyentil kening Alan dan menutup mulutnya dengan serbet. Ternyata bukan cuma aku yang berniat menyiksa satu orang ini. Manusia paling sabar seperti Andra saja gemas padanya.
“Kapan pulang dari Amrik, lo?” kali ini Zevan membuka suara.
“Bulan lalu. Gue senang bisa ketemu kalian lagi,” Andra menyiapkan satu hidangan tambahan untuk Vivian. Alan juga Andra terlihat larut dalam pembicaraan bersama Vivian, sedangkan Zevan kembali diam dengan pikirannya sendiri. Dia memang seharusnya sekarang mendampingi Dara dihari bahagia kakaknya, tapi dia malah disini bersama kami. Kemarin dia mengatakan mau menyelesaikan masalah antara dirinya dan Dara. Aku berharap dia bisa memperbaiki hubungan mereka. Walau harus kuakui, aku merasa hal itu akan sedikit menyakitkan bagiku. Namun, kebahagiaan mereka jauh lebih penting bagiku karena mereka termasuk orang-orang berarti dalam hidupku. Pelan-pelan aku benar-benar berusaha melupakan perasaanku pada Dara. Aku belajar melupakannya dengan caraku sendiri. Aku memilih untuk tidak akan membiarkan diriku sendirian hingga pikiranku tentang Dara akan teralihkan. Karena itulah aku memilih untuk tetap bersama wanita itu tiap malam.
“Lo kenapa?” kulihat Zevan memijit keningnya.
“Nggak papa,” dia bohong. Aku tahu dia pasti merasa pusing lagi. Lebih baik aku mengantarnya pulang sekarang. Tapi belum sempat aku mengajaknya pulang, teleponku berbunyi. Ternyata asistenku di kantor yang bilang kalau aku harus menghadiri rapat penting setengah jam lagi dikantor.
“Lo sakit? Mau gue anterin?” tanya Vivian sambil memegang tangan Zevan yang terlihat risih atas perhatiannya itu.
“Iya, Van, lo dianterin Vivian aja. Kalian searah,‘kan?” Andra memberi saran. Zevan memandangku, aku mengerti maksudnya. Dia mau aku yang mengantarnya pulang.
“Gue mesti meeting 30 menit lagi, Van, sorry," ucapku. Dia tersenyum masam pada Vivian dan mengiyakan untuk wanita itu mengantarnya pulang. Setelah menghabiskan minuman di gelasku, aku pamit duluan pada mereka berempat.

BIRU  (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang