Bab 2

53.8K 2.8K 10
                                        

Jauh dari bayanganku, tadinya kupikir dia akan melakukan hal itu padaku. Setidaknya tidak dimalam ini. Aku sempat gugup saat dia memintaku ikut masuk ke dalam kamarnya dan  memintaku berbaring di kasurnya. Setelah keluar dari kamar mandi, dia langsung berbaring disampingku dan diam. Hanya suara nafasnya yang kudengar semakin teratur, pertanda dia sudah lelap tertidur. Apa dia membayarku hanya untuk menemaninya tidur seperti ini? Bukannya aku mengharapkan lebih, aku malah bersyukur kalau dia sama sekali tak menyentuhku. Walau dia kelihatan seperti pria baik-baik, aku tetap harus waspada padanya. Sewaktu-waktu dia bisa saja mengambil apa yang sudah dia bayar malam ini.

Hampir 2 jam aku cuma diam dengan pikiranku yang mengusut seperti bola benang yang baru dimainkan anak kucing. Aku masih belum tahu dengan apa yang akan kulakukan setelah ini. Yang aku tahu hanya harus berusaha mencari uang untuk pengobatan Putri. Dia dan Devi sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri. Selama 5 tahun ini kami hidup bersama setelah aku memutuskan pergi dari panti dan membawa kedua kakak beradik itu sejak aku menemukan mereka di stasiun kereta malam itu. Berbekal ijazah sarjana yang berhasil kudapatkan dengan susah payah, aku melamar pekerjaan di sebuah departement store untuk menghidupi diriku sendiri juga Devi dan Putri. Beberapa bulan yang lalu Putri yang memang berfisik lemah, menjadi lebih sering pingsan dan mimisan. Puncaknya, minggu lalu saat kutemukan dia terbaring di dapur dengan luka dikepala akibat terbentur, kami segera membawanya ke rumah sakit. Di luar dugaan dan kabar buruk bagiku juga Devi, dokter memvonis Putri mengalami Leukemia Mielositik akut. Seketika pandanganku mengabur, bagaimana mungkin, umur Putri baru 7 tahun dan dia harus menderita begini. Dokter menyarankan untuk secepatnya melakukan pengobatan bagi Putri dan tentu saja biaya yang kami butuhkan tak sedikit. Dengan penghasilanku yang hanya cukup untuk hidup sehari-hari kami, tentu pengobatan yang berbiaya besar ini membuatku harus putar otak untuk mencari tambahan uang.
Saat aku bingung mau cari uang kemana, tanpa sengaja aku bertemu dengan Sinta, temanku semasa kuliah dulu. Dengan jujur dia menceritakan perkerjaannya padaku dan aku merasa menemukan jalan keluar bagi kami. Aku tidak tahu lagi harus mencari uang sebesar itu kemana, hingga aku menemukan diriku memohon pada Sinta untuk melakukan pekerjaan yang sama sepertinya.
Dan disinilah aku berada, berbaring bersama orang asing yang membayar mahal untuk darah perawanku.
***
Aku terbangun saat jam di dinding menunjukkan pukul 05.30, kulihat dia masih tertidur dengan posisi yang sama sejak tadi malam. Pelan-pelan aku beranjak dari kasur dan keluar dari kamar bermaksud pergi tanpa perlu dia tahu. Tapi sayang, pintu depan masih terkunci tanpa aku tahu kode keamanan buat membukanya. Alhasil, terpaksa aku menunggu dia bangun untuk membukakanku pintu.
Hampir satu jam kemudian, dia keluar dari kamar, sudah rapi dengan setelah kerjanya. Aku baru memperhatikannya sekarang, orang ini ternyata memiliki wajah dingin yang memesona. Rambut hitamnya dipotong pendek dan rapi, kulitnya terlalu putih untuk ukuran lelaki, hidung mancungnya agak sedikit bengkok dipangkalnya, tulang rahangnya terukir tegas dan yang paling membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya adalah mata hitamnya yang sekelam malam. Tubuh tingginya dibalut kemeja putih dan celana flanel berwarna biru dongker dengan jas warna serupa yang dia sampirkan dibahu lebarnya. Aku merasa sangat kecil dibawah tatapannya itu.
“Saya akan antar kamu,” ucapnya, mendahuluiku untuk membuka pintu dan menungguku keluar sebelum dia kembali mengunci pintu. Aku berjalan di belakangnya dalam diam. Dia juga sama diamnya. Kupeluk erat tas yang kusandang, seakan takut uang yang sangat berharga didalamnya akan hilang kalau aku tidak menjaganya baik-baik.
Aku minta dia menurunkanku di halte terdekat dari kawasan tempat tinggalku. Sebelum dia pergi, dia mengatakan untuk datang lagi ke apartemennya besok malam dan menyebutkan beberapa digit angka yang merupakan kode keamanan untuk membuka pintu apartemennya. Bagaimana mungkin dia sepercaya ini padaku yang notabene adalah orang yang baru dikenalnya? Apa dia tidak takut aku berbuat jahat dan merampok isi apartemennya?

Aku tiba dirumah tepat saat Devi sedang menungguku di depan rumah, sudah siap dengan seragam sekolahnya. “Kak Nessa kok baru pulang jam segini?” tanyanya sambil mengekoriku masuk ke dalam rumah. Kulihat Putri masih tertidur di kasurnya.
“Kan Kak Nessa udah bilang, Kakak ada kerjaan.” Aku memeriksa suhu tubuh Putri, takut dia demam lagi. Aku bersyukur, sepertinya kondisi tubuhnya cukup stabil hari ini. Aku akan segera membawanya ke rumah sakit untuk melakukan pengobatan untuknya.
“Kamu nggak berangkat sekarang? Ntar telat, lho,” kulihat jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat 5 menit.
“Iya deh, Devi berangkat sekarang, ya. Dah, Putri,” bisik Devi sambil mencium kening Putri sebelum bergegas berangkat ke sekolah.

BIRU  (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang