Tahun 2016
Nessa
Aku baru pulang dari pasar waktu menemukan Vasa menangis dengan kencang didepan rumah. Putraku ini paling jarang menangis sekencang ini kalau bukan karena ulah satu orang. Kutatap pintu kamar disamping kamarku sambil menghela napas. Anak itu kapan berubah, sih? Dia bukan remaja belasan tahun lagi, seharusnya dia bisa bersikap lebih dewasa sekarang. Aku cuma menitipkan Vasa sebentar padanya dan ini hasilnya.
Vasa masih menangis waktu aku menggendongnya masuk kedalam rumah. Muka bulatnya memerah dan penuh air mata.
“Devi!!! Kan sudah Kakak bilang, jangan gangguin Vasa. Berapa kali, sih, harus dibilangin,” aku tahu dia ada didalam kamar sekarang. Tapi aku memilih untuk menenangkan Vasa lebih dulu, bicara sama Devi bisa dilakukan nanti. Menghentikan tangisan Vasa adalah yang terpenting sekarang.
“Udah dong,Sayang. Anak Ibu nggak boleh cengeng gini, ah,” kucium puncak kepala Vasa yang ada dipangkuanku dan kini memeluk leherku dengan erat.
“Cerita sama Ibu, Vasa kenapa?” bujukku lembut.
“Vasa sedih, Bu, tapi Vasa nggak boleh cerita.” Tangis Vasa kembali pecah. Aku mengerti putraku ini. Dia memang paling tidak bisa dipaksa. Dia akan mulai menceritakannya nanti bila sudah tenang. Aku hanya harus menunggunya dengan sabar.
Kubawa Vasa kedalam kamar dan mengajaknya bermain puzzle seperti yang sering kami lakukan bila dia habis menangis. Cara ini selalu ampuh untuk membuatnya tenang.
“Vasa mau tidur aja, Bu,” apa dia sakit? Biasanya Vasa selalu bersemangat bila kuajak bermain puzzle. Dia terlihat sama sekali tidak bersemangat.
Dengan pelan, Vasa merangkak naik ketempat tidur dan menyelimuti dirinya sampai seluruh tubuhnya tertutup selimut. Kututup jendela supaya kamar menjadi gelap, dia selalu lebih suka kamar yang gelap bila tidur. Persis seperti seseorang yang kukenal.
Kubuka kamar sebelah yang dibiarkan tertutup tapi dibiarkan tidak terkunci oleh pemiliknya. Kulihat dia sedang meringkuk disudut kamarnya.
“Kamu kenapa lagi? Kakak lihat beberapa hari ini kamu sering begini.” Sekilas kulihat dia mengembunyikan sesuatu dibalik lemari sebelum berdiri dan menghampiriku. Kulepas kacamata yang masih kukenakan dan duduk bersamanya dikasur. Devi sudah dewasa sekarang walau kelakuannya kadang masih kekanakan. Adikku ini sudah tumbuh jadi gadis yang cantik sekarang. Seharusnya dia bisa mengimbanginya dengan kedewasaan pikirannya juga.
“Tadi kamu pergi kemana sama Vasa?” tanyaku padanya yang terlihat belum punya niat membuka mulutnya. “Vasa bilang dia nggak boleh cerita. Kamu tahu sesuatu,‘kan?”
“Devi cuma bawa Vasa jalan-jalan, Kak.”
“Trus, kenapa dia nangis dan kamu jadi aneh begini?” aku tahu dengan jelas ada sesuatu yang dia coba sembunyikan dariku. Mata Devi menghindari tatapanku. Itu artinya isi hati dan yang keluar dari mulutnya berbeda. Aku sangat mengenal adikku ini.
“Devi boleh nggak nginap dirumah Rindy beberapa hari ini?” Devi jarang minta izin menginap dirumah temannya. Ada apa dengan Vasa juga Devi? Kenapa mereka lebih memilih diam daripada bercerita seperti yang mereka lakukan padaku? Pasti ada hubungannya denganku.
“Kakak bakal sabar nunggu sampai kamu siap nyeritain semuanya.” Dia mengerti arti ucapanku. Tanpa menunggu waktu lama lagi Devi menyiapkan beberapa pakaian untuk dia bawa kerumah Rindy. Aku percaya Devi tidak akan berbuat macam-macam selain kerumah Rindy. Dia pasti mau curhat disana pada sahabatnya itu. Adikku ini cuma punya sedikit teman yang cukup dekat dengannya dan yang bernama Rindy ini adalah salah satu yang paling dekat dengannya juga denganku karena dia sering kemari.
***
Dengan mata yang masih mengantuk, Vasa memaksa diri menghabiskan sarapannya. Kami memang agak terlambat hari ini karena dia susah sekali dibangunkan tadi. Sepuluh menit kemudian kami tiba didepan playgroup tempat Vasa bersekolah. Aku sengaja menitipkannya ditempat ini karena aku mau putraku bisa punya banyak teman dan bersosialisasi dengan teman seusianya. Dirumah dia sering kesepian karena cuma ada kami bertiga dan anak-anak tetangga juga tidak ada yang seumuran Vasa.
“Vasa masih nggak mau cerita sama Ibu kenapa Vasa menangis kemarin?” dia cuma memandangku dengan mata beningnya dan menggeleng.
“Tapi Ibu penasaran,Sayang, Vasa tega ngeliat Ibu nggak tenang karena itu?” ada tatapan sedih dimuka imutnya yang selalu mengingatkanku pada seseorang setiap memandangnya. Dia mewariskan rahang tegas, hidung mancung juga kulit putihnya pada Vasa. Napasku selalu terasa sesak bila mengingat bahwa aku masih harus berbohong mengenai keberadaannya setiap putraku ini bertanya. Dia selalu memimpikan untuk bertemu ayahnya.
“Ibu bisa nggak jangan tanya Vasa lagi?” sifat anak ini memang keras. Aku menyerah untuk hari ini. Dia tidak akan membuka mulutnya.
“Nanti Ibu jemput jam 12. Vasa habisin bekalnya, ya,” kucium keningnya dan dia melambaikan tangan sambil menggandeng tangan gurunya yang sudah menunggu didepan pagar. Kuarahkan mobil yang kukemudikan menuju super market. Aku harus belanja keperluan kamar mandi juga dapur hari ini. Jadwalku cukup padat, setelah belanja aku masih harus mengantar gaun-gaun yang baru selesai kukerjakan kebutik langgananku. Setelah itu, aku masih harus meluncur menuju pusat grosir kain untuk membeli bahan yang akan kukerjakan selanjutnya. Menyibukkan diri selalu berhasil untuk menghindarkanku dari mengingatnya.Setahun belakangan ini usahaku sudah lumayan berkembang. Aku mulai bisa menabung sedikit demi sedikit untuk membeli rumah yang kutargetkan akan kubeli 3 tahun lagi. Kami harus bersabar diam dirumah kontrakan dulu. Aku sengaja membeli mobil bekas yang masih layak pakai, yang sekarang sedang kukendarai, untuk mempermudah aku mengantar pesanan juga membeli bahan. Selain itu kami tidak perlu naik angkutan umum lagi kalau mau pergi kemana-mana. Keadaan kami jauh lebih baik daripada beberapa tahun yang lalu saat aku harus berjuang mati-matian untuk menghidupi diriku dan Devi dengan sisa-sisa tabungan yang kumiliki. Saat ketika aku merasa duniaku benar-benar kacau dan hampir tidak mampu berdiri dan hampir menyerah. Saat itu aku benar-benar seperti orang bodoh yang menyerah karena masalah yang seharusnya tidak pantas kusesali, padahal sebelumnya hidupku jauh lebih sulit untuk dijalani daripada saat itu.
***
“Kamu masih dirumah Rindy?” sudah 3 hari Devi menginap dirumah Rindy, aku takut dia merepotkan keluarga temannya itu karena terlalu lama menginap disana. Kuputuskan untuk menjemputnya hari ini, sebelumnya aku menelepon dulu untuk memastikan dia disana.
“Iya. Devi lagi sama Rindy sekarang,” jawabnya sambil berbisik. Kenapa harus berbisik, sih?
“Ya udah. Jangan nyusahin papahnya Rindy, ya,” aku sengaja tidak memberitahu Devi bahwa aku mau menjemputnya sekarang biar aku tahu dia berbohong padaku atau tidak. Aku merasa dia benar-benar aneh, terdengar dari nada suaranya barusan.
“Iya. Sudah dulu, ya,”klik. Tanpa menunggu ucapanku selanjutnya, dia menutup telepon dariku, membuatku ingin sesegera mungkin kesana.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
Roman d'amourAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...