Nino POV
Sudah sangat lama rasanya aku ngga berkumpul bersama Zevan, Alan juga Andra. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri selama beberapa bulan ini. Mereka juga kelihatannya sibuk dengan urusan masing-masing karena ngga ada yang mengajakku kumpul seperti yang biasa kami lakukan. Terlebih Andra, seharusnya sekarang dia sedang sibuk dengan cabang baru restorannya. Sedangkan Zevan, pasti dia lagi sibuk dengan putri kesayangannya itu. Kalo Alan, aku ngga tau lah. Dia juga pasti lagi sibuk menghindar dari Rindy yang masih sering menerornya.
Oh iya, aku masih harus memenuhi janjiku pada Rindy untuk mendapatkan Alan untuknya, tapi bukan sekarang. Ada urusan yang masih harus kuselesaikan dan jauh lebih penting.
Kami berempat, aku, Nessa, Vasa juga Giana baru tiba di bandara Internasional Eleftherios Venizelos. Giana mendapat telepon dari Mama yang mengatakan bahwa kondisi kesehatan Papa memburuk. Kebetulan kemarin aku memang berencana mengajak Vasa pergi ke Disneyland Hongkong sebagai liburan untuk mereka. Rencana itu terpaksa ditunda karena aku ngga mau melakukan kesalahan lagi karena terlambat. Aku menyadari sekarang, aku harus belajar menghilangkan sifat keras hatiku. Alhasil, kami langsung merubah rute menuju rumah orang tuaku. Atas saran Giana, aku membawa serta Nessa juga Vasa.
Sopir keluarga sudah menunggu kami disana. Sebentar lagi aku akan kembali mengijakkan kakiku dirumah itu. Kali ini tidak sendiri, aku membawa wanita yang kucintai juga anak kami. Semoga mereka bisa menerima kehadiran Nessa juga Vasa. Sebenarnya ada sedikit keraguan menggangguku. Papa bukan orang yang mudah begitu saja menerima orang lain dikeluarganya. Dia sangat pemilih dalam hal itu.
Deliah sudah menunggu di depan rumah saat mobil yang membawa kami mulai memasuki halaman. Senyum ramahnya ngga pernah berubah. Selalu membuatku ingin segera memeluknya. Aku merindukan mama kedua bagiku ini. Dia mengabdikan seumur hidupnya dikeluarga kami sejak Mama mengajaknya tinggal dirumah ini saat Deliah kehilangan seluruh anggota keluarganya.
"Selamat datang sayang," sambutnya gembira. Dia langsung memelukku dengan tubuh mungilnya. Aku masih ingat bagaimana dia selalu memelukku setelah Papa memarahiku dan membuatku mengurung diri di kamar.
"Kamu sehat Deliah?" dia mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya pada Nessa dan Vasa yang berdiri dibelakangku.
"Kamu harus mengenalkan mereka di dalam. Ayo kita masuk," dia membantu membawakan barang bawaan kami.
Nessa meremas tanganku saat kami mulai berjalan memasuki rumah.
"Kamu ngga harus mengatakan bahwa Vasa anak kamu. Aku ngga mau mereka menolak kami justru di awal pertemuan." bisik Nessa padaku. Dia sangat gugup, tangannya terasa dingin.
Ternyata bukan hanya Deliah yang menunggu kedatangan kami, Mama menyambut kami di ruang tengah. Apa pria yang ada di kursi roda itu Papa? Giana ngga pernah cerita padaku bahwa keadaan Papa seperti ini.
"Mama seharusnya memanggil Nino lebih awal." bisikku ditelinga Mama yang mencium pipiku dengan lembut. Dia menggeleng, mengisyaratkan bahwa dia bisa mengatasinya sendiri sebelumnya. Aku sangat mengerti wanita seperti apa dia. Dia ngga akan minta bantuan bila dia merasa masih bisa melakukannya sendiri. Aku beralih pada Papa.
"Bagaimana kabar Papa?" tanyaku, menyesuaikan badanku supaya bisa sejajar dengannya, menatapnya yang terlihat jauh lebih tua sekarang.
"Seperti yang kamu lihat. Papa masih bernafas." dan dia masih Papa yang kulenal. Menyayangi kami dengan caranya sendiri. Kami sudah terbiasa untuk tidak mengharapkan kata-kata manis darinya.
"Kami membawa kejutan buat Papa juga Mama" Giana memilih untuk memperkenalkan Nessa dan Vasa disaat yang tepat. Dia menggandeng tangan Nessa dan aku menggendong Vasa, membawa mereka mendekat pada kedua orang tua kami.
"Perkenalkan, dia Vanessa. Dan yang ini adalah Vasaya. Cucu kalian," ucapku dengan yakin. Menahan nafas untuk menunggu bagaimana reaksi mereka, terlebih Papa. Mereka terdiam. Membuatku harus menahan nafasku sedikit lebih lama. Kulihat Nessa gelisah disampingku.
"Mereka Opa sama Oma ya Yah?" celetukan Vasa memecah keheningan. Aku melepaskan nafasku dengan lega waktu kulihat Mama tersenyum lalu berjalan menghampiri kami. Menyambut Nessa dan memberi kecupan ringan dipipinya.
"Selamat datang dikeluarga kami. Sepertinya Nino benar-benar mendapatkan wanita impiannya."
Vasa berontak dari gendonganku, kuturunkan dia yang langsung memeluk kaki Mama seperti yang dia lakukan dulu saat pertama bertemu denganku. Mama mensejajarkan tubuhnya dengan Vasa.
"Oma..." panggilnya. Meletakkan tangan mungilnya dipipi Mama.
"Kamu benar-benar mewarisi wajah Ayahmu." Mama memeluk Vasa dengan erat, membelai rambut hitamnya dengan sayang. Satu ketakutanku sudah lewat, tinggal yang terakhir sekaligus yang terbesar. Aku lihat Nessa sudah berjalan menghampiri Papa, mengulurkan tangannya, memulai untuk menyapa.
"Senang bisa bertemu dengan Anda," aku tau dia berusaha menutupi rasa gugupnya. Suaranya terdengar bergetar. Tanpa sadar, aku kembali menahan nafasku.
"Papa mau kalian melangsungkan pernikahan kalian disini secepatnya." Papa menyambut tangan Nessa dan menariknya lebih mendekat untuk memeluknya dengan hangat. Bukan hanya aku yang berusaha menghilangkan sifat burukku disini, ternyata dia juga.
Kalau bukan karena Giana yang bersorak girang, aku ngga akan sadar bahwa barusan Papa menyebut soal pernikahan. Apa barusan dia mau kami melakukannya disini dan dalam waktu dekat?
"Cukup pesta kecil-kecilan saja. Yang penting dia sah menjadi istrimu." ucap Papa yang sudah terlihat memangku Vasa.
"Tapi Pa, apa tidak sebaiknya kita menunggu kondisi Papa lebih baik dulu?"
"Kami sudah sangat menantikan kehadiran seorang menantu di rumah ini. Apalagi kami sudah memiliki cucu sekarang." Mama meraih tangan Nessa. Meminta persetujuannya untuk melakukan acara mendadak ini disini. Aku bahkan belum melamar Nessa. Hanya sempat membeli cincin yang sudah seminggu ini terus tersimpan didalam sakuku, masih belum menemukan saat yang tepat untuk menyematkan dijemari lentiknya.
"Kamu tidak perlu memikirkan kondisi Papa. Toh bukan Papa yang menikah. Menyaksikan pernikahan kalian masih bisa dilakukan dikursi roda ini."
Sepertinya Mama sudah mendapatkan persetujuan Nessa. Itu artinya aku ngga perlu mencari saat yang tepat untuk melamarnya. Kedua orang tuaku sudah melakukannya untukku. Aku mengangguk, dan mendekat pada Nessa untuk mengecup pipi calon pengantinku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...