Tahun 2011
Nino POV
Aku mengenal wanita ini sejak beberapa tahun yang lalu, sejak dia sempat menjadi seniorku selama satu tahun. Setelah lulus kuliah kami kembali bertemu dan aku mengetahui jenis pekerjaan seperti apa yang dia lakukan. Akupun beberapa kali sempat menggunakan jasanya untuk memuaskan hasratku sebagai lelaki normal di saat sedang suntuk ataupun sedang ada masalah yang membuatku memilih melampiaskannya dengan caraku ini. Dari dulu aku memang tidak pernah mau menjalin hubungan dengan wanita. Aku lebih suka melakukan hubungan one night stand bila aku memerlukannya. Bukan dengan sembarang wanita, aku sangat pemilih dalam hal itu. Hanya mereka yang memenuhi standarku yang akan kubayar.
Setelah memastikan keadaan Zevan, sahabatku yang sedang galau baik-baik saja, aku kembali ke Silver Moon dan bertemu dengan Sinta. Malam ini aku sebenarnya tak kalah suntuk dari Zevan, malah aku merasa sangat kacau dan aku sepertinya membutuhkan jasa Sinta untuk menghilangkannya.
“Lama nggak ketemu, No,” seperti biasa, dia mengecup pipiku dan mengambil gelas minuman yang belum sempat kusentuh.
“Gue butuh lo malam ini. Bisa?” kulihat malam ini dia tidak seperti biasanya. Aku bisa melihat itu dengan jelas di wajahnya. Dia seperti sedang dalam masalah dan feelingku mengatakan aku harus menghindari untuk bertanya penyebabnya pada dia.
“Gue nggak bisa. Malam ini gue mau libur dulu, No. Sorry,” sahutnya. Aku memberi isyarat dengan telunjukku pada bartender didepan kami untuk membuatkan aku juga Sinta minuman lagi. Sepertinya malam ini aku akan menghabiskan lebih banyak minuman dari biasanya.
“Lo cuman butuh gue waktu lo suntuk doang, No. Kalo senang-senang aja, lo sama ketiga sahabat lo itu,” gerutu Sinta. “Sekarang gue yang lagi suntuk. Gue butuh lo.”
“Lo bilang mau libur malam ini?” Sinta memukul lenganku dengan kencang.
“Bukan itu maksud gue,” dia menangis. Seorang Sinta yang terkenal judes sekarang sedang menangis di depanku. Pasti masalah ini berat baginya.“Temen gue, tadi sore dia dateng ke kost gue dan minta tolong sama gue,” aku cuma diam mendengarkan dia bercerita sampai selesai. Baiklah, aku memang bukan tipe yang suka mendengarkan masalah orang lain kalau mereka sendiri tidak bercerita padaku.
“Dia minta gue untuk ngajak dia ngelakuin kerjaan kayak gue sekarang.” Sinta menyesap minumannya sebelum melanjutkan, “Gue nggak mau dia kerja kayak gue gini. Gue nggak sejahat itu,‘kan, No, ngajakin dia kerja begini?”
“Lo tolak aja dia. Apa susahnya, sih,” sahutku seadanya, sekali lagi lenganku dipukul olehnya. Cuma karena masalah ini dia sampai menangis?
“Dia maksa. Gue tahu dia pasti sudah amat sangat putus asa sampai menjadikan pekerjaan gue ini sebagai jalan keluar. Gue nyesel cerita kerjaan gue sama dia,” tangisnya kembali pecah. Kenapa dia harus menangisi hal ini? Itu‘kan maunya teman kamu itu, Sinta.
“Trus, mau lo gimana sekarang?” dia menatapku lekat. Perasaan tidak enak yang kurasakan dari tadi semakin terasa. “Gue nggak suka tatapan lo itu, Sin.”
“Nino, lo temen gue. Lo punya banyak uang yang gue yakin belum tahu mau lo gunain buat apa. Dan lo juga pelanggan gue yang paling baik,” aku beneran tidak suka mendengar ucapannya ini. Aku mengerti menuju ke arah mana pembicaraan ini. Dia mau aku jadi pelanggan pertama temannya itu. Cukup, Sinta, aku sudah terlalu pusing dengan masalah yang ada sekarang. Jangan kamu tambah lagi dengan masalah kamu ini.
“Gue nggak mau.”Kali ini Sinta benar-benar serius rupanya. Dia menggenggam tanganku dengan erat.
“Tolongin gue, No. Gue nggak tahu mau cari pria baik kemana lagi buat dia.”
“Gue bukan tipe pria perebut mahkota seorang wanita. Sebejat-bejatnya gue, gue nggak mau merawanin anak orang,” tolakku lagi, berusaha menepiskan tangan Sinta.
“Gue tahu lo nggak kayak gitu. Tapi gue beneran nggak tega nyerahin dia sama pria lain. Gue mohon, Nino. Anggaplah lo nolongin dia,” tanganku kembali dia genggam, kali ini dengan lebih erat. “Dia emang nggak cerita masalahnya sama gue, tapi gue yakin ini sangat berat bagi dia. Dia wanita tangguh. Nggak akan mudah buat dia ngelakuin ini,” Sinta mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto yang membuatku tertegun.
Wajah yang ada disana mengingatkanku pada wanita yang membuatku suntuk akhir-akhir ini. Rambut dan bibir yang mereka miliki sama, hanya warna yang berbeda. Wanita ini memiliki rambut berwarna hitam legam. Dalam foto ini, dia mengenakan kacamata dan sedang memegang beberapa buah buku tebal. Foto ini mungkin diambil saat dia masih kuliah. Kalau dia satu kampus dengan Sinta, seharusnya aku familiar dengan wajah ini.
“Gimana? Mau, ya, No,” goyangan Sinta di tanganku, membuatku tersadar dari lamunan.
“Seharusnya gue kenal sama wajah ini kalo dia emang satu kampus sama kita dulu,‘kan?” tanyaku.
“Gue rasa lo nggak bakalan bisa ngingat dia. Dia selalu ngurung diri diperpustakaan dan dia juga jarang masuk kelas,”pantas aku tidak pernah tahu wajah ini. Aku merasa tertarik padanya. Entah itu karena aku memang tertarik, atau karena dia mirip dengan wanita itu.
“Mau, ya, No, ya...,” diamku dianggap Sinta sebagai kata IYA. Semoga ini bukan keputusan yang akan membawa masalah lainnya bagiku. Sudah cukup dengan masalahku karena menyukai kekasih sahabatku sendiri.
Dara. Dia berhasil membangunkanku dari tidur panjangku mengenai wanita. Pertama kali aku melihatnya ditempat ini saat Zevan memperkenalkannya sebagai wanita barunya. Dia menarik. Dia bahkan berani mengatai Zevan "Bego" hari itu yang membuat aku yakin kalau dia bukan pacar Zevan. Aku merasa masih punya harapan. Benar saja, belakangan kami tahu kalau Dara bekerja di rumah Zevan sebagai pengurus rumah tangganya. Sampai akhirnya tiba hari pertunangan Zevan. Dara datang dengan penampilan barunya yang bukan hanya Zevan dibuat kagum olehnya, aku juga. Tanpa mempedulikan semua yang hadir, bahkan tunangannya sendiri, mereka menghilang. Saat itulah aku sadar, aku harus mundur dan mengubur perasaanku dalam-dalam. Setiap Zevan menceritakan mengenai Dara pada kami, aku harus menahan perasaanku dan yang kurasakan malah sebaliknya, karena aku merasa makin menyukainya. Sesulit ini ternyata bila kita menyukai orang yang salah. Apalagi aku tahu, sahabatku sangat mencintainya, walau dia sendiri belum menyadari hal itu. Kamu terlalu bodoh, Van, seharusnya aku saja yang ada di posisimu. Aku pasti akan terus bersamanya saat ini.
***
Aku membuka pintu saat ketiga kalinya bel dipencet seseorang dari luar. Dia berdiri disana. Apa yang kamu harapkan, Nino? Seorang wanita dengan pakaian minim dan wajah yang menggoda? Bukannya dari awal aku sudah tahu tujuan dia melakukan ini? Dia bukan penjual kenikmatan. Dia terlihat sangat sederhana dengan blus putihnya yang sedikit basah. Rambut hitamnya diikat rapi dan wajah polosnya memandangiku dengan dagu terangkat memasang wajah berani. Aku tahu dia tidak sekuat wajah yang dia perlihatkan padaku. Kubukakan pintu untuknya dengan lebih lebar dan membawanya ke dalam.
Sekali lagi aku memperhatikan penampilannya. Badannya kurus tapi dia tinggi untuk ukuran wanita. Dia bukan Dara. Selain rambut dan bibir, mereka jauh berbeda. Kulitnya putih dan terlihat sangat lembut. Dalam foto yang Sinta tunjukkan kemarin dia memakai kacamata dan sekarang kacamata itu tak terlihat.
“Berapa yang akan Anda bayar untuk keperawanan saya?” tanyanya dengan suara bergetar yang berusaha dia tutupi dengan tatapan tajamnya. Kuletakkan rokok yang sedari tadi hanya kupegangi tanpa berniat menghisapnya, meraih amplop coklat berisi uang yang sudah kusiapkan untuknya. Kurasa jumlahnya cukup banyak, tapi kalau dia meminta lebih, aku akan menambahkan jumlahnya.
“Cukup?” tanyaku.
“Saya rasa jumlah ini sudah cukup. Apa kita harus memulainya sekarang?” dia benar-benar melakukan ini bukan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dariku. Murni karena dia benar-benar membutuhkannya. Aku sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya, setidaknya malam ini. Walau aku masih memiliki hasrat yang masih sangat ingin dipuaskan, aku tetap menahannya. Bahkan saat kaki jenjang miliknya terlihat sangat menggoda bagiku. Aku benar-benar tidak mau mengambil hak atas apa yang sudah kubayarkan untuknya. Aku masih ingin melihat bagaimana permainan ini akan berakhir. Apa aku bisa membayarnya untuk membantuku menghilangkan bayangan Dara dariku dengan cara tidak membiarkan diriku sendirian yang aku tau hanya akan berujung munculnya Dara dalam pikiranku.
“Ikut saya,” aku berjalan menuju ke kamar dan membuka jendela dengan lebar, membiarkan angin malam bertiup menyejukkan ruangan, hal yang selalu kulakukan tiap berada didalam kamar. Aku menyukai sejuknya udara malam.
“Berbaringlah,” kutinggalkan dia menuju kamar mandi, lebih baik aku menyiram seluruh tubuhku dengan air dingin untuk meredam hasrat yang terus naik karena membiarkan seorang wanita berbaring di tempat tidurku tanpa menyentuhnya.
Terlalu cepat untuk menyentuhnya sekarang.
***
Aku terbangun dan sisi tempat seharusnya dia masih berbaring, kosong. Kemana dia?
Setelah mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor, aku menemukannya berdiri di depan pintu menungguku untuk membukakannya pintu. Sejak kapan dia berdiri disini?
“Saya akan antar kamu.”Mungkin dalam perjalanan nanti kami akan mampir untuk sarapan. Bagaimanapun aku tidak akan tega membiarkan seorang wanita kelaparan saat bersamaku.
Niat untuk mengajaknya sarapan hilang waktu kulihat dia beberapa kali memeriksa jam di tangannya. Dia pasti buru-buru sekarang. Benar saja, waktu kemudian dia memintaku untuk menurunkannya di halte pertama yang kami lewati.
“Besok malam datanglah pukul 11,” pintaku dan kemudian menyebutkan kode akses apartemenku. Biar dia bisa langsung masuk saja kesana tanpa harus menungguku diluar. Dia Cuma mengangguk dan keluar dari mobilku tanpa menoleh sekalipun padaku. Dia menarik. Akan seru bila dia bisa mengikuti permainanku mulai sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Silver Moon series)
RomanceAku lupa bagaimana caranya menangis. Sudah lama sekali sejak terakhir aku mengeluarkan air mata. Aku bahkan tidak menangis saat aku harus menjual keperawananku padanya. Sampai ketika tiba saatnya aku harus pergi meninggalkannya. Aku menangis. --Ness...