Aku seperti pernah melihat sosok wanita yang tersenyum didalam foto yang kupegang ini. Kutemukan selembar foto terselip dibalik sebuah buku yang tanpa sengaja kujatuhkan diatas nakas. Dalam foto yang diambil dari jarak jauh ini wanita itu terlihat sangat cantik dengan rambut panjangnya yang terurai. Apa dia wanita berarti dalam hidupnya karena dia sampai harus menyimpan foto ini dalam buku yang disukainya.
“Kamu ngapain?” beruntung aku sempat menaruh kembali foto itu ketempatnya sebelum dia yang baru masuk kamar merebutnya dari tanganku.
“Bukunya jatuh.”Dia menyimpan buku itu dibalik bantal. Seberharga itukah wanita itu sampai dia menyimpan fotonya serapi ini.
“Hari Jumat kamu sibuk?” pertanyaannya membuatku menoleh padanya yang bersandar dikasur dengan laptop dipangkuannya. Sepertinya malam ini dia akan bekerja lagi sampai aku tertidur. Seperti yang sudah tiga hari ini dia lakukan.
“Kamu mau aku datang lebih awal?”
“Ya. Jam 4 sore. Malam sebelumnya kamu nggak perlu kemari,” anggaplah hari Jumat itu aku lembur. Baiklah. Apa yang akan kami lakukan seharian nanti.
“Apa kamu akan membayar lebih?” tentu saja aku harus memikirkan itu. Waktuku sangat berharga saat ini.
“Kamu lupa dulu aku pernah bilang akan membayar setiap waktu kamu?” tentu saja dia konsisten dengan kata-katanya itu. Aku harus mengutuk diriku sendiri karena melupakan hal itu.
“Syukurlah. Waktu dan uang. Keduanya sangat berharga untukku.”Dia melepaskan tatapannya dari layar laptop dan memandangku. Ada yang salah dengan omonganku? Aku selalu kekurangan waktu untuk merawat Putri dan selalu perlu uang untuk pengobatan juga biaya hidup kami bertiga.
“Hanya itu yang ada dipikiranmu?” tanyanya tajam.
“"Iya. Jangan menanyakan pertanyaan yang kamu sudah tahu jawabannya,” sahutku tak kalah tajam dan membuatnya diam.
***
Sesuai jam yang dia tentukan, jumat sore, aku datang tepat jam 4 ke apartemen pria itu. Dia menungguku dengan setelan santainya yang belum pernah kulihat. Selama ini aku hanya melihatnya mengenakan setelan kerja ataupun kaos dan celana training. Aku belum pernah melihatnya mengenakan Polo Shirt juga celana selutut berbahan jeans yang sangat pas dia kenakan seperti ini. Begitu melihatku tiba, dia langsung mengambil topi hitam yang dia taruh disampingnya dan mengenakannya.
“Kita berangkat sekarang,” sebenarnya dia mau mengajakku kemana?
***
Aku tidak pernah menyangka dia bakalan mengajakku pergi kesebuah pesta yang diadakan disebuah pulau kecil. Kami dijemput dengan menggunakan mini jet dari bandara dan dibawa kemari bersama beberapa tamu lainnya yang juga menunggu untuk dijemput. Pantas saja sebelum kebandara dia memintaku mengganti pakaianku yang terlihat lusuh dengan dress yang sudah dia sediakan. Aku merasa percaya diri dengan dress panjang tanpa lengan berbahan ringan berwarna putih yang dia pilihkan untukku. Aku merasa cantik dalam balutan pakaian ini. Selain itu, dia juga menambahkan kacamata hitam untuk kupakai.
“Jangan pernah bicara jika kamu tidak ditanya,” bisiknya ditelingaku waktu dia membantuku turun.
“Aku tidak mengenal siapapun disini selain dua orang ini,” seorang pria setengah baya bersama seorang wanita yang pasti adalah istrinya menyambut kedatangan kami dengan senyum ramah mereka.
“Akhirnya kamu mau juga datang ke acara kami.”Pria setengah baya itu merangkulnya dengan akrab dan dia balas merangkulnya. Baru kali ini aku melihat wajah ramahnya yang dia perlihatkan pada orang lain.
“Apa dia yang bikin kamu akhirnya mau datang? Selama ini kamu malu ‘kan kalau datang sendirian?” pertanyaan sang istri justru membuat mukaku memerah. Dia menganggapku pasangan pria ini. Siapapun pasti mengira begitu. Kami datang bersama dengan dia masih menggenggam tanganku.
“Selamat untuk perkawinan perak kalian,” jelas terlihat dia mengalihkan arah pembicaraan mereka. Aku tau dia juga merasa risih.
“Terima kasih. Semoga kalian juga cepat menyusul,” kami hanya bisa tersenyum mengiyakan perkataan pria berwajah ramah itu. Waktu kurasa dia melepas tangannya dariku dan mengisyaratkan untuk menjauh darinya, aku langsung menjauh dan berjalan menuju meja penuh makanan dan minuman untuk mengambil segelas jus buah segar.
Karena aku tidak terbiasa dengan suasana yang seperti ini, aku lebih memilih menyingkir dari kumpulan para tamu yang membicarakan topik pembicaraan yang sama sekali tidak kumengerti.
Aku memilih duduk dibawah pohon kelapa yang agak jauh dari tempat pesta sambil menatapnya yang penuh senyum memperhatikan setiap kata yang diucapkan suami istri itu. Ada sesuatu yang terasa seperti menusuk hatiku dengan sebuah jarum kecil dan meninggalkannya disana ketika melihat dia seperti ini. Apa sejauh ini jarakku sebenarnya dengan dia. Hampir tak terjangkau oleh tanganku. Walau aku berusaha keras menggapaipun rasanya tidak mungkin dia akan melihatku.
“Pertanyaan mereka merepotkan,” aku langsung menghapus pikiranku saat dia sudah mengambil tempat disampingku.
“Tapi disana kamu tersenyum,” apa aku baru saja mengatakan bahwa aku memperhatikannya dari sini?
“Mereka nggak bakal menandatangani kontrak yang kuajukan kalau aku tidak tersenyum pada mereka.”Dia memang pebisnis yang akan melakukan apapun untuk kelancaran bisnisnya, termasuk membawa wanita bayaran untuk mendukung penampilannya didepan calon rekanan bisnis.
“Apapun itu, aku menyukai tempat ini.”Sudah lama sekali aku tidak pergi melihat laut seperti ini. Biasanya aku selalu pergi ke laut sendirian tiap aku merasa memerlukannya untuk melepaskan kepenatan juga masalah dalam kepalaku.
“Kamu suka laut?”
“Tidak lebih menyukainya daripada kamu,” dia tersenyum mendengar jabawan dariku. Kali ini dia benar-benar tersenyum karena diriku dan dia terlihat tulus saat melakukannya.
“Kamu bisa melihatnya dari kesukaanku dengan warna biru.” Aku langsung tau waktu melihat suasana apartemennya yang serba biru dan hitam. Aku juga menyukai warna biru sepertinya, hanya saja aku ngga punya waktu dan uang untuk mengemukakan kesukaanku itu.
“Kamu nggak mau ikut mereka kumpul?” kulihat para tamu undangan sedang berkumpul dipinggir pantai sambil menikmati mentari senja dengan cahaya jingganya yang indah.
“Bakalan janggal kalau aku ikut kesana sendirian,” dia melirikku yang memang tidak punya niat sama sekali ikut berkumpul disana. “Lagian, kurasa sudah cukup untuk bergabung bersama mereka. Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan dari suami istri Harsono itu,” dia terlalu jujur dengan maksud kedatangan kami kemari.
“Mukaku kaku karena terus berpura-pura tersenyum menjawab pertanyaan mereka yang nggak mungkin bisa kujawab.”
“Kalau boleh kutebak, pasti pertanyaan itu menyangkut aku sebagai pasanganmu hari ini,” tebakanku sekali lagi tepat karena dia mengangguk.
“Kamu mau jalan-jalan?” dia mengulurkan tangannya padaku. Menikmati pantai sementara menunggu jemputan kami, sepertinya terdengar menarik.
Masih dengan memegang tanganku, dia membawaku berjalan dibibir pantai sambil sesekali berhenti untuk membiarkan air laut membelai kaki telanjang kami.
“Pantai ini memang sangat indah,” jauh berbeda dengan pantai yang sering kukunjungi. Laut dan pantainya jauh dari kata bersih karena sudah terlalu banyak pengunjung yang hanya suka menikmati tapi tidak punya niat untuk menjaga kebersihannya.
“Masih sedikit orang yang tahu pulau ini. Hanya kalangan terbatas,” tentu saja kalangan terbatas. Tempat ini lebih diperuntukkan bagi kalangan kelas atas yang mudah kemari dengan menaiki transportasi air ataupun udara milik pribadi mereka. Belum ada transportasi umum untuk bisa sampai ditempat ini.
“Kamu juga suka laut?”
“Hanya saat aku merasa perlu mencurahkan masalah,” aku selalu merasa laut seperti bisa menenggelamkan semua masalahku bila aku mencurahkan isi hatiku padanya. Terdengar seperti orang aneh memang bila melihatku bicara sendiri pada laut.
“Kita bisa kemari lagi suatu hari nanti,” kuhentikan langkahku dan memandang padanya. Aku merasa seperti dia masih ingin kebersamaan kami ini bisa terus berlanjut.
“Aku akan menunggu untuk hari itu,” tak banyak yang bisa kami ceritakan. Sepertinya kami sama-sama tipe orang yang lebih suka memilih diam bersama pikiran sendiri daripada membaginya dengan orang lain. Aku berada dalam zona nyamanku saat tak ada satu orangpun yang mengetahui apa yang sedang kupikir dan rasakan.
“Kuharap kita bisa terus menjaga identisas masing-masing sampai kita mengakhiri hubungan ini.”
“Memang sejak awal nggak ada yang berniat mengungkap identisas ‘kan?" aku sempat melihat ada raut asing diwajahnya waktu mengatakan hal itu tapi cuma sebentar. Dia kembali dengan wajah tenangnya yang dingin.
Udara sudah semakin dingin karena langit jingga sudah digantikan dengan langit gelap tanda malam sudah tiba. Air laut yang masih bisa kurasa dikakikupun terasa mulai mendingin. Kami memutuskan kembali ketempat pesta untuk menunggu jemputan yang sebentar lagi akan tiba. Aku harus mengingat hari ini, karena hari ini aku menemukan senyuman tulusnya yang pertama untukku
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...